Antara Janji Demokrasi dan Keteladanan Umar bin Khattab




Oleh: Niken Lestari


Sudah lebih dari satu bulan sejak aksi demonstrasi besar pada 25 Agustus 2025 digelar. Aksi yang menuntut perubahan itu menyisakan luka: tragedi, kesedihan, bahkan kehilangan nyawa. Dari demonstrasi tersebut, lahirlah 17+8 tuntutan rakyat—namun hingga hari ini, hanya 7 poin yang direalisasikan pemerintah, yakni:

1. Penghentian tunjangan perumahan DPR

2. Moratorium kunjungan kerja luar negeri

3. Transparansi anggaran DPR

4. Pembentukan Tim Investigasi Independen

5. Pembebasan demonstran

6. Pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional

7. Pengurangan gaji anggota DPR


Sisanya, entah kapan akan diwujudkan. Apalagi melihat pernyataan bernada ringan dari Staf Khusus Presiden, Wiranto, di Kompleks Istana:

“Kalau semua permintaan dipenuhi, repot ya.”


Kenyataan pahit yang harus kita telan adalah bahwa para anggota DPR yang diharapkan menjadi wakil rakyat, ternyata tidak mampu—atau tidak mau—mengajukan RUU yang berpihak pada kepentingan rakyat. Mengapa?


Karena satu RUU harus melewati proses panjang dan berliku:

1. Persetujuan partai

2. Pengajuan ke Badan Legislasi (Baleg)

3. Masuk ke Prolegnas atau tidak

4. Pembahasan di komisi dan panitia kerja

5. Pidato dan voting


Dan akhirnya, standar disepakatinya RUU bukan pada kualitas isinya, melainkan pada untung atau tidaknya bagi partai politik.


Rakyat? Kembali tersisih. Rapat-rapat pembahasan dilakukan secara tertutup atau terbuka namun penuh istilah hukum yang sulit dipahami masyarakat awam. Disepakati tanpa promosi, tanpa sosialisasi.


Penyerapan Aspirasi dalam Islam


Berbeda dengan sistem demokrasi hari ini, Islam memiliki mekanisme penyerapan aspirasi rakyat yang lebih langsung, adil, dan solutif. Dalam Daulah Islamiyah, aspirasi disampaikan melalui musyawarah, dialog, serta lembaga-lembaga yang terbuka dan bertanggung jawab kepada rakyat:


1. Musyawarah dan Dialog

Aspirasi rakyat disampaikan secara langsung kepada pihak berwenang untuk dicari solusi bersama.


2. Majelis Umat

Lembaga resmi yang menjadi forum rakyat dalam menyampaikan kritik, saran, dan aspirasi kepada pemerintah.


3. Mahkamah Mazhalim

Pengadilan khusus untuk mengadili kezaliman penguasa dan melindungi hak-hak rakyat, termasuk menerima pengaduan publik.


4. Teguran Langsung

Ulama, tokoh masyarakat, bahkan rakyat biasa memiliki hak untuk menegur penguasa, baik secara tertutup maupun terbuka.


Keteladanan Umar bin Khattab


Contoh paling nyata adalah bagaimana Khalifah Umar bin Khattab menyikapi kritik dan menjaga keadilan:


Kasus warga Yahudi dan gubernur Mesir, Amr bin Ash: Rumah warga tersebut dirobohkan untuk pembangunan masjid. Umar tak menunggu lama. Ia mengirim pesan simbolik lewat sepotong tulang bergaris lurus, yang langsung dipahami sang gubernur sebagai perintah untuk mengembalikan rumah itu seperti semula.


Kisah ibu yang memasak batu: Saat Umar mendapati seorang ibu yang pura-pura memasak untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan, ia sendiri yang memanggul gandum dari Baitul Mal dan memastikan perut mereka kenyang malam itu juga. Tanpa protokol, tanpa menunggu sidang.


Itulah sebagian kecil dari kisah bagaimana Islam menyerap dan menanggapi aspirasi rakyat. Ketika pemimpin benar-benar menjadi pelayan rakyat, bukan penguasa atas mereka.


Sudah semestinya kita, sebagai umat Islam, merindukan tegaknya sistem Islam dalam bingkai Khilafah, agar syariat Islam bisa diterapkan secara kaffah, menyeluruh, dan menyentuh setiap lapisan masyarakat.


Wallahu a’lam bish-shawab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم