Oleh : Ummu Aqila
Dunia saat ini sedang menghadapi badai besar di sektor ketenagakerjaan. Negara-negara maju yang selama ini dipandang sebagai pusat ekonomi global justru diguncang oleh meningkatnya pengangguran. Di Amerika Serikat, misalnya, laporan Bureau of Labor Statistics (2023) menunjukkan peningkatan angka PHK di sektor teknologi dan manufaktur. Di Eropa, tingkat pengangguran muda (youth unemployment) masih menjadi momok, terutama di Spanyol dan Italia yang angkanya menembus lebih dari 20% (ILO, 2023). Jepang pun tidak lepas dari masalah, dengan banyak perusahaan memangkas karyawan akibat perlambatan ekonomi global.
Indonesia tampak sedikit berbeda, karena menurut Badan Pusat Statistik (2024), angka pengangguran nasional cenderung menurun. Namun, jika dilihat lebih rinci, separuh pengangguran justru didominasi generasi muda berusia 15–24 tahun. Artinya, di saat negeri ini mengklaim ada “bonus demografi”, justru anak muda yang paling banyak tidak memiliki pekerjaan. Potensi besar generasi emas itu terbuang sia-sia karena sistem gagal menyediakan ruang bagi mereka untuk berkontribusi.
Kapitalisme: Sistem yang Gagal Mencetak Kesejahteraan
Fenomena krisis tenaga kerja global sejatinya membuka tabir kegagalan sistem kapitalisme. Kapitalisme menuhankan pertumbuhan ekonomi berbasis modal, tetapi abai terhadap distribusi kesejahteraan. Hasilnya, lapangan kerja tidak berkembang seiring dengan pertumbuhan populasi dan kemajuan teknologi.
Salah satu akar masalahnya adalah ketimpangan distribusi kekayaan. Data Oxfam (2023) mengungkap bahwa 1% orang terkaya di dunia menguasai hampir setengah kekayaan global. Di Indonesia, riset Celios (2023) menegaskan bahwa kekayaan 50 orang terkaya setara dengan harta 50 juta orang. Ketimpangan yang menganga ini membuktikan kapitalisme lebih berpihak pada segelintir elite ekonomi, sementara mayoritas rakyat terjebak dalam kesulitan.
Pemerintah sering berdalih dengan mengadakan jobfair, membuka jurusan vokasi, atau mengundang investasi asing. Tetapi solusi tambal sulam ini tidak menyentuh akar masalah. Bagaimana mungkin jobfair berhasil jika industri justru tengah dilanda gelombang PHK (Kemenaker, 2023)? Bagaimana mungkin lulusan vokasi mudah terserap kerja jika perusahaan melakukan efisiensi dengan teknologi otomatisasi? Alhasil, banyak sarjana muda dan lulusan SMK tetap menganggur meski disebut “siap kerja”.
Selama kapitalisme mendominasi, pengangguran akan menjadi penyakit kronis. Bahkan, kecerdasan buatan (AI) yang seharusnya memudahkan hidup, dalam logika kapitalis hanya dijadikan alat efisiensi untuk menekan biaya tenaga kerja, yang ujungnya memperbesar angka pengangguran.
Islam: Solusi Nyata dan Paripurna
Islam hadir dengan konsep yang menyeluruh, berbeda total dengan kapitalisme. Negara dalam Islam berfungsi sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat). Rasulullah ﷺ bersabda:
“Seorang imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Artinya, negara tidak boleh lepas tangan terhadap masalah pengangguran. Islam memiliki mekanisme yang jelas dan realistis:
1. Negara wajib menyediakan akses pekerjaan. Islam mewajibkan negara membuka kesempatan kerja melalui pengelolaan sumber daya alam, pembangunan industri, penyediaan tanah bagi yang tidak punya lahan, hingga bantuan modal bagi rakyat yang ingin berusaha.
2. Distribusi kekayaan yang adil. Allah SWT berfirman:
“Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. al-Hasyr: 7).
Islam mengatur agar harta tidak menumpuk di tangan segelintir orang. Zakat, larangan riba, penghapusan monopoli, serta pengelolaan sektor publik oleh negara menjamin kekayaan terdistribusi secara merata.
3. Pendidikan berkualitas dan visioner. Pendidikan dalam Islam bukan sekadar menyiapkan “calon buruh pabrik”, melainkan mencetak generasi yang berilmu, berkarakter, dan ahli di bidangnya. Negara bertanggung jawab penuh menyediakan pendidikan gratis yang terarah, sehingga rakyat tidak hanya “siap kerja”, tetapi juga siap menjadi pelopor pembangunan peradaban.
4. Jaminan kebutuhan pokok. Islam menetapkan bahwa negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat—pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan terpenuhinya kebutuhan pokok, rakyat dapat berfokus pada pengembangan potensi dan kontribusi produktif bagi masyarakat.
Realitas saat ini menunjukkan bahwa anak muda menjadi korban utama krisis tenaga kerja global. Mereka kehilangan kesempatan, padahal mereka adalah aset paling berharga bagi bangsa. Semua ini bukanlah akibat kurangnya kompetensi generasi muda, melainkan akibat sistem kapitalisme yang terbukti gagal menjamin kesejahteraan.
Maka, solusi sejati tidak terletak pada jobfair, investasi asing, atau jurusan vokasi semata. Solusi mendasar ada pada perubahan sistem menuju Islam yang kaffah. Hanya dengan penerapan sistem ekonomi Islam, kekayaan akan terdistribusi adil, lapangan kerja tersedia, dan generasi muda memiliki masa depan cerah.
Sudah saatnya umat berpaling dari kapitalisme yang menipu dan menjerumuskan, lalu kembali kepada Islam yang menjanjikan kesejahteraan hakiki. Anak muda tidak boleh terus menjadi korban. Mereka harus menjadi pelopor kebangkitan Islam, agar dunia menyaksikan kembali keadilan dan kesejahteraan yang hanya mungkin diwujudkan oleh syariat Allah SWT.
Wallahu 'alam bishowab.[]