UMP vs UMK, Dilema Buruh dan Pengusaha?


Oleh: Dyan Ulandari, SE.
(Pendidik di Jombang)

Tak lama ini dunia ketenagakerjaan terlebih kalangan buruh dibuat resah dengan adanya wacana dari Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah. Menaker akan meninjau skema pengupahan terhadap buruh di kabupaten/kota.

Ida Fauziyah mengatakan, bisa jadi nantinya hanya akan ada satu sistem pengupahan di daerah. Artinya, di masing-masing provinsi hanya ada satu acuan upah minimum. Ada kemungkinan me-review, misalkan UMP (Upah Minimum Propinsi) hanya satu jadi tidak melihat UMK (Upah Minimum Kota) provinsi maupun kabupaten/kota (CNBCindonesia.com/14/11/2019).
   
Hal ini menuai kontra di kalangan buruh maupun serikat pekerja dikarenakan sudah bertahun-tahun sebelumnya beberapa perusahaan di kabupaten/kota menerapkan upah berdasarkan UMK/UMSK (Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota) yang cukup lebih tinggi dibanding UMP.

Dari sumber yang sama didebutkan pendapat Presiden KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Said Iqbal bahwa upah minimum berdasarkan wilayah kabupaten/kota sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun yang lalu. Dan tidak masuk akal bila UMK hendak dihapuskan. Karena akan memicu perusahaan berlomba-lomba membayar upah buruh hanya sesuai UMP.

Para buruh pun menuntut kenaikan upah (UMK) untuk menunjang kehidupan yang layak. Contohnya pada Rapat Finalisasi UMK Bekasi 2020 di Kantor Dinas Ketenagakerjaan Bekasi kabarnya berlangsung alot. Di luar gerbang dipadati para buruh yang melakukan aksi tuntutan kenaikan UMK sebanyak 15 persen. Meski pada akhirnya kenaikan didapat 8.51 persen (megapolitan.kompas.com/14/11/2019)

Sebaliknya, kalangan pengusaha sejak sebelumnya menyatakan keberatan dengan kenaikan upah maupun diberlakukannya UMK/UMSK. Dengan diberlakukannya UMP acuan ini tentu menjadi angin segar. Bagaimana tidak, di tengah mahalnya biaya bahan baku produksi modal tenaga kerja/buruhlah yang "masih" bisa ditekan/disiasati.

Terlebih dalam iklim industri yang tidak kondusif, persaingan kian ketat, beban perusahaan untuk jaminan kesehatan maupun asuransi, serta pajak yang kian meninggi. Semua dituntut agar mengeluarkan cost terendah dengan hasil mumpuni agar perusahaan tetap bisa beroperasi.

Ibarat simalakama yang tiada ujungnya. Apakah buruh dan pengusaha selamanya dihadapkan pengupahan penuh dilema?

*Akar Masalah*

Pasti ada yang "salah" dibalik masalah. Problem ketenagakerjaan (perburuhan) ini salah satunya dipicu oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan upah/gaji buruh, yaitu living cost terendah. Living cost inilah yang digunakan sebagai penentu kelayakan upah buruh. Itu artinya para buruh tidak mendapatkan upah mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan imbalan sekadar untuk bertahan hidup.

Hal inilah kemudian yang menyebabkan eksploitasi dari para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Pemanfaatan tenaga buruh sebesar-besarnya dengan upah serendah-rendahnya. Ini adalah salah satu khas sistem kapitalisme. Upah buruh didasarkan dari acuan living cost terendah dimanfaatkan agar buruh tetap bisa kembali bekerja untuk perusahaan keesokan hari. Cukup itu tanpa disertai jalan serius dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan buruh.

Fenomena tersebut menjadi "wajar" karena perusahaan pun berada pada iklim usaha yang tidak kondusif. Dengan persaingan ketat, biaya operasi dan distribusi yang mahal, besarnya pajak yang membuntuti di setiap pendapatan, kewajiban memberikan jaminan sosial berupa kesehatan maupun kesejahteraan. Hal ini tentu menambah beban yang semakin menekan perusahaan. Alhasil perusahaan meneruskan semua beban itu diantaranya adalah pada upaya menekan upah buruh.

*Pandangan Islam Tentang Standard Gaji Buruh*

Dalam menentukan standar gaji buruh, Islam menggunakan manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh pada perusahaan, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh maupun pegawai negeri sama-sama dihargai atas jasanya. Buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Apabila dalam menentukan upah terjadi sengketa antara buruh dan majikan, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya sulit menemukan kata sepakat, maka tugas negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

Dengan demikian, negara/provinsi tidak perlu menetapkan UMR (Upah Minimum Regional)/UMK/UMSK/UMP. Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan dalam Islam. Analoginya adalah pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah sama-sama merupakan kompensasi. Perbedaannya adalah harga merupakan kompensasi barang, sedangkan upah/gaji merupakan kompensasi atas jasa.

Selain itu juga beban jaminan kebutuhan kehidupan yang saat ini tanggungjawabnya diampu oleh perusahaan. Maka dalam Islam hal itu justru tidak diperkenankan, karena upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara untuk tiap jiwa rakyatnya, bukan tanggung jawab majikan ataupun perusahaan.

Wallahua'lam bisshowab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم