Kebijakan New Normal, Nasib Rakyat Fatal?


Oleh: Anita Desi Rikandani, S.Pd. (Pemerhati Umat)

Tak henti kebijakan demi kebijakan semakin menyayat hati. Dikala korban pandemi Covid-19 masih meningkat dari hari ke hari, pemerintah mengambil kebijakan yang seolah tak manusiawi. Mulai dari relaksasi PSBB dengan membuka moda transportasi umum, berdamai dengan Covid-19, hingga kini new normal siap di depan mata.

/New Normal, untuk Siapa?/

Menurut Wikipedia, New Normal (normal baru) adalah sebuah istilah dalam bisnis dan ekonomi yang merujuk kepada kondisi-kondisi keuangan usai krisis keuangan 2007-2008, resesi global 2008–2012, dan pandemi COVID-19. Sejak itu, istilah tersebut dipakai pada berbagai konteks lain untuk mengimplikasikan bahwa suatu hal yang sebelumnya dianggap abnormal menjadi umum.

New normal sudah siap diterapkan di perusahaan, perkantoran dan industri. Seperti dilansir kompas.com (25/05/2020), implementasi new normal diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Covid-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 telah menyatakan bahwa PSBB dilakukan salah satunya dengan meliburkan tempat kerja. Namun, dunia usaha tidak mungkin selamanya dilakukan pembatasan, roda perekonomian harus tetap berjalan. Peliburan karyawan dalam jangka waktu yang lama dinilai bisa mengakibatkan ekonomi terhenti.

Dari Peraturan Pemerintah ini sudah bisa diprediksi kemana arah kebijakan ini sesungguhnya. Yaitu, nasib kalangan pebisnis dan pengusaha lah yang menjadi tujuan utama. Agar mereka tetap eksis, tanpa harus mengalami kerugian dan tetap mendapatkan keuntungan meskipun dalam masa pandemi. Padahal keadaan rakyat sangat memprihatinkan. Banyak dari mereka yang kehilangan pekerjaan, kehilangan tempat tinggal, tak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan harus menghadapi virus dengan tangan hampa.

New Normal, Pengelabuhan Demokrasi dan Kebijakan Ikut-ikutan
Seperti dilansir tribunnews.com (25/05/2020), Mantan Ketua MPR RI Amien Rais menanggapi istilah "new normal" yang diserukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai suatu pengelabuhan. Peryataan itu disampaikannya melalui akun Instagram @amienraisofficial. Amien menyatakan bahwa untung ada scientist yang mengingatkan bahwa kata-kata new normal itu sesungguhnya missleading, salah arah, dan sesungguhnya ada pengelabuan.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dr. Hermawan Saputra juga mengkritik persiapan pemerintah menjalankan kehidupan new normal. Menurut dia belum saatnya, karena temuan kasus baru terus meningkat dari hari ke hari. Hermawan menyatakan kebijakan ini terlalu dini. New normal ini adalah sesuatu yang akan dihadapi, namun berbincang new normal ini banyak pra syaratnya. Pertama, harus sudah terjadi perlambatan kasus. Dua, sudah dilakukan optimalisasi PSBB. Ketiga, masyarakatnya sudah lebih mawas diri dan meningkatkan daya tahan tubuh masing-masing. Keempat, pemerintah sudah betul-betul memperhatikan infrastruktur pendukung untuk new normal. (merdeka.com, 25/05/2020)

Ya, kebijakan new normal akan terkesan pengelabuhan semata. Seolah-olah keadaan sudah membaik sehingga harus kembali normal, padahal belum. Seakan-akan kasus sudah menurun, padahal sebaliknya, korban masih meninggi setiap hari. Inilah kebijakan pemimpin negeri demokrasi. Yang tidak mempunyai kemandirian dalam bertindak, karena disetir oleh pemangku jalannya perekonomian, para pebisnis dan kapitalis, serta karena keterikatan dengan  organisasi-organisasi internasional semata. Maklum, negeri ini dijajah Barat dengan sistem kapitalismenya, sehingga pemerintah hanya fokus pada fungsinya sebagai pelayan korporasi dan pelaksana agenda hegemoni Barat, khususnya ekonomi.

Ketika PBB dan WHO sudah menetapkan new normal sebagai solusi kembalinya roda perekonomian dunia, maka dengan grusa-grusu pemerintah ikut-ikutan tren internasional tanpa menilik dan melihat bagaimana kondisi rakyat sekarang. Bahkan jika memang harus tetap menghadapi tren new normal, karena wabah memang diprediksi akan lama terhenti, maka pemerintah harus menyiapkan sarana dan prasarana serta pengkondisian masyarakat, agar korban tak semakin bertambah. Pemerintah pun belum memiliki peta jalan, tanpa menyiapkan perangkat memadai agar tidak menjadi masalah baru. Yakni bertujuan membangkitkan ekonomi namun membahayakan manusia. Alih-alih ekonomi bangkit, justru wabah gelombang ke dua mengintai di depan mata. Mungkinkah mencapai new normal seperti yang diharapkan, atau nasib rakyat kian fatal? Na'udzubillah!

/Islam Punya Solusi/

Islam sebagai agama sekaligus ideologi yang bersumber dari Sang Khaliq (Maha Pencipta) dan Maha Pengatur, memberi solusi atas masalah wabah ini. Dan seorang pemimpin dalam Islam memiliki standart kebijakan dan perbuatan yaitu semata untuk meraih ridha Allah semata. Melaksanakan amanah sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw. Dalam menghadapi wabah, hal pertama yang dilakukan adalah lockdown atau karantina wilayah seperti dalam Hadis Riwayat Bukhari Muslim, Rasulullah SAW bersabda: “Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.”

Kedua, memberikan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang layak dan memadai bagi penderita wabah. Untuk warga yang wilayahnya di lockdown maka kebutuhan pokok sandang, pangan, dan papan akan ditanggung pemerintah, karena seluruh aktifitas bekerja dan mencari nafkah terhenti. Ketiga, untuk wilayah yang tidak terkena wabah tetap beraktifitas seperti biasa, sehingga roda perekonomian tidak akan tersendat.

Jika saat ini pemerintah menginginkan roda perekonomian kembali atau bahkan semenjak awal wabah tak terganggu, maka seharusnya solusi lockdown yang diambil. Bukan membiarkan wabah menyebar dan bingung mengatasi masalah demi masalah yang muncul setelahnya. Termasuk pemberlakuan new normal disaat wabah masih meninggi, tentu sangat diragukan sebagai solusi tuntas, karena rakyat masih tersiksa dengan Covid-19. Wallahua'lam bishowab.[]






*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم