Penulis: Naila Zayyan (aktivis Forum Muslimah Indonesia / ForMInd)
Gaza kembali dibungkam. Pada 18 September 2025, dunia dikejutkan oleh laporan bahwa listrik, internet, dan seluruh jalur telekomunikasi di Gaza dipadamkan total. Kota yang telah lama terkepung itu kini terisolasi sepenuhnya. Tidak ada sinyal, tidak ada kabar, tidak ada koordinasi darurat. Hanya dentuman bom, deru tank, dan jeritan rakyat yang tak terdengar dunia luar. Israel, dengan ribuan tanknya, mengepung dan menekan warga sipil Palestina agar segera meninggalkan tanah yang mereka diami. Jalur evakuasi Salah al-Din dibuka bukan sebagai penyelamat, tetapi sebagai strategi pengosongan wilayah—upaya sistematis melenyapkan Gaza dari peta peradaban[^1].
Tragedi ini mengingatkan dunia betapa rapuhnya nasib rakyat Palestina di bawah cengkeraman Zionis. Ketika komunikasi lumpuh, tak hanya warga sipil yang kehilangan akses informasi, tapi juga dunia kehilangan saksi. Ambulans tak bisa berkoordinasi, keluarga tercerai berai tanpa kabar, media tak bisa melaporkan. Gaza terkubur dalam sunyi yang mencekam, sebuah strategi yang jelas-jelas ditujukan untuk melumpuhkan daya tahan warga sebelum digilas mesin perang Israel[^2].
Gelombang Kecaman dan Boikot Dunia
Meski Israel berusaha menutup rapat Gaza, suara kemarahan dunia tetap menggema. Negara-negara Eropa mulai mengambil langkah nyata, meski terbatas. Belgia melarang impor dari Israel, Spanyol mengubah embargo senjata de facto menjadi undang-undang, bahkan menutup pelabuhan dan ruang udara bagi kapal atau pesawat yang membawa senjata ke Israel. Norwegia mengumumkan divestasi dari perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Israel. Uni Eropa berencana memberi sanksi kepada menteri sayap kanan Israel dan menangguhkan sebagian kerja sama perdagangan[^3].
Tak hanya negara, suara boikot menggema dari ranah budaya dan olahraga. Di Hollywood, lebih dari 4.000 orang menandatangani seruan boikot terhadap perusahaan, festival, dan penyiaran yang berhubungan dengan Israel hanya dalam sepekan. Dunia olahraga pun bergerak—balap sepeda dan catur tak luput dari boikot. Sekjen PBB sendiri memperingatkan bahwa dunia tidak boleh tunduk pada intimidasi Israel[^4].
Namun, apakah semua ini mengubah situasi di Gaza? Jawabannya: belum. Israel tetap bergeming, melanjutkan serangan tanpa gentar, seolah kecaman dan boikot hanyalah angin lalu.
Strategi Militer dan Politik Israel
Mengapa demikian? Karena tujuan Israel jauh lebih besar dari sekadar operasi militer jangka pendek. Pengepungan Gaza, pemadaman komunikasi, dan pengosongan wilayah adalah bagian dari strategi panjang: menguasai Palestina sepenuhnya dan mewujudkan proyek “Israel Raya.” Dalam logika Zionis, Gaza adalah simpul penting yang harus dilumpuhkan.
Israel juga tahu, sekalipun dunia marah, mereka memiliki sandaran utama: Amerika Serikat. Negara adidaya itu tak pernah goyah memberi dukungan penuh, baik militer, politik, maupun ekonomi. Kapitalis global yang terafiliasi dengan gerakan Zionis berakar kuat di sana. Maka, selama sokongan AS tak pernah berhenti, kecaman dunia tak akan banyak berarti.
Keterbatasan Boikot dalam Sistem Kapitalisme
Gelombang boikot internasional memang menggema, tetapi sejauh ini belum mampu menghentikan mesin perang Israel. Di bawah sistem kapitalisme global, boikot sering kali hanya menjadi “lipstik politik.” Negara atau perusahaan bisa saja menyuarakan sanksi di muka publik, namun tetap menjalin kerja sama di balik layar demi keuntungan ekonomi dan kepentingan strategis.
Sejarah sudah berkali-kali menunjukkan: Zionis tidak mudah goyah hanya dengan embargo atau boikot parsial. Mereka bergerak dengan tujuan ideologis yang disertai dukungan kekuatan militer terbesar di dunia.
Dunia Marah, Gaza Tetap Terluka
Kondisi inilah yang membuat kita harus jujur: kemarahan dunia belum menjadi tameng nyata bagi rakyat Gaza. Sementara itu, penderitaan mereka kian parah. Bayi-bayi kehilangan susu dan obat, orang tua tak bisa berobat, anak-anak tak bisa bersekolah, dan ribuan keluarga tercerabut dari rumah. Gaza seakan dibiarkan menjadi penjara terbuka, sebuah laboratorium kekejaman yang disiarkan ke seluruh dunia[^5].
Ironisnya, umat manusia hanya bisa menonton, sebagian mencoba berteriak, sebagian lagi menutup mata.
*Dimana Tentara Kaum Muslimin?*
Pertanyaan besar pun menyeruak: di mana tentara kaum muslimin? Negeri-negeri muslim menguasai wilayah strategis, sumber daya melimpah, bahkan kekuatan militer yang besar. Namun ketika Palestina menjerit, mereka hanya sibuk dengan diplomasi lemah atau pernyataan formalitas. Tidak ada satu pun yang menggerakkan kekuatan militer mereka untuk benar-benar membela rakyat Palestina.
Padahal, sepanjang sejarah, Islam pernah mencatat bagaimana kekuatan militer kaum muslimin menjadi perisai bagi umat. Di masa lalu, ketika musuh menindas, Khalifah menggerakkan pasukan, dan umat terlindungi. Kini, ketika penderitaan Gaza mencapai puncaknya, dunia Islam justru terpecah-belah, dibius oleh batas-batas nasionalisme sempit, hingga lupa bahwa Palestina adalah bagian dari tubuh umat.
Allah SWT sudah menyingkap tabiat kaum Yahudi dalam firman-Nya:
"Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik." (QS. Al-Maidah: 82)
Ayat ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi peringatan yang abadi. Permusuhan kaum Yahudi Zionis terhadap Islam dan umatnya tidak pernah padam. Maka, wajar jika mereka terus menebar makar, mengepung, membunuh, dan mengusir rakyat Palestina.
*Solusi Sejati: Sistem Islam Kaffah*
Dari fakta yang ada, jelaslah bahwa kecaman internasional, embargo ekonomi, bahkan gelombang boikot global, tidak cukup untuk membebaskan Gaza. Sistem kapitalisme yang mendasari dunia saat ini hanya melahirkan kepentingan ganda: di satu sisi mengecam, di sisi lain tetap mendukung Israel.
Solusi sejati bukanlah sekadar menambah jumlah konferensi internasional atau menunggu belas kasihan dunia Barat. Solusi sejati adalah mengembalikan sistem Islam secara kaffah—sistem yang pernah menegakkan keadilan global dan menjadi perisai nyata bagi umat.
Dalam sistem Islam kaffah, kepemimpinan berada di tangan seorang Khalifah yang bertanggung jawab melindungi seluruh kaum muslimin. Tentara digerakkan bukan demi kepentingan politik sempit, tetapi demi membela kehormatan umat. Hanya dalam kerangka inilah, Palestina benar-benar bisa dibebaskan, bukan sekadar dijadikan komoditas politik internasional.
Selama sistem ini belum tegak, Gaza akan terus menjadi korban, dan dunia hanya bisa menonton atau memberi reaksi setengah hati.
Penutup
Hari ini, dunia marah melihat Gaza dibungkam. Negara-negara mengembargo, artis Hollywood bersuara, atlet memboikot, bahkan PBB memperingatkan. Namun, darah rakyat Palestina tetap mengalir. Semua itu membuktikan: tanpa kekuatan riil yang mampu menghadapi Israel secara langsung, penderitaan Gaza tak akan pernah berakhir.
Pertanyaan itu kembali bergema, lebih lantang dari sebelumnya: di mana tentara kaum muslimin? Sampai kapan mereka berdiam diri, sementara saudara mereka di Gaza dihancurkan?
Sejarah menunggu jawabannya. Dan dunia akan menjadi saksi, apakah umat Islam akan kembali menegakkan sistem Islam kaffah yang mampu menjadi pelindung bagi seluruh umat manusia—atau terus membiarkan Gaza sekarat di bawah cengkeraman Zionis.
---
Catatan Kaki
[^1]: "Gaza Dibungkam, Internet dan Telepon Padam Total Saat Tank Israel Kepung Kota", Tribunnews, 18 September 2025.
[^2]: "Komunikasi Lumpuh di Kota Gaza, 800.000 Warga Palestina Terisolir", Sindonews, 19 September 2025.
[^3]: "Gaza Terisolasi, Israel Matikan Komunikasi Dua Hari Berturut-turut", Tempo, 19 September 2025.
[^4]: "Ketum MUI Harapkan KTT Dunia Islam Perkuat Sikap Eropa Akhiri Genosida Gaza", MUI.or.id, 21 September 2025.
[^5]: "Komunikasi di Gaza Terputus Akibat Bombardir Israel", Media Indonesia, 20 September 2025.