Oleh: Fathiyah Khasanah, M.Sos
Krisis di Gaza bukan sekadar masalah territorial; ia adalah luka kemanusiaan yang menuntut jawaban moral, politik, dan praktis. Dalam banyak perdebatan internasional, wacana “solusi dua negara” sering dijadikan jawaban default. Namun bagi banyak warga Palestina dan pengamat yang jujur, wacana ini kerap tampak sebagai kompromi yang mengabadikan ketidakadilan—bukan jalan menuju pembebasan. Sebagai sebuah opini yang dilandasi nilai-nilai Islam, tulisan ini menegaskan bahwa apa yang dibutuhkan Gaza hari ini bukan sekadar formula diplomatik yang mengulang pola lama, melainkan tindakan nyata yang menegakkan keadilan, melindungi jiwa, dan memulihkan hak-hak yang dirampas.
Allah menegaskan prinsip keadilan sebagai kewajiban moral yang mendasar: “إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ…” — “Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil…” (An-Nahl: 16:90). Firman ini mengikat umat beriman untuk menolak segala praktik yang merampas hak dan menjadikan penderitaan sebagai norma. Dalam konteks Gaza, memenuhi perintah ini berarti menjadikan hak asasi warga sipil—kemampuan hidup, akses pangan dan medis, perlindungan terhadap kekerasan—sebagai titik tolak setiap kebijakan.
Dua Negara, Bukan Solusi
Secara faktual, situasi di Gaza menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: eskalasi kekerasan berulang, kerusakan infrastruktur yang meluas, dan krisis kemanusiaan yang memengaruhi jutaan nyawa. Di ranah diplomasi, dukungan internasional terbagi; banyak negara memilih jalan aman atau retorika tanpa tindakan yang efektif, sementara narasi “dua negara” tetap dipromosikan oleh aktor-aktor kuat sebagai solusi yang sahih. Namun, bila wacana itu tidak disertai jaminan pemulihan hak-hak historis dan jaminan keamanan serta kedaulatan yang nyata, maka “pengakuan” apa pun hanya akan menjadi pengakuan atas kehilangan berkelanjutan—bukan rekonsiliasi yang adil.
Analisis terhadap pola sejarah menunjukkan bahwa gagasan dua negara seringkali lahir dari kompromi geopolitik yang tidak seimbang. Perluasan pemukiman, kendali atas sumber daya, dan praktik yang mengurangi ruang hidup rakyat Palestina membuat target teritorial dan hak-hak politik semakin terkikis. Dalam banyak kasus, pengakuan parsial terhadap entitas yang menjalankan praktik pencaplokan menjadi legitimasi atas status quo—sebuah kondisi yang jauh dari prinsip keadilan. Oleh sebab itu, kritik terhadap solusi dua negara bukan sekadar penolakan karena sentimental; ia adalah tuntutan agar setiap solusi menempatkan pemulihan hak-hak dasar dan martabat manusia sebagai prasyarat utama.
Dari sudut pandang syari’ah, prioritas utama adalah perlindungan jiwa (hifz al-nafs), harta, dan kehormatan. Nilai-nilai ini menuntut tindakan yang konkret: menyediakan perlindungan bagi warga sipil, akses bantuan kemanusiaan yang tidak terganggu, penegakan hukum atas pelanggaran, serta rekonstruksi yang mengutamakan kebutuhan masyarakat lokal. Tidak kalah penting, Al-Qur’an menegaskan kewajiban mengedepankan keadilan bahkan terhadap pihak yang berbeda kepentingan: “يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ” — “Wahai orang-orang yang beriman, tegakkanlah keadilan…” (Al-Mā’idah: 5:8). Ayat ini mengingatkan bahwa dukungan terhadap korban penindasan harus diiringi langkah-langkah keadilan yang nyata, bukan sekadar retorika. Membebaskan Palestina
Berbagai kecaman, kutukan, dan upaya diplomasi yang seringkali bersifat simbolis di panggung internasional ternyata tidak mampu meredam kebrutalan Zionis. Narasi “solusi dua negara” yang terus diulang tidak serta-merta menjamin kebebasan Palestina dari penjajahan. Pada hakikatnya, solusi itu sama saja dengan menyerahkan tanah Palestina kepada entitas Zionis—yang berarti melegitimasi perampasan tanah kaum Muslim. Karena itu, skema tersebut jauh dari rasa keadilan dan bahkan memperpanjang kondisi penjajahan yang dialami rakyat Palestina.
Sikap entitas Zionis menunjukkan pola ketidakjujuran: mereka berulang kali melanggar perjanjian dan menaburkan kebohongan, sambil terus memperluas pendudukan atas tanah Palestina. Di antara wilayah-wilayah yang pernah dikuasai, hanya Gaza yang belum sepenuhnya mereka duduki.
Melihat kembali sejarah, sebelum 1948 tidak ada negara Zionis yang berdiri di tanah Palestina; mereka awalnya hadir sebagai komunitas yang mendapat tempat tinggal ketika tidak ada negara lain yang mau menerimanya. Namun dukungan politik dari AS, negara-negara Eropa, dan juga legitimasi internasional membuka jalan bagi deklarasi berdirinya negara atas tanah Palestina. Sejak saat itu, proses pendudukan dan pengusiran terhadap kaum Muslim Palestina berlangsung secara sistematis hingga kini.
Solusi Pembebasan Palestina
Oleh karena itu, jalan untuk menghapuskan penjajahan menurut pandangan penulis adalah mengusir para penjajah. Pengusiran tersebut dianggap memerlukan upaya perlawanan bersifat militer—melancarkan perlawanan terhadap penjajah sampai mereka takluk dan menyerah—dan menghadapi musuh dengan persiapan dan perlengkapan sebagaimana layaknya menghadapi peperangan.
Firman Allah SWT mengingatkan umat untuk mempersiapkan kekuatan yang mampu menghadapi ancaman: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi...” (QS Al-Anfal: 60). Dalam penafsiran klasik seperti Tafsir al-Jalalain, ‘kekuatan’ itu ditafsirkan sebagai pasukan pemanah; dalam kondisi masa kini, maknanya bisa diterjemahkan menjadi pasukan dan persenjataan yang dapat menimbulkan efek gentar bagi musuh.
Melawan penjajahan demi pembebasan Palestina dipandang sebagai kewajiban dan amanah bagi umat Islam. Kewajiban ini, menurut teks, hanya bisa terwujud bila kaum Muslim bersatu di bawah satu komando dan kepemimpinan — yakni melalui aktivitas jihad fi sabilillah yang terkoordinasi oleh institusi kepemimpinan tunggal seperti khilafah.
Umat yang bersatu dalam gerakan terarah adalah prasyarat menuju tujuan tersebut. Supaya hadirnya institusi penjaga umat (Khilafah) dan jihad terarah dapat terjadi, diperlukan kesamaan visi, perasaan, dan aturan di antara kaum Muslim. Tanpa persatuan dalam gerak kolektif, upaya pembebasan Palestina akan terus terhambat. Allah SWT memuji orang-orang yang berperang dalam barisan yang rapi: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur…” (QS As-Saff: 61:4). Tafsir Ibnu Katsir menyatakan bahwa kecintaan ini ditujukan kepada mereka yang berbaris rapi melawan musuh Allah demi tegaknya kalimat-Nya.
Rasulullah ﷺ juga menegaskan pentingnya ukhuwah dan solidaritas: “(sebagian) mukmin kepada (sebagian) mukmin lainnya seperti bangunan yang saling menguatkan…” (HR Bukhari dan Muslim), serta sabda beliau yang menganjurkan berjamaah dan menjauhi perpecahan (HR Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah). Oleh karena itu, penulis menekankan perlunya dakwah berjamaah untuk menyelaraskan pemahaman umat yang terpengaruh ideologi sekuler kapitalis, sehingga kaum Muslim memiliki paradigma tunggal dalam memandang persoalan Palestina dan isu-isu umat lainnya.
Dengan landasan ideologi Islam kaffah yang menyeluruh, penulis berargumen, kebangkitan peradaban Islam dan persatuan negara-negara Muslim di bawah naungan Khilafah bukanlah sekadar angan-angan, melainkan tujuan yang realistis untuk menandingi hegemoni kapitalisme di panggung global.[]