Oleh: Alfinatun Nadhir
Indonesia kembali dipaksa bercermin oleh kenyataan pahit, enam bayi diselamatkan dari upaya perdagangan lintas negara yang melibatkan jaringan sindikat, calo, bahkan pegawai negara. Kasus ini bukan sekadar pelanggaran hukum ini adalah tamparan bagi nurani, dan luka kolektif bagi kita semua, yang menyebut diri sebagai manusia beradab.
Kabid Humas Polda Jabar, Kombes. Pol. Hendra Rochmawan, menyatakan sindikat perdagangan bayi telah beroperasi sejak tahun 2023 dan menjual 25 bayi.
Masing-masing bayi ditukar dengan uang sekitar Rp11 juta s.d. Rp16 juta—harga yang bahkan tak cukup untuk menggambarkan nilai satu kehidupan manusia
Ironisnya, jaringan ini bukan hanya melibatkan orang tua yang terpaksa menyerah karena tekanan ekonomi, oknum pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) pun turut bermain, memalsukan dokumen kelahiran dan kartu keluarga demi menyulap bayi yang dijual agar tampak sah. Secara administratif sebagai anak dari pembeli. Negara yang semestinya hadir untuk melindungi, justru terseret menjadi bagian dari sistem yang melegitimasi kejahatan ini. (Media Indonesia, 18 Juli 2025).
Kasus ini bukanlah yang pertama. Tapi setiap kali berita serupa mencuat, kita seperti hanya bergidik sejenak lalu lupa. Seharusnya, kita marah. Bukan sekadar kepada pelaku, tapi juga pada sistem yang memelihara celah-celah kebocoran moral dan birokrasi.
Kompas.com menyebutkan bahwa sindikat ini mengeksploitasi lemahnya sistem perlindungan anak dan buruknya tata kelola administrasi kependudukan. Bahkan Komnas Perlindungan Anak mendesak pemerintah untuk membenahi sistem secara menyeluruh. Bukan hanya menindak pelaku saja.
Jika birokrasi bisa begitu mudah dibeli, jika identitas anak bisa direkayasa sesuka hati, maka apa artinya keberadaan negara dalam hidup seorang bayi yang baru lahir?
Bobroknya Sistem Demokrasi Kapitalis
Fenomena ini adalah potret menyedihkan dari wajah demokrasi kapitalis yang menjadikan manusia sebagai komoditas. Dalam sistem ini, nilai manusia diukur dari sisi ekonomi. Ketika tekanan hidup yang menyesakkan, dan menyengsarakan sehingga terpaksa menjual darah dagingnya sendiri demi sesuap nasi.Negara alih-alih hadir sebagai pelindung, justru seringkali menjadi korporasi besar yang hanya sibuk mengurusi data, birokrasi, dan pertumbuhan ekonomi semu, sementara kemanusiaan merintih di ambang jurang.
Walhasil, bersikap preventif dan solutif, seperti yang seringkali terjadi, negara justru malah lebih sering beraksi setelah terjadi hal seperti ini tanpa benar-benar turun tangan dan menyelesaikan permasalahan yang ada sampai tuntas. Dalam hal ini, administrasi yang rapuh, lemahnya kontrol dan pengawasan negara, serta minimnya sistem perlindungan anak membuat sindikat ini mampu bergerak dengan leluasa selama bertahun-tahun.
Namun ini wajar terjadi karena sejatinya sistem demokrasi kapitalis adalah sistem buatan manusia yang standar aturannya pun tidak jelas, bahkan seringkali bisa dipesan sesuai dengan kepentingan pihak tertentu.
Lantas bagaimana solusi hakiki yang mampu menuntaskan masalah ini sampai akar?
Islam Hadir Sebagai Solusi
Islam sejak awal menempatkan anak sebagai amanah suci, bukan komoditas. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT mengecam keras praktik membunuh atau menghilangkan anak karena takut miskin:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami lah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.”
(QS. Al-Isra: 31)
Ayat ini tidak hanya melarang kekerasan terhadap anak, tapi juga menegaskan bahwa ketakutan ekonomi tidak boleh menjadi alasan untuk mengabaikan hak hidup dan hak tumbuh kembang seorang anak.
Islam juga menekankan kewajiban negara sebagai pelindung hak-hak masyarakat, termasuk anak-anak. Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata,
"Jika seekor keledai mati karena tersandung di Irak, aku khawatir Allah akan memintaku bertanggung jawab karena tidak menyediakan jalan yang layak baginya."
(Al-Mawardi, Al-Ahkam As-Sultaniyyah)
Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam Islam tidak hanya administratif, tetapi moral dan spiritual—menjaga amanah dan menjamin kehidupan warganya, apalagi yang paling lemah.
Ketika sistem saat ini gagal memberikan perlindungan menyeluruh dan mencegah kelahiran anak-anak dari rahim kemiskinan dan keputusasaan, Islam menawarkan sistem sosial yang terintegrasi:
- Hak-hak setiap individu dijamin secara menyeluruh,
- Keluarga dilindungi dari tekanan ekonomi melalui zakat, infaq, wakaf dan sedekah yang terorganisir negara,
- Aparatur negara dikawal dengan akhlak dan ketakwaan, bukan hanya SOP teknis.
Penjualan bayi bukan hanya tragedi kemanusiaan yang sangat mengiris nurani, tetapi juga menjadi cermin dari sistem yang butuh dibenahi dari akar. Islam bukan hanya agama spiritual, tetapi juga sistem kehidupan yang menjamin perlindungan hak-hak manusia sejak dalam kandungan. Kita butuh keberanian untuk menoleh ke sana bukan hanya sebagai wacana, tetapi sebagai solusi nyata.
Untuk itu hanya dengan sistem Islam yang kaffah dibawah naungan khilafah Rasyidah yang bisa menuntaskan permasalahan perdagangan sindikat bayi yang sangat meresahkan umat.
Wallahu'alam bishshawab.[]