Oleh: Hany Handayani Primantara, S.P. (Pegiat Literasi)
Kisruh kenaikan pajak makin menjadi bola liar. Aksi protes mahasiswa maupun masyarakat umum di Pati merembet ke sejumlah daerah. Mereka menolak kenaikan pajak bumi dan bangunan yang naik hingga 300% serentak di berbagai daerah. (bbc.com, 15-08-25)
Di saat kondisi ekonomi masyarakat makin melemah, pemerintah seakan tidak simpati dengan membuat usulan 10 pajak baru sebagai tumpuan pemasukan APBN dan kebijakan untuk menaikkan tarif pajak. Hal ini disampaikan oleh Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyu Askar sebagai tes ombak bagaimana respon masyarakat untuk menimbang sebagai alternatif lain. (cnnindonesia.com, 12-08-25)
Hal yang lebih konyol adalah ketika Sri Mulyani, menyampaikan di forum Sarasehan Nasional bahwa kewajiban membayar pajak sama seperti menunaikan zakat dan wakaf. Beliau menyamakan ketiganya karena memiliki tujuan yang sama, yakni menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan. Menurutnya dalam kebijakan fiskal pajak yang dibayarkan oleh masyarakat akan kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuk. Berupa program perlindungan sosial hingga subsidi. (cnbcindonesia.com, 13-08-25)
Paradigma Pajak yang Utopis
Pajak merupakan sumber pemasukan utama bagi negara yang menerapkan sistem kapitalis. Segala fasilitas yang dinikmati oleh rakyat dan hasil pembangunan negara sepenuhnya ditanggung dari seluruh pemasukan pajak. Pajak dipungut dari setiap rakyat yang besarannya disesuaikan dengan pendapatannya masing-masing. Sebagai tulang punggung pemasukan kas negara, pajak diambil dari berbagai sektor yang jumlahnya lebih dari 25 jenis pajak. Bagi masyarakat yang terlambat membayar pajak, akan dikenai denda yang nominalnya bisa lebih tinggi dari nilai pajak itu sendiri. Jadi pajak dalam sistem kapitalis merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi rakyat alias sebuah “pemalakan” secara resmi yang dilakukan oleh negara.
Harapan bahwa pajak akan mampu menopang perekonomian nasional nyatanya hanya sebatas teori. Di lapangan justru terjadi kesenjangan yang amat mencolok antara masyarakat miskin dan kaya akibat pajak. Kebijakan pajak sebagai kewajiban bagi seluruh rakyat menjadikan rakyat dicekik dan semakin jatuh dalam jurang kemiskinan. Di tengah ekonomi yang sulit, rakyat harus peras keringat demi bisa membayar pajak. Sebaliknya kondisi para kapitalis semakin kaya raya dan mendominasi perekonomian nasional karena mendapatkan fasilitas penuh dari pemerintah. Seperti kebijakan tax amnesti, efisiensi dan sejenisnya. Bahkan banyak kebijakan yang memanjakan para kapitalis diperkukuh dengan ditetapkannya undang-undang sebagai legitimasi, berbanding terbalik dengan kebutuhan rakyat kecil yang semakin dipersulit.
Paradigma pajak dalam sistem kapitalis hanyalah utopis. Sungguh hanya kezaliman yang nampak dari dipungutnya harta rakyat miskin sebagai pajak secara paksa. Belum ada negara yang sejahtera sebab pajak, justru sebaliknya keadaan rakyat makin memburuk dari sisi ekonomi. Fasilitas dari uang hasil pajak yang diiming-imingi pun tak pernah terasa sampai ke rakyat kecil. Jauh dari kata menyejahterakan rakyat miskin. Sebab kebanyakan uang hasil pajak, jika tidak dikorupsi maka digunakan untuk proyek-proyek yang menguntungkan para kapitalis. Sudah tidak terhitung berapa banyak kasus korupsi di bidang perpajakan. Baik yang terungkap, diperkarakan hingga yang hilang tanpa ada jejak pengusutan.
Bebaskan Negeri dari Dekapan Pajak
Sebuah kesalahan yang amat fatal ketika ada yang menyamakan istilah pajak dengan zakat dan wakaf. Sebab dari sisi hukum syara ketiga istilah tersebut sangat jauh berbeda baik dari sisi makna, syarat serta pelaksanaannya. Maka alangkah bijaknya ketika hendak membuat pernyataan maupun kebijakan bagi rakyat ditelaah terlebih dahulu dari berbagai sudut pandang. Terutama jika ia seorang muslim, wajib baginya menjadikan syara sebagai tolak ukur utama dalam setiap aktivitasnya.
Zakat dalam Islam merupakan perwujudan ibadah yakni pemenuhan kewajiban atas harta bagi kaum muslim yang kaya. Zakat dikeluarkan ketika kekayaannya sudah melebihi nishab dan sudah mencapai haul. Sesuai dengan perintah Allah SWT berikut:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, yang dengan zakat itu kalian membersihkan dan mensucikan mereka….” (TQS at-Taubah [9]: 103)
Wakaf hukumnya sunah, wakaf tidak sampai jatuh wajib bagi setiap muslim. Seorang muslim yang kaya dianjurkan berwakaf sebab didalamnya ada keutamaan pahala yang terus mengalir walaupun ia sudah meninggal. Allah swt berfirman:
"Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas, Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 261)
Berbeda dengan keduanya, pajak dalam Islam merupakan pungutan yang diambil oleh negara dari lelaki muslim yang kaya dan hanya diambil sewaktu-waktu saja yakni ketika baitul mal sedang kosong. Pajak dikeluarkan untuk keperluan urgen yang sudah ditentukan syara, sebagaimana yang tercantum dalam kitab Al-Amwal.
Zakat memang merupakan salah satu sumber pemasukan APBN Khilafah. Namun objek penerima dari pengeluaran zakat ini sudah ditentukan oleh syari'at yakni delapan asnaf sesuai ketentuan Allah dalam Alquran:
"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, amil zakat, mualaf, hamba sahaya, orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana." (QS. At-Taubah 9: Ayat 60)
Jelas bahwa dalam Islam, sumber pemasukan tidak bertumpu pada penerimaan pajak. Islam mengatur pemasukan negara diambil dari beberapa sumber. Sumber utama penerimaan kas negara diperoleh dari hasil pengelolaan sumber daya alam yang sudah Allah sediakan bagi manusia. Pengelolaan sumber daya alam wajib dibawah kewenangan pemerintah bukan diserahkan kepada swasta, sebab SDA termasuk dalam kepemilikan umum yang hasilnya mesti dikembalikan lagi kepada masyarakat.
Dari sini bisa kita lihat bahwa pajak bukanlah pemasukan rutin negara dalam Islam. Namun bukan berarti pemungutan pajak hukumnya haram dilakukan ketika kondisi kas negara sedang kosong. Beberapa efek domino negatif yang ditimbulkan pajak ketika dijadikan tulang punggung pemasukan kas negara sudah banyak kita rasakan. Maka saatnya negeri ini dibebaskan dari dekapan pajak yang membebani rakyat. Ketika Islam diberikan kesempatan untuk mengatur negeri ini, penerapan sistem ekonomi Islam secara kaffah dalam satu sistem kepemimpinan Khilafah akan mewujudkan kesejahteraan pada setiap rakyat. Walhasil rakyat bisa bebas dari dekapan pajak yang mempersulit hidup mereka.
Wallahu alam bishowab. []