Oleh : Ummu Syam
(Aktivis Dakwah)
Di tengah wabah Covid-19, dunia digemparkan dengan kematian seorang pria berkulit hitam, George Floyd. Pria dengan tinggi badan hampir mencapai 2 meter yang memiliki talenta di bidang olahraga sepakbola dan basket tersebut tewas setelah ditangkap oleh empat orang polisi setelah adanya laporan bahwa Floyd menggunakan uang palsu untuk membeli rokok.
George Floyd tewas setelah mengalami kekerasan. Kepalanya diinjak yang kemudian seorang petugas kepolisian bernama Derek Chauvin melakukan hal tak terduga. Chauvin menginjak leher Floyd dengan lututnya selama 7 menit. Floyd memohon-mohon agar polisi memberikannya kesempatan bernafas. Namun sayang, polisi tidak menggubris permohonannya sampai akhirnya Floyd tewas setelah dilarikan ke rumah sakit setempat.
Beberapa orang yang ada di tempat kejadian perkara merekam aksi penangkapan tersebut dan mengunggahnya di sosial media. Tewasnya Floyd dengan cara keji tersebut memantik kemarahan warga Amerika Serikat khususnya warga berkulit hitam. Hampir di seluruh wilayah negeri Paman Sam terjadi kerusuhan.
Hashtag #ICantBreathe pun menjadi trending topik. Menggugah rasa kemanusiaan siapapun yang melihat video penangkapan Floyd.
Tewasnya pria dengan julukan "Gentle Giant" tersebut menambah daftar hitam kasus rasisme terhadap warga keturunan Afrika-Amerika di kota Minneapolis, negara bagian Minnesota, Amerika Serikat. Sebelum George Floyd, ada Jamar Clark dan Philando Castile yang ditembak oleh petugas kepolisian.
Insiden rasisme yang terjadi pada warga keturunan Afrika-Amerika memberikan sinyal kepada kita bahwa ada yang tidak beres pada tatanan dunia hari ini. Hak Asasi Manusia yang diusung Barat utamanya Amerika Serikat nyatanya hanyalah slogan belaka. Menjadikannya senjata untuk merengkuh yang lemah dan senjata bagi kepentingan elit politik.
Hak Asasi Manusia yang berarti hak kebebasan bagi setiap insan semestinya menjadi pembebas bagi warga keturunan Afrika-Amerika di Amerika Serikat dari kungkungan rasisme. Namun faktanya, diskriminasi warga kulit putih terhadap warga kulit hitam terus terjadi. Ini adalah PR besar bagi Amerika Serikat, negara yang menjunjung tinggi asas Liberalisme (kebebasan).
Kasus pembunuhan yang di latar belakangi rasisme ini mengkonfirmasi bahwa saat ini dunia butuh tatanan kehidupan baru. Tatanan hidup yang menciptakan hubungan yang harmonis antar individu, menikmati rasa hormat dalam masyarakat dan akses yang sama terhadap keadilan.
Dan tatanan kehidupan baru itu adalah Islam. Islam lah satu-satunya agama sekaligus mabda (ideologi) yang memiliki aturan yang sempurna. Sejarah telah membuktikan, ketika Syari'at Islam diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah, rakyat baik itu dari kalangan muslim maupun kafir dzimmi hidup berdampingan dengan rasa aman, sejahtera dan saling menghormati satu sama lain. Dalam pandangan Islam, seluruh warga negara Khilafah memiliki hak yang sama.
Contohnya ketika terjadi ketidaksepakatan antara Abu Dzar dan Bilal. Abu Dzar berkata kepada Bilal, "Kamu anak seorang budak hitam". Rasulullah saw yang mendengar hal ini sangat marah, lalu beliau mengingatkan Abu Dzar dengan bersabda :
"Ini keterlaluan Abu Dzar! Orang yang ibunya berkulit putih tidak memiliki kelebihan yang membuatnya menjadi lebih baik daripada orang yang ibunya berkulit hitam"
Peringatan ini meninggalkan pengaruh yang amat mendalam pada diri Abu Dzar. Ia kemudian meletakkan kepalanya di tanah dan bersumpah bahwa ia tidak akan mengangkatkannya sebelum Bilal menginjakkan kakinya di atasnya.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa ikatan kesukuan tidak mendapatkan tempat sama sekali dalam Islam. Kaum muslimin diperintahkan untuk berdiri bersama-sama dan tidak memisahkan diri satu sama lain hanya karena mereka berbeda suku.
Rasulullah saw juga pernah bersabda :
"Orang Arab tidaklah lebih baik dari orang non-Arab. Sebaliknya orang non-Arab juga tidak lebih baik dari orang Arab. Orang berkulit merah tidak lebih baik dari orang berkulit hitam kecuali dalam hal ketakwaannya. Umat manusia adalah anak cucu Adam dan Adam diciptakan dari tanah liat" (HR. ad-Daruquthniy)
Adanya perbedaan seharusnya menjadikan umat manusia saling mengenal, menghormati dan menghargai, bukan justru menjadi pemicu perpecahan, menciptakan rasisme dan ketidakadilan sosial.
Dan sudah seharusnya kita kembali menjadikan Islam sebagai alternatif untuk mengatur kehidupan. Islam lah yang akan menghilangkan afiliasi-afiliasi kesukuan dan semacamnya dari tatanan kehidupan. Sehingga tidak ada lagi George Floyd, George Floyd berikutnya. Wallahu a'lam bish-shawab.
Sumber :
https://newsmaker.tribunnews.com/amp/2020/05/31/5-fakta-kasus-george-floyd-sosok-korban-rekam-jejak-derek-chauvin-rusuh-hampir-ke-seluruh-as?page=2
https://www.google.com/amp/s/amp.kompas.com/global/read/2020/05/30/222712870/sebelum-kematian-george-floyd-rasisme-di-minneapolis-sudah-marak-terjadi
https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/kronologi-kematian-george-floyd-yang-jadi-penyebab-demo-di-as-fEyQ