Oleh: Ayu Fitria Hasanah S.Pd
(Pengamat pendidikan dan sosial budaya)
Isu mental menjadi pembahasan yang terus menarik dibicarakan. Salah satu kondisi mental yang berpotensi menjadi masalah mental serius adalah duck syndorm, yaitu seseorang yang tampak tenang, walaupun sebenarnya mengalami gangguan kecemasan. Istilah duck syndrome pertama kali muncul di Stanford University, Amerika Serikat, untuk menggambarkan kondisi mahasiswa disana. Secara spesifik, duck syndrome dianggap menimpa seseorang yang memiliki tekanan untuk terlihat sempurna, terlihat tenang dan baik-baik saja, tapi sebenarnya mereka mengalami banyak tekanan dan kepanikan untuk mencapai tuntutan hidup. Misalnya, tuntutan akademik untuk mendapat nilai bagus, pendidikan tinggi, hidup mapan, tuntutan gaya hidup sesuai lingkungannya dan sebagainya. Kondisi ini dianalogikan seperti bebek yang sedang berenang. Sebab saat berenang, bagian atas tubuh bebek akan tampak tenang tetapi sebenarnya sedang mengayuh kakinya dengan cepat untuk bisa “tetap di atas air” (ruangguru.com/14/08/2024).
Berdasarkan pemahaman di atas secara sederhana duck syndorm tidak akan terjadi pada seseorang yang tidak peduli atau bodoh amat dengan pandangan sosial yang ada entah dari keluarga, teman-teman, masyarakat atau lingkungan pendidikannya, lebih jelasnya juga tidak akan terjadi pada orang-orang yang qonaah dan tawakkal. Sikap mental duck syndorm jutru rentan menimpa orang-orang yang menjalani hidup berdasarkan standart-standart atau ekspetasi-ekspetasi sosial yang ada, sehingga standart sosial menjadi tekanan baginya. Terlebih secara umum manusia memang cenderung mengikuti standart pemikiran, penilaian yang mendominai. Sebagaimana yang disampaikan dalam buku Hakekat Berpikir yang ditulis oleh Taqiyyuddin An Nabhani halaman 114 bahwa bangsa dan umat memiliki naluri untuk berkumpul bersama (ghorizah al-qathi’, instink to flock together yang terlihat dengan jelas dan menjadi pembentuk masyarakat, mereka menjadi didominasi oleh sikap taklid (meniru yang lain).
Persoalannya pemikiran yang mendominasi masyarakat hari ini adalah berbagai standart, perspektif yang dibangun di atas asas sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) dan kapitalisme (ideologi yang menjadikan uang adalah segalanya), walhasil standart-standart yang berkembang yaitu seperti eksistensi diri dinilai dari capaian materi, dianggap sukses jika hidup mapan, penghasilan tinggi, sebaliknya dianggap gagal jika tidak berpenghasilan tinggi atau tidak mencapai standart level hidup tertentu. Selain itu, perspektif tentang bahagia juga dinilai berdasarkan pemenuhan hidup sebanyak-banyaknya dan semakin dapat dipenuhi dengan kemewahan dianggap semakin bahagia. Walhasil menuntut kondisi finansial yang super bagi orang-orang yang mengambil prespektif ini, dan akan tertekan serta merasa tidak berhak bahagia bila tidak dapat memenuhi. Inilah gambaran bahaya pemikiran yang dibangun diatas sekuler kapitalisme, menciptakan tatanan sosial yang melahirkan tekanan, kenestapaan.
Berbeda halnya jika pemikiran di masyarakat dibangun berdasarkan asas aqidah Islam dan ideologi Islam yang jelas menekankan bahwa hidup itu hanya untuk Allah dan beribadah kepada Allah bukan untuk ekspektasi/pandangan manusia, Islam memiliki perspektif bahwa "Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa" (Al-Hujurat ayat 13). Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564). Pandangan ini akan melahirkan ketenangan bukan tekanan, menghilangkan kecemasan takut gagal atau kurang dari segi hal duniawi, dan justru sangat mudah mendapatkan kebahagiaan. Terlebih perspektif bahagia dalam Islam adalah ketika mendapatkan ridho Allah. Inilah pentingnya mewujudkan masyarakat yang mengadopsi pemikiran-pemikiran Islam dan meninggalkan pemikiran-pemikiran sekuler kapitalisme.[]