Oleh Annisa Siti Rohimah (Muslimah Pemerhati Generasi)
Kemenag resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Menag Nasaruddin Umar menyebut KBC sebagai langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional. Kurikulum ini hadir sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi, dan degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan.
KBC akan diimplementasikan secara bertahap melalui berbagai skema pelatihan, termasuk pelatihan berani melalui platform MOOC PINTAR, pelatihan calon pelatih, dan program pemantauan MAGIS yang dikembangkan bersama mitra strategis seperti INOVASI. Kemenag juga melibatkan unit-unit internal seperti GTK, PAI, dan PUSBANGKOM dalam memperkuat pelaksanaan kurikulum (Republika.id, 26/7/2025)
KBC digadang-gadang sebagai kontribusi nyata Kementerian Agama dalam menyongsong Indonesia Emas 2045, dengan mencetak generasi yang tidak hanya unggul dalam akademik, tetapi juga matang dalam spiritualitas, toleran, dan cinta lingkungan. “Melalui KBC, kita ingin melahirkan generasi yang berpikir dengan cinta, merasa dengan cinta, dan bertindak dengan cinta. Pendidikan yang bukan hanya mencetak orang pintar, tapi membentuk manusia yang utuh,” pungkasnya (SINDOnews.com, 25/7/2025)
Jika kita mendengar dan melihat informasi tentang kurikulum cinta ini, dari namanya saja, nampak menawarkan gagasan yang sangat baik, tidak ada hal yang janggal bahkan masyarakat akan berpikir ini suatu kurikulum yang tepat bagi anak. Tapi benarkah demikian? Ternyata sama sekali tidak.
Ada bahaya mengancam di balik kurikulum ini, di antaranya adalah deradikalisasi sejak dini, dengan segala macam bentuknya. Kurikulum ini juga mengajarkan generasi muslim untuk bersikap keras kepada saudaranya sesama muslim dan lemah lembut kepada non muslim. Muslim yang hendak menerapkan syariat islam secara kaffah, akan diberi label radikal dan ekstrim, dimusuhi, dipersekusi, pengajiannya dibubarkan dan lain sebagainya
Sementara untuk non muslim, mereka diperlakukan begitu hormat, sangat lembut dan santun, rumah ibadahnya dijaga, ikut merayakan hari raya bersama sama dan lain sebagainya.
Keadaan semacam ini tentu saja berpotensi menjadi benih intoleransi tanpa intervensi yang tepat. Berpeluang besar di kemudian hari menciptakan kerentanan psikologis, yang amat mungkin menjadi pintu masuk radikalisme hingga ekstremisme sekalipun.
Nampaklah bahwa kurikulum cinta berasas sekuler, karena menjauhkan generasi dari aturan agama, dan menjadikan akal sebagai sumber hukum dan penentu segala sesuatu. Padahal dalam islam sekularisme adalah ide yang salah dan bathil.
Kurikulum Berbasis Akidah Islam Satu-satunya Solusi
Islam menetapkan kurikulum harus berbasis akidah Islam yang berasal dari Al-Qur’an dan sunnah, bukan yang lain. Karena Akidah adalah asas kehidupan setiap muslim, termasuk asas negara Islam. Negara punya kewajiban menjaga akidah rakyatnya diantaranya dengan menjadikan akidah islam sebagai asas. Apalagi dalam Pendidikan yang merupakan bidang strategis bagi masa depan bangsa. Bila akidah umat kuat, maka mereka akan taat secara totalitas kepada syariat Allah, sehingga mampu menyelesaikan semua permasalahan dalam kehidupannya.
Islam memandang pendidikan bukan sekedar transfer ilmu, tetapi pembentukan kepribadian Islam (syakhsiyyah islamiyyah). Pendidikan harus menghasilkan generasi yang berpikir dan bersikap sesuai syariat. Hal ini hanya dapat terwujud jika seluruh proses pendidikan berpijak pada wahyu: Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Penerapan kurikulum Al-Qur’an dan Sunnah membutuhkan kekuasaan politik yang menjamin penerapan syariah secara total, termasuk dalam bidang pendidikan. Selama pendidikan berada di bawah sistem sekuler demokrasi, nilai-nilai Islam akan terus dikerdilkan.
Pendidikan adalah kunci peradaban. Islam telah memberi solusi paripurna melalui kurikulum yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Namun, kurikulum ini hanya akan berjalan efektif jika berada di bawah naungan Daulah Islam (Khilafah), karena hanya dalam sistem ini syariat diterapkan secara kaffah. Wallahu'alam bishshawab.[]