Kapitalisme dan Kemiskinan: Islam sebagai Jalan Kesejahteraan




Oleh: Zennaisa

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka persentase kemiskinan menurun. Pada Maret 2025 menurun 0,10% dari September 2024 menjadi 8,47% padahal ada banyak PHK di mana-mana. Jumlah penduduk miskin berkurang 210.000 orang pada periode yang sama, mencapai 23,85 juta orang. BPS juga mengubah garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 sebesar sekitar Rp20.305 per hari. Meski secara keseluruhan jumlah kemiskinan penduduk miskin menurun, BOS juga mencatat bahwa penduduk miskin di kota malah bertambah sampai sekitar 220.000 orang.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, seperti banyaknya pengangguran, kemudian juga naiknya harga komoditas pangan seperti minyak goreng, cabai rawit, dan bawang putih, dll.

Angka kemiskinan ekstrem memang turun di atas kertas, tapi faktanya standar garis kemiskinan juga rendah (masih mengadopsi PPP (Purchasing power parity) 2017 sebagai acuan tingkat kemiskinan ekstrem nasional yakni USD 2,15 (20.000)/hari). Ini merupakan manipulasi statistik untuk menunjukkan progres semu. Sistem Kapitalisme lebih peduli pada citra ekonomi ketimbang realitas penderitaan rakyatnya.

Akar kemiskinan ekstrem bukan pada definisinya, tetapi pada sistem ekonomi Kapitalisme yang menciptakan jurang kaya-miskin. Kekayaan menumpuk di segelintir elite, sementara akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak semakin mahal dan sulit.

Alih-alih mengurus kesejahteraan rakyat, negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai pengelola angka dan fasilitator pasar bebas. Solusi yang ditawarkan pun tak pernah menyentuh akar masalah karena adanya sistem ekonomi yang cacat dan menindas.

Dalam sistem Khilafah, negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dsb. Semuanya bisa didapat tanpa syarat pasar. Sumber daya alam dikelola negara untuk kemaslahatan umat, bukan dikomersialkan.
Khilafah tidak mengukur kemiskinan dari angka PPP buatan lembaga internasional, melainkan dari apakah kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi secara layak atau tidak.


*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama