Job Hugging Melanda Kaum Muda, Dampak Kapitalisme Global



Nurul Fadhilah 


Istilah "quiet quitting" sempat viral sebagai bentuk protes halus kaum muda terhadap budaya kerja yang eksploitatif. Namun, ada fenomena lain yang lebih subtansial dan justru menggambarkan realitas yang lebih suram: job hugging. Berlawanan dengan "job hopping" (meloncat dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain), job hugging adalah tindakan untuk berpegang erat-erat pada pekerjaan yang ada, betapapun tidak idealnya, dengan rasa takut yang mendalam untuk melepaskannya. Fenomena ini bukan sekadar pilihan karir, melainkan gejala psikologis dan sosial yang lahir langsung dari rahim kapitalisme global.


Akar dari job hugging dapat ditelusuri pada ketidakpastian ekonomi yang menjadi ciri khas sistem kapitalisme kontemporer. Krisis finansial 2008, pandemi Covid-19, dan ancaman resesi global telah menanamkan trauma kolektif. Kaum muda, yang menyaksikan orang tuanya di-PHK atau kesulitan mencari kerja, tumbuh dengan mindset bahwa "memiliki pekerjaan" lebih penting daripada "memiliki pekerjaan yang baik." Dalam iklim seperti ini, keamanan (security) mengalahkan passion atau perkembangan karir. Mereka memilih untuk "memeluk" posisi mereka sekarang karena bayangan kelam pengangguran jauh lebih menakutkan daripada hari-hari yang monoton dan tidak menginspirasi.


Kapitalisme global dengan efisiensi dan automasinya telah menciptakan pasar kerja yang hiper-kompetitif dan sekaligus rapuh. Gelar sarjana bukan lagi jaminan, karena perusahaan multinasional dengan leluasa membandingkan upah tenaga kerja di seluruh dunia. Teknologi seperti AI mulai menggerus pekerjaan-pekerjaan rutin. Di tengah gelombang disruptif ini, perusahaan lebih memilih kontrak jangka pendek, outsourcing, dan pekerja paruh waktu. Konsep "karyawan tetap" menjadi barang mewah. Kaum muda yang berhasil mendapatkan posisi yang relatif stabil akan melakukan segalanya untuk mempertahankannya, termasuk menerima beban kerja yang berlebihan, gaji yang stagnan, atau lingkungan kerja yang toxic. Mereka takut, jika melepaskan "pelampung" ini, mereka hanya akan menemukan lautan ketidakpastian tanpa kapal lain yang akan lewat.


Dampak dari epidemi job hugging ini multidimensi. Pertama, pada tingkat individu, terjadi stagnasi potensi. Kaum muda kehilangan keberanian untuk mengambil risiko, berinovasi, atau mengembangkan skill baru. Kreativitas dan semangat kewirausahaan (entrepreneurship) mandek karena energi habis untuk sekadar bertahan. Burnout dan kecemasan menjadi teman sehari-hari, tetapi dilepaskan karena takut jatuh ke lubang yang lebih dalam. Kedua, pada tingkat makro, ekonomi secara keseluruhan bisa mengalami perlambatan. Pasar tenaga kerja menjadi kaku. Sirkulasi talenta yang sehat—di mana talenta terbaik berpindah ke perusahaan yang lebih inovatif—terhambat. Perusahaan-perusahaan mapan tidak merasakan tekanan untuk memperbaiki budaya kerja atau menawarkan kompensasi yang lebih kompetitif karena karyawannya tidak berani pergi.


Lalu, apa solusinya? Menyalahkan kaum muda sebagai generasi yang tidak berani tentu naif. Solusinya terletak pada pembenahan sistem. Pemerintah perlu memperkuat jaring pengaman sosial (social safety net), seperti asuransi pengangguran dan akses kesehatan yang terjangkau, untuk mengurangi rasa takut akan jatuh secara finansial. Di sisi lain, dunia usaha harus dituntut untuk menciptakan ekosistem kerja yang manusiawi: memberikan kepastian karir, pelatihan keterampilan, dan upah yang layak. Perlu ada pergeseran paradigma dari melihat karyawan sebagai "biaya" menjadi "investasi."


Pada akhirnya, job hugging adalah cermin dari kegagalan sistemik. Ia adalah respons rasional terhadap lingkungan yang irasional. Kaum muda bukan tidak ingin berkembang atau berkontribusi lebih; mereka hanya dicekik oleh logika kapitalisme global yang mengorbankan stabilitas manusia di altar efisiensi dan akumulasi profit. Sebelum kita menyuruh mereka untuk berani melepaskan "pelukan" pada pekerjaannya, kita harus terlebih dahulu menciptakan dunia di mana jatuh bukanlah sebuah bencana, dan masa depan bukanlah sesuatu yang harus ditakuti.


Pandangan Islam tentang Peran Negara dalam Mengatasi Job Hugging


Dalam Islam, negara memikul tanggung jawab utama untuk mencegah fenomena "job hugging" dengan menciptakan sistem ekonomi yang berkeadilan. Negara tidak boleh berdiam diri, tetapi harus aktif menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap warganya - termasuk pangan, sandang, papan, kesehatan, dan pendidikan. Dengan jaminan sosial yang kuat ini, rasa takut kehilangan penghidupan yang memicu seseorang bertahan di pekerjaan tidak ideal akan berkurang secara signifikan.


Negara juga wajib menciptakan lapangan kerja halal melalui pengelolaan sumber daya alam untuk kemaslahatan rakyat, sekaligus menegakkan keadilan dalam hubungan kerja dengan memastikan upah yang layak dan kontrak yang adil. Selain itu, penerapan sistem keuangan tanpa riba akan membuka akses modal yang lebih luas bagi wirausaha muda. Intinya, Islam menempatkan negara sebagai penanggung jawab utama dalam menciptakan lingkungan ekonomi yang stabil dan adil, sehingga kaum muda tidak lagi terjebak dalam "pelukan" pekerjaan yang tidak menentu akibat ketakutan akan masa depan. Dan sistem seperti ini hanya ada pada sistem pemerintahan dalam islam dan hanya bisa diterapkan di negara Islam yaitu negara Khilafah Islamiyyah.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama