Oleh : Ummu Syifa
Tribratanews.polri.go.id – Jakarta. Anggota Komisi III DPR, Hj. Lola Nelria Oktavia, S.E., menyoroti kasus kekerasan seksual terhadap anak berusia 5 tahun di Garut. Ia meminta kepolisian mengusut tuntas kasus kekerasan seksual tersebut yang melibatkan orang tua dan orang terdekat korban.
"Peristiwa pemerkosaan dan pencabulan yang berulang dan dilakukan bergantian oleh ayah, kakek, dan paman kandung dari anak tersebut adalah sebuah kebiadaban. Kepolisian harus melakukan penanganan secara serius, menyeluruh, dan cepat," ujarnya, dilansir dari laman RRI, Jumat (11/4/25).
Dalam kesempatannya ia mengatakan bahwa pihaknya mengecam aksi kekerasan seksual tersebut yang akan menimbulkan trauma kepada korban yang masih anak-anak. Ia mendesak agar kepolisian memberikan hukum yang seberat-beratnya, agar pelaku jera serta menjadi pembelajaran bagi semua pihak.
"Pelaku harus dihukum maksimal sebagai konsekuensi atas perbuatannya. Saya mengajak semua pihak untuk terlibat dalam memberikan pendampingan psikologis dan memastikan hak-hak korban dapat terpenuhi, terutama berkaitan dengan kondisi kesehatan dan masa depan korban," jelasnya.
Selanjutnya, ia juga menambahkan, tingginya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak mendorong segera dibentuk Satuan Perlindungan Perempuan dan Anak. Menurutnya, Satgas tersebut perlu ada di tingkat dua yakni Kabupaten dan Kota pada polres-polres se-Indonesia.
Perlu ada upaya sistematis untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan untuk mencegah terjadinya kejadian serupa di kemudian hari. Saya mengajak semua pihak untuk memikirkan cara penanganan terbaik dan tercepat bagi kasus serupa. " tutupnya.
Ironis melihat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak makin kompleks dan tidak tertangani. Meski kaum feminis berupaya meminta payung hukum terhadap perempuan dan anak-anak lewat UU 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, hingga kini hasilnya masih nihil.
Menjamurnya kasus kekerasan seksual adalah akibat penerapan kapitalisme yang mendewakan kebebasan individu dan mengabaikan akibat buruknya pada masyarakat. Dalam kapitalisme, aturan dibuat ketika muncul konflik di antara kepentingan individu. Sebagaimana “pemadam kebakaran”, aturan dirumuskan ketika masalah sudah terjadi dan bersifat tambal sulam serta kontradiktif. Sama sekali tidak menyelesaikan masalah dan terus bergulat dengan masalah yang sama.
Tampaknya pula, kaum feminis atau mereka yang bergerak untuk menyelamatkan perempuan dan anak dari kekerasan seksual lupa bahwa persoalan ini justru lahir dari ide kebebasan. Kapitalisme merendahkan perempuan, mengeksploitasi mereka untuk industri iklan, bisnis, dan hiburan. Peredaran minuman keras juga dibiarkan, penyalahgunaan narkoba dan hiburan porno pun marak yang memicu terjadinya pemerkosaan.
Perspektif “perempuan sebagai korban” memang lebih mudah membangkitkan simpati publik dan meloloskan agenda besar yang telah di-setting. Inilah credit point bagi kaum feminis karena bisa makin menegaskan narasi mereka tentang subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan akibat kekerasan seksual.
Tidak adanya standar kebenaran dalam kapitalisme dan demokrasi menjadikan tidak masalah jika harus memanfaatkan perempuan sebagai “korban” agenda setting kebijakan. Kapitalisme tidak sedikit pun memandang kehormatan perempuan sebagai hal yang harus dijaga. Oleh karenanya, kapitalisme terus melahirkan ide batil, sekalipun disokong UU atau teori setinggi langit.
Lagi pula, publik jangan senang dahulu dengan vonis hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksual tadi. Selama kapitalisme dan demokrasi masih bercokol di negeri ini, hukuman itu tetap tidak berefek jera bagi pelaku. Selalu akan ada peluang dan kesempatan untuk terjadinya tindak kekerasan seksual lainnya.
Mustahil Menuntaskan Kekerasan Seksual
Mengharapkan kapitalisme dan demokrasi mampu menuntaskan kekerasan seksual layaknya pungguk merindukan bulan. Berharap kebaikan, tetapi tidak jua mendapatkannya. Buktinya, selama kapitalisme diterapkan di berbagai negeri, angka kriminalitas justru makin meningkat setiap tahunnya.
Oleh karenanya, satu-satunya harapan masyarakat ialah sistem Islam (Khilafah) yang secara menyeluruh akan menjaga manusia dari berbagai tindakan kejahatan, bukan hanya menjaga perempuan dari kekerasan seksual.
Mekanisme sistem Islam menjaga perempuan, khususnya lewat sistem pergaulan Islam. Perempuan diposisikan sebagai mitra laki-laki dalam kehidupan domestik dan publik. Islam menilai perempuan bukan sebagai objek pemuas hasrat seksual. Perbincangan seksual hanya dalam ranah domestik, yakni antara suami dan istri. Interaksi antara keduanya dalam rangka melestarikan manusia pun bukan pandangan seksualitas semata.
Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan menutup aurat dan menjaga kemaluan mereka. Islam juga memudahkan urusan menikah sebagai sarana sah untuk penyaluran naluri seksual dan menjaga kehormatan masing-masing pasangan.
Islam melarang perempuan tabaruj (memamerkan kecantikan kepada nonmahram) hingga bisa merangsang naluri seksual laki-laki.
Dalam Islam Laki-laki dan perempuan dilarang melakukan aktivitas yang merusak akhlak, seperti menjadi SPG yang menonjolkan sisi feminitasnya. Islam memerintahkan agar safar (perjalanan) perempuan yang lebih dari sehari semalam untuk ditemani mahram dalam rangka menjaga kehormatannya.
Selain semua itu, media massa dilarang untuk menyebarkan konten porno dan akan ditindak tegas jika terjadi pelanggaran dengan mencabut izin pendiriannya. Khalifah akan menghukum pelaku pelecehan seksual, pemerkosaan, pembunuhan, dan sejenisnya dengan hukuman setimpal sesuai syariat Islam.
Jelas Islam punya solusi tuntas dalam menata pergaulan sehingga hal melindungi perempuan baik itu dewasa maupun anak anak. Sudah semestinya umat Islam kembali kepada aturan yang dibuat oleh sang pencipta alam semesta yang maha adil dan bijaksana yaitu Allah SWT. Sistem Islam yang semestinya diperjuangkan oleh kaum muslimin bukan sistem yang lain yang hanya membuat kerusakan tatanan kehidupan.
Wallahu'alam.