Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
Harga beras kembali menjadi persoalan besar di negeri ini. Padahal beras adalah makanan pokok mayoritas rakyat Indonesia. Pemerintah mencoba menenangkan publik dengan janji swasembada dan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP), namun kenyataannya harga beras tetap tinggi di banyak daerah. Berbagai daerah memang mendapat distribusi beras SPHP, tetapi kualitasnya sering dikeluhkan masyarakat. Tidak jarang beras yang digelontorkan justru kurang layak konsumsi, sehingga rakyat enggan membelinya. Pada saat yang sama, stok menumpuk di gudang Bulog tanpa terserap dengan baik.
Masalah lain muncul dari tata kelola distribusi. Penyaluran beras SPHP hanya menjangkau sebagian daerah, sementara di banyak wilayah lain harga masih melambung. Kesenjangan ini menegaskan bahwa kebijakan pemerintah tidak terencana dengan matang. Rakyat miskin yang seharusnya terbantu justru semakin terjepit, karena harga beras di pasaran masih sulit dijangkau.
Kondisi ini semakin menyingkap wajah asli kapitalisme yang hanya melihat pangan sebagai komoditas ekonomi. Pemerintah menempatkan beras seolah barang dagangan biasa yang harus tunduk pada mekanisme pasar. Padahal beras adalah kebutuhan pokok, sumber kehidupan bagi jutaan rakyat. Ketika pangan diperlakukan seperti barang bisnis, maka wajar jika yang lebih kuat yaitu para pemilik modal, importir besar, dan kartel akan menguasai pasar, sementara rakyat kecil terus menderita.
Persoalan semakin parah karena mimpi swasembada sering digembar-gemborkan hanya untuk pencitraan politik. Pemerintah optimistis setiap tahun bisa mencapai kemandirian pangan, namun kenyataan berkata sebaliknya. Sawah semakin berkurang akibat alih fungsi lahan, petani sulit mendapatkan pupuk, harga gabah sering tidak sebanding dengan biaya produksi, sementara impor beras tetap menjadi kebijakan andalan. Akibatnya, produksi dalam negeri tidak sejalan dengan konsumsi nasional.
Bahkan menurut Kumparan (22 Februari 2024), pemerintah memang menyalurkan beras SPHP ke 214 kabupaten/kota, tetapi langkah itu belum mampu menurunkan harga secara signifikan. Di sisi lain, laporan Kontan (16 Februari 2024) menegaskan bahwa harga beras di pasaran masih tinggi meski operasi pasar digelar, karena praktik distribusi tidak efisien. Lebih jauh, Antara (21 Februari 2024) mengungkapkan kualitas beras SPHP sering dikeluhkan warga karena tidak sesuai standar, sehingga masyarakat enggan membelinya. Fakta-fakta ini memperlihatkan bahwa solusi tambal sulam yang ditawarkan negara gagal menyentuh akar masalah.
Program SPHP yang dimaksudkan untuk menstabilkan harga akhirnya hanya bersifat sementara. Ia tidak menyelesaikan sumber persoalan, melainkan sekadar meredam keresahan sesaat. Ketika stok beras impor menipis atau distribusi terganggu, harga kembali melonjak. Rakyat menjadi korban siklus yang terus berulang.
Islam memandang urusan pangan dengan cara yang sangat berbeda. Dalam syariat, kebutuhan pokok setiap individu rakyat adalah kewajiban negara untuk memenuhinya, bukan sekadar barang dagangan yang tunduk pada hukum pasar. Negara wajib menjamin bahwa setiap rumah tangga memiliki akses terhadap makanan pokok dengan harga terjangkau, bahkan gratis bila mereka tidak mampu. Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi saw., “Imam (khalifah) adalah pengurus urusan rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dengan sistem ekonomi Islam, pemerintah tidak menyerahkan pengelolaan pangan pada mekanisme kapitalistik. Negara bertindak langsung untuk memastikan ketersediaan beras, mulai dari pengelolaan lahan pertanian, distribusi pupuk, penentuan harga gabah yang adil, hingga menjamin distribusi beras ke seluruh wilayah. Tidak ada ruang bagi kartel dan mafia untuk menguasai pasokan. Bahkan bila terjadi paceklik di suatu wilayah, negara akan mengirimkan beras dari wilayah lain tanpa menunggu keuntungan. Semua ini dilakukan karena negara memahami bahwa pangan adalah hak dasar rakyat yang wajib dijamin.
Khilafah di masa lalu telah menunjukkan hal tersebut. Khalifah Umar bin Khattab pernah mengerahkan lumbung-lumbung makanan negara untuk memberi makan rakyat ketika paceklik melanda Madinah. Ia bahkan menanggung penderitaan bersama rakyat dengan menolak makan daging hingga kondisi normal kembali. Inilah teladan nyata bagaimana pemimpin dalam Islam benar-benar bertanggung jawab memastikan perut rakyat tidak kosong.
Jika prinsip Islam diterapkan hari ini, persoalan beras yang terus menghantui rakyat Indonesia akan bisa diselesaikan secara tuntas. Negara tidak akan membiarkan petani terpuruk, tidak akan menyerahkan pangan pada kartel, dan tidak akan menjadikan beras sebagai alat pencitraan politik. Sebaliknya, negara memastikan rakyat mendapatkan pangan dengan mudah, murah, dan bermartabat.
Maka, mahalnya harga beras hari ini sesungguhnya bukan sekadar persoalan teknis distribusi, melainkan buah dari sistem kapitalisme yang rusak. Selama rakyat masih percaya pada janji-janji kosong pemerintah dan menoleransi sistem yang menindas ini, maka penderitaan akan terus berulang. Solusi sejati hanya akan terwujud ketika umat kembali kepada Islam secara kaffah, dengan tegaknya khilafah yang menjadikan syariat Allah sebagai landasan pengaturan ekonomi.
Sudah saatnya rakyat menyadari bahwa masalah beras bukan sekadar soal pangan, melainkan soal kepemimpinan. Kita bisa terus menunggu kebijakan tambal sulam yang gagal, atau kita memilih solusi hakiki: kembali pada aturan Allah yang akan menjamin setiap perut rakyat terisi. Wallahu a'lam bishshowab []