Sepi di Tengah Keramaian Digital

 


Penulis: Mahrita Julia Hapsari

(Aktivis Muslimah Banua)


Fenomena sosial media yang pada awalnya digadang-gadang sebagai sarana penghubung antarmanusia, justru melahirkan realitas sebaliknya: kesepian yang semakin dalam. Orang-orang yang terlihat aktif di jagat maya, membagikan cerita, mengikuti tren, dan berinteraksi dengan ribuan akun, ternyata banyak yang menyimpan perasaan hampa. Mereka berada dalam keramaian digital, namun jiwa mereka sunyi.


Sebuah riset dari mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta mengangkat fenomena ini melalui kajian berjudul “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual.” Menurut perspektif hiperrealitas, representasi digital sering kali terasa lebih meyakinkan daripada kehidupan nyata. Emosi yang dibentuk di balik layar gawai dapat mengendalikan suasana hati, pola pikir, bahkan relasi sosial seseorang. Inilah mengapa banyak pengguna yang semakin tenggelam dalam dunia maya, tetapi kehilangan ikatan nyata dalam kehidupan sehari-hari.


Generasi yang Terjebak Kesepian


Fenomena ini bukan sekadar akibat kurangnya kemampuan mengatur waktu bermain gadget. Lebih jauh, ia merupakan buah dari pola hidup dalam sistem sekuler liberal yang menekankan kebebasan tanpa batas, memuja kesenangan instan, dan menjadikan interaksi maya lebih penting daripada jalinan nyata. Tak heran bila banyak dari generasi muda terutama Gen Z, merasa rapuh, terasing, dan tidak memiliki kepercayaan diri yang kokoh.


Industri kapitalis yang menguasai arus media sosial mendorong terciptanya algoritma untuk mempertahankan keterikatan pengguna. Konten demi konten terus digelontorkan, bukan untuk mendidik, melainkan demi menambang keuntungan. Hasilnya, masyarakat, termasuk keluarga, semakin jauh secara emosional. Anak-anak, remaja, bahkan orang tua larut dalam layar masing-masing, sehingga komunikasi tatap muka kian menipis. Akibatnya, relasi sosial melemah, kepedulian terhadap sesama berkurang, dan generasi yang seharusnya menjadi aset berharga umat justru terperangkap dalam ruang kesepian yang menggerogoti daya juang.


Bahaya Kesepian Kolektif


Kesepian bukanlah masalah sepele. Dalam jangka panjang, ia menurunkan produktivitas, memperlemah kreativitas, bahkan mengikis empati. Apalagi bila perasaan ini menjangkiti generasi muda yang sebenarnya memiliki energi besar untuk membangun masyarakat. Kesepian menjadikan mereka mudah terjerumus pada perilaku konsumtif, depresi, hingga kecanduan konten hiburan dangkal.


Lebih berbahaya lagi, kondisi ini membuat umat Islam kehilangan generasi yang peduli terhadap problematika bangsanya. Bagaimana mungkin lahir pemimpin atau intelektual yang tangguh bila anak mudanya terjebak dalam dunia maya yang semu? Bagaimana umat mampu bangkit bila pemudanya lebih sibuk dengan scrolling layar dibandingkan mengkaji realitas dan mencari solusi?


Allah Swt. telah mengingatkan: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra: 36).


Ayat ini menunjukkan bahwa setiap aktivitas, termasuk interaksi di media sosial, akan dimintai pertanggungjawaban. Penggunaan teknologi tanpa landasan iman justru akan menjerumuskan pada kerugian, baik di dunia maupun di akhirat.


Islam Menawarkan Jalan Keluar


Islam memandang manusia sebagai makhluk sosial sekaligus makhluk yang membutuhkan ikatan spiritual dengan Sang Pencipta. Karenanya, Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya. Di sinilah letak solusi hakiki dari persoalan kesepian massal yang ditimbulkan oleh sosial media.


Pertama, Islam menegaskan bahwa identitas seorang muslim harus kokoh. Standar hidupnya bukan validasi like atau jumlah pengikut, melainkan keridhaan Allah. Seorang muslim yang menjadikan iman sebagai fondasi hidup tidak akan mudah terseret arus tren maya yang menipu.


Kedua, Islam membangun masyarakat dengan ikatan akidah. Relasi sosial tidak didasarkan pada kepentingan individualistik, tetapi pada ikatan persaudaraan sesama muslim dan kepedulian terhadap umat manusia. Dengan atmosfer masyarakat yang diwarnai syariat, kesepian sistematis akibat gaya hidup liberal dapat ditekan.


Ketiga, Islam menempatkan negara sebagai pengatur pemanfaatan teknologi. Negara tidak boleh membiarkan industri kapitalis mengendalikan ruang digital demi keuntungan segelintir pihak. Sebaliknya, negara harus mengarahkan penggunaan media sosial untuk pendidikan, dakwah, dan penguatan peradaban. Generasi muda pun didorong untuk berkarya, berkontribusi, dan fokus pada pembangunan umat, bukan larut dalam hiburan kosong.


Penutup


Kesepian di tengah keramaian digital adalah potret nyata dari kerusakan sistem sekuler liberal yang menafikan peran agama dalam mengatur kehidupan. Selama masyarakat masih menjadikan sistem ini sebagai pijakan, selama itu pula kesepian kolektif akan terus meluas, melumpuhkan potensi, dan merusak generasi.


Hanya dengan kembali pada Islam kaffah, manusia dapat terbebas dari jebakan kesepian. Islam menawarkan keterhubungan yang hakiki: keterhubungan dengan Allah, dengan sesama, dan dengan peradaban yang bermakna. Maka, tidak ada jalan lain kecuali menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, agar keramaian digital tidak lagi melahirkan jiwa-jiwa yang kesepian. Wallahu a'lam bishshowab. []

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم