Penulis: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Muslimah Banua)
Belum lama ini publik dikejutkan oleh pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan kewajiban pajak dengan zakat dan wakaf. Narasi ini jelas diarahkan untuk mendongkrak penerimaan pajak negara yang sedang melemah. Padahal, rakyat sudah menanggung beban pajak yang sangat berat, sementara pemerintah justru semakin gencar mencari sumber pungutan baru. Tidak hanya pajak yang sudah ada dinaikkan tarifnya, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang meningkat berkali lipat, tetapi pemerintah juga mengincar objek baru semisal pajak warisan, karbon, hingga rumah ketiga. Ini menunjukkan betapa pajak tetap menjadi penopang utama APBN, meski pada saat yang sama rakyat makin tercekik.
Kapitalisme Menjadikan Pajak Alat Penindasan
Fenomena ini tidak lepas dari paradigma kapitalisme yang dijalankan oleh negara. Dalam sistem ini, pajak menjadi urat nadi pembiayaan negara. Anehnya, di sisi lain, kekayaan alam yang seharusnya menjadi milik rakyat justru dilepas ke tangan swasta dan korporasi kapitalis. Akibatnya, rakyat tidak mendapatkan manfaat langsung dari sumber daya yang melimpah, tetapi dipaksa menanggung beban lewat pajak.
Pola ini semakin memperlebar jurang kesenjangan. Rakyat kecil kian terhimpit oleh pungutan yang tiada henti, sementara para pemilik modal mendapatkan karpet merah melalui berbagai regulasi. Undang-undang yang lahir sering kali lebih berpihak kepada korporasi besar, bukan kepada rakyat. Ironisnya, dana pajak yang dihimpun bukan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, melainkan digunakan untuk proyek-proyek yang justru menguntungkan para kapitalis.
Bahkan dalam praktiknya, pemerintah memberikan banyak keringanan kepada pemilik modal melalui kebijakan seperti tax amnesty, relaksasi pajak, hingga insentif untuk investasi asing. Dengan kata lain, pajak dalam sistem kapitalisme lebih berfungsi sebagai alat perampasan harta rakyat miskin, sementara kelompok kaya dan korporasi justru diperlakukan istimewa.
Islam Membedakan Pajak dengan Zakat
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki sistem keuangan negara yang kokoh dan adil. Pertama, pajak sama sekali tidak bisa disamakan dengan zakat maupun wakaf. Zakat adalah kewajiban syar’i yang ditetapkan atas harta tertentu, dengan syarat telah mencapai nisab dan haul. Penerimanya pun sudah ditentukan secara tegas dalam Al-Qur’an, yakni delapan golongan yang disebut dalam QS. At-Taubah ayat 60. Sementara wakaf hukumnya sunnah, bukan kewajiban, dan lebih bersifat sukarela.
Adapun dalam Islam, pungutan yang mirip dengan pajak hanya diberlakukan dalam kondisi tertentu, misalnya ketika kas Baitul mal kosong dan ada kebutuhan mendesak, seperti pembiayaan jihad atau penanggulangan bencana besar. Itupun hanya diwajibkan bagi muslim laki-laki yang mampu secara finansial. Jadi, sifatnya sementara, bukan permanen, apalagi menjadi tumpuan utama keuangan negara sebagaimana dalam sistem kapitalisme.
Sumber Keuangan Negara dalam Islam
Islam telah menyiapkan sistem ekonomi yang tidak bertumpu pada pungutan rakyat. Baitul mal sebagai lembaga keuangan negara memiliki banyak pos pemasukan. Salah satu yang terbesar adalah dari pengelolaan sumber daya alam yang termasuk kategori milik umum. Negara berkewajiban mengelola harta milik umum seperti minyak, gas, emas, hutan, laut, dan energi untuk kepentingan seluruh rakyat. Dalam kerangka khilafah, sumber daya tersebut tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi, apalagi asing.
Dengan mekanisme ini, kebutuhan rakyat dapat dipenuhi tanpa harus menjerat mereka dengan pajak yang mencekik. Negara memiliki sumber pemasukan yang stabil dan berlimpah dari sektor yang memang diperuntukkan bagi umat. Selain itu, ada pula pemasukan dari fai’, kharaj, jizyah, ghanimah, dan berbagai sumber syar’i lainnya.
Jalan Keluar: Ekonomi Islam Kaffah
Semua fakta ini memperlihatkan bahwa kapitalisme bukanlah solusi. Ia justru melanggengkan ketidakadilan, memperkaya segelintir kapitalis, sekaligus menambah derita rakyat pun banyak. Selama sistem kapitalisme diterapkan, pajak akan tetap dijadikan tulang punggung negara, meski rakyat sudah jelas keberatan menanggungnya.
Sebaliknya, Islam kaffah menghadirkan sistem ekonomi yang adil dan manusiawi. Islam tidak membiarkan rakyat miskin terbebani pungutan, melainkan melindungi mereka dengan distribusi kekayaan yang merata. Negara bertugas menjamin kebutuhan dasar rakyat—pendidikan, kesehatan, dan keamanan—dengan pembiayaan dari Baitul mal, bukan dari pungutan permanen terhadap rakyat.
Dengan tegaknya khilafah, pengelolaan sumber daya alam akan kembali pada prinsip kepemilikan umum, zakat ditunaikan sesuai syariat, dan pajak hanya diberlakukan secara temporer dengan syarat-syarat tertentu. Inilah jalan keluar nyata untuk menghentikan kezaliman pajak dan menegakkan kesejahteraan hakiki bagi seluruh rakyat. Wallahu a'lam bishshowab []