Nurul Fadhilah
Kesehatan mental seorang istri sering kali tercermin dari perlakuan dan dukungan suaminya. Demikian halnya, kesehatan mental seorang guru sangat bergantung pada sistem dan kepemimpinan kepala sekolah yang memberdayakan, bukan menindas. Pola yang sama terlihat dalam skala yang lebih luas: kesehatan mental rakyat sebuah bangsa secara kolektif bergantung pada sistem yang dibangun oleh penguasanya. Dalam perspektif ini, penguasa idealnya adalah junnah—perisai yang melindungi orang-orang yang dipimpinnya.
Mereka seharusnya menjadi penjaga yang menciptakan ekosistem keadilan, kesejahteraan, dan rasa aman. Ketika perisai ini berkarat, berubah menjadi alat penindas, atau bahkan hilang sama sekali, yang tersisa adalah kecemasan kolektif, keputusasaan, dan luka mental yang menggerogoti fondasi masyarakat. Oleh karena itu, memilih dan menuntut pemimpin yang memahami esensi kepemimpinan sebagai pelindung, bukan predator, bukan lagi sekadar masalah politik, melainkan sebuah urgensi untuk kesehatan jiwa seluruh rakyat.
Menurut Pandangan Islam
Islam menawarkan solusi yang komprehensif dan berjenjang untuk memutus mata rantai ketergantungan kesehatan mental pada figur pemimpin yang rusak ini. Solusi ini berangkat dari redefinisi esensial tentang konsep kepemimpinan (imamah atau khilafah) itu sendiri, yang dalam Islam bukanlah simbol kekuasaan mutlak, melainkan amanah (titipan) yang berat di hadapan Allah SWT.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari-Muslim).
Hadits ini menjadi fondasi utama: setiap level pemimpin, suami, kepala sekolah, maupun penguasa negara, harus memiliki kesadaran pertanggungjawaban yang transenden, bukan hanya kepada manusia tetapi terutama kepada Allah. Bagi seorang suami, solusinya adalah dengan meneladani Nabi SAW dalam berkeluarga, menjadi qawwam (pemimpin dan penjaga) yang penuh kasih sayang (rahmah) dan melaksanakan hak-hak istri secara proporsional.
Di level sistem pendidikan, kepala sekolah dan pemangku kebijakan wajib menciptakan lingkungan yang adil, menghormati martabat guru, dan memastikan kesejahteraannya, karena memenuhi hak pekerja adalah kewajiban yang ditekankan dalam Islam. Sedangkan di level negara, solusi fundamentalnya adalah menerapkan sistem islam secara kaffah. Berdasarkan pada prinsip prinsip Syura (musyawarah), 'Adl (keadilan), dan penegakan Amar Ma'aruf Nahi Munkar. Penguasa (khalifah/junnah) harus dipilih berdasarkan kapasitas ketakwaan dan kapabilitasnya, bukan berdasarkan kekuatan atau popularitas semata.
Masyarakat juga memiliki kewajiban untuk menasihati (nasihah) penguasa dengan cara yang bijak, serta melakukan koreksi konstruktif ketika kebijakannya menyimpang, karena ketaatan dalam Islam hanya dalam hal yang ma’ruf (kebaikan). Dengan demikian, Islam membangun sebuah ekosistem kepemimpinan yang saling mengingatkan dan bertanggung jawab, dari level keluarga hingga negara, yang pada akhirnya akan menciptakan ‘perisai’ sistemik, bukan personal, yang melindungi kesehatan mental dan spiritual seluruh individu di dalamnya.[]