Oleh: Mei Widiati, M.Pd.
Pernyataan Ketua Komisi VIII DPR RI, Marwan Dasopang, yang mengungkapkan ultimatum Arab Saudi terkait pembayaran uang muka lahan Arafah dan Mina untuk pelaksanaan haji 2026, menjadi pukulan telak bagi Indonesia. Negara dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia justru harus diingatkan bahkan diancam kehilangan slot lahan yang selama ini menjadi haknya.
Pertanyaan mendasarnya: mengapa kondisi ini berulang, dan mengapa pemerintah selalu gagap menghadapi kebutuhan rutin tahunan yang semestinya dapat diprediksi?
Birokrasi Sekuler yang Reaktif
Fenomena ultimatum ini memperlihatkan wajah birokrasi kita yang masih bermental sekuler reaktif, penuh tarik ulur, dan tidak berbasis pada visi pelayanan umat. Alih-alih merancang sistem antisipatif yang jelas, pengambilan keputusan justru terlambat, berbelit, dan sering kali berbasis kalkulasi politik maupun bisnis. Hal ini menegaskan lemahnya lobi pemerintah Indonesia di mata Arab Saudi.
Fragmentasi Kewenangan
Masalah haji juga tidak lepas dari fragmentasi kewenangan: Kementerian Agama, DPR, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), hingga wacana pembentukan lembaga baru. Bukannya melahirkan sinkronisasi, justru terjadi tarik-menarik kepentingan. Dana haji yang mencapai lebih dari Rp160 triliun pun menjadi bancakan politik. Ketidakjelasan alokasi, transparansi, hingga praktik jual beli kuota haji semakin mencoreng amanah besar ini.
Paradigma Bisnis, Bukan Ibadah
Tidak hanya Indonesia, Arab Saudi pun kini memandang penyelenggaraan haji dengan paradigma bisnis. Namun celakanya, Indonesia sebagai negara dengan jumlah jamaah terbesar justru hanya menjadi "pembeli jasa" dalam mekanisme kuota global. Sehingga meski memiliki kontribusi signifikan, tetap berada pada posisi lemah dan bergantung sepenuhnya pada kebijakan Saudi.
Dana Haji: Amanah atau Aset Finansial?
Lebih jauh, dana haji yang dikelola BPKH kerap diperlakukan sebagai aset finansial, bukan amanah ibadah. Ditempatkan di instrumen investasi yang penuh risiko, tidak sepenuhnya jelas ke mana hasilnya dialirkan, dan minim transparansi publik. Pola pengelolaan semacam ini rawan disusupi kepentingan pribadi maupun politik. Padahal, dalam perspektif syariat Islam, harta jamaah adalah amanah yang harus dikelola tanpa riba, tanpa spekulasi, serta 100% untuk kemaslahatan umat.
Saatnya Paradigma Berubah
Kegaduhan terkait ultimatum Saudi adalah cermin gagalnya tata kelola haji berbasis sekuler dan kapitalistik. Selama haji dipandang sekadar komoditas politik dan bisnis, polemik akan terus berulang. Solusinya bukan sekadar memperbaiki teknis pembayaran atau koordinasi antar lembaga, melainkan mengubah paradigma: dari orientasi finansial ke orientasi ibadah. Haji adalah rukun Islam kelima urusan akhirat, bukan pasar kekuasaan.
Ultimatum dari Arab Saudi semestinya menjadi alarm keras bagi bangsa ini. Jika tidak segera ada reformasi mendasar dalam pengelolaan haji, kepercayaan publik akan semakin terkikis, sementara jamaah terus menjadi korban tarik-menarik kepentingan. Mengelola haji bukan sekadar soal manajemen, melainkan amanah suci yang harus dijalankan dengan profesionalitas, transparansi, dan yang terpenting berlandaskan syariat.
Wallaahu a'lam bishawab.[]