(Sebuah Tanggapan)
Oleh: Puspita Satyawati
(Aktivis Dakwah)
Pasca pembatalan diskusi bertema pemberhentian presiden ditinjau dari sistem ketatanegaraan yang digelar mahasiswa FH UGM di bawah naungan CLS sepekan lalu, isu terkait hal ini masih bergerak bak bola salju. Menggelinding ke berbagai arah.
Yang terarah dan ilmiah, membahasnya dalam forum akademisi berbasis keilmuan, khususnya ilmu hukum tata negara. Sebaliknya, ada yang melempar kembali isu ini ke publik dengan bumbu kudeta. Tanpa fakta teruji dan dalih terpuji. Terkesan emosional. Dan mencari muka?
Sebagaimana diwartakan oleh jpnn.com, Kamis (4/6), Boni Hargens (BH) mengaku sudah mengantongi nama oposisi yang ingin merancang kudeta terhadap pemerintahan sah di tengah krisis Corona saat ini. Menurut BH, kelompok ini memakai sejumlah isu provokasi dan propaganda politik: komunisme, rasisme Papua, krisis ekonomi, hingga diskursus Pancasila sebagai ideologi negara.
BH menyebut kelompok ini bukan sebagai barisan sakit hati, melainkan “laskar pengacau negara dan pemburu rente.” Terdiri dari 4 kelompok: kelompok politik pilpres 2024, kelompok bisnis hitam yang rugi atas kebijakan rezim, barisan oportunis dan ormas keagamaan terlarang HTI yang ingin mendirikan negara syariah.
***
Sebagai aktivis dakwah yang telah sekian lama menyaksikan perjuangan HTI dengan mata kepala saya sendiri, berikut tanggapan saya terhadap beberapa poin tuduhan kepada HTI:
1. HTI adalah ormas keagamaan terlarang yang ingin mendirikan negara syariah.
Badan Hukum HTI memang telah dicabut dan “dipaksa” bubar pasca MA menolak kasasi yang diajukan HTI (15/2/2019). Namun, merujuk pendapat Prof. Suteki (pakar hukum dan masyarakat) dalam tulisan beliau berjudul “Ancaman Hak Berserikat dan Berkumpul serta Menyatakan Pendapat di Negara Demokrasi Indonesia,” meski aktivitas yang mengatasnamakan organisasi HTI tidak diakui atau tidak diizinkan lagi, tetapi keputusan MA tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa HTI sebagai ormas terlarang.
Demikian pula, jika mantan pengurus dan anggota HTI melakukan dakwah secara perorangan atau kelompok tanpa menggunakan nama HTI, maka hal itu sah. Tidak ada yang dapat melarang kegiatan tersebut.
Jadi, HTI bukanlah ormas terlarang seperti PKI. Ajaran khilafah yang sering diserukannya juga bukan ajaran terlarang. Menurut hukum di Indonesia, jika mendasarkan pada TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966, yang dilarang adalah ajaran komunisme-marxisme.
Lantas jika HTI bercita-cita ingin mendirikan negara syariah, apanya yang salah? Sebagai muslim yang beriman pada Allah Swt dan telah diperintahkan untuk taat pada seluruh aturan-Nya, mengapa dipermasalahkan saat mencitakan tegaknya negara syariah? Negara syariah ialah negara yang berdasar pada Alquran dan Assunnah, bertugas menerapkan hukum Allah Swt dalam seluruh aspek kehidupan.
Bukankah dengan negara model ini, perintah Allah dalam Q.S. Al Baqoroh: 208 kepada orang beriman agar berislam kaffah, baru bisa tertunaikan? Apakah ada model negara non syariah yang mampu mewujudkan perintah Allah ini?
2. HTI adalah laskar pengacau negara.
Anda tahu Gerombolan Si Berat? Grup penjahat yang selalu berusaha merampok gudang milik Gober, pamannya si Donald Bebek. Ini contoh karakter pengacau fiksi ala Disney. Di dunia nyata, sosok pengacau lebih banyak lagi varian dan level jahatnya.
Pengacau identik dengan maling, begal, perampok, yang mengambil harta orang lain tanpa hak. Di level atas, kejahatan kerah putih juga bagian pengacau kas negara. Sudahlah kaum jelata) “dipalak legal” dengan berbagai pajak, eh kaum jelalatan kekuasaan dengan teganya mengkorup habis-habisan. Ini pengacau negara namanya!
Pengacau negara juga bisa mewujud dalam bentuk provokator, hobi melempar isu yang tak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, bikin publik gaduh. Atau mengajak orang agar bertindak anarkis dan main hajar ala preman. Ini pengacau!
Adakah bukti HTI sebagai laskar pengacau? Apakah ada anggota HTI yang pernah maling sandal jepit di masjid? Jadi khotib sholat Jumat, iya. Ada anggota HTI yang korupsi? Merampok duit negara demi memuaskan syahwat dunia? Memprovokasi masyarakat agar bertindak anarkis, membakar ban di tengah jalan, merusak fasilitas umum, melempar bom?
Bahkan terhadap rezim yang terang-terangan zalim saja, hanya amar ma’ruf nahi mungkar yang dilakukan. Yah, karena aktivitas HTI hanya dakwah dengan lisan. Itupun mesti sesuai tuntunan An Nahl: 125 yaitu menyeru kepada jalan Allah dengan hikmah dan pelajaran yang baik, pun berbantahan dengan cara baik pula.
3. HTI adalah pemburu rente.
Rente? Jika Anda buka KBBI, rente artinya bunga uang, riba. Kalau aktivis HTI dituduh pemburu riba, jelas tidak masuk akal. Karena syarat bergabung dengan HTI, salah satunya harus bebas riba. Mengambil riba itu berdosa yang level dosanya bahkan seperti menzinai ibu kandungnya sendiri. Na’udzubillah.
Atau rente dalam definis lain? Persoalan perburuan rente telah menjadi kajian serius sejak 1967 oleh Gordon Tullock. Lewat publikasinya berjudul The Welfare Cost of Tariffs, Monopolies and Theft, dia menulis tentang hubungan pemberian hak monopoli penguasa kepada pengusaha. Dia menjelaskan bahwa pemburu rente adalah pengusaha yang mendapat lisensi khusus, monopoli dan fasilitas lain dari penguasa sekaligus menghambat pelaku lain masuk pasar. Dari sini, lahirlah teori perburuan rente.
Merujuk definisi di atas, jelas HTI bukanlah sang pemburu rente. Karena ia bukan kelompok pengusaha yang menyelingkuhi penguasa demi memuluskan proyek-proyek bisnisnya. Tapi HTI adalah kumpulan pejuang yang berbisnis (berniaga) dengan Sang Penguasa Maha Kaya dengan mengorbankan harta, tenaga bahkan nyawa di jalan perjuangan. Pemburu rente itu bukannya sang “Sexy Killer” yang leluasa memperpanjang kontrak tambang dengan dikeluarkannya UU Minerba?
4. HTI ingin merancang kudeta.
Bagi aktivis HTI, pasti bersemboyan: Kudet, No! Kudeta, No! Kudet? Iya, KUrang upDATE alias tidak mengikuti perkembangan terkini. Kudet bukanlah karakter pejuang. Karena ia dituntut kudu paham masalah terkini dan mampu memberi solusi. Kudet saja nggak boleh, apalagi kudeta. Kudeta alias perebutan kekuasaan (pemerintahan) secara paksa adalah ajaran terlarang dalam HTI.
Meski mencitakan tegaknya sistem pemerintahan alternatif yaitu khilafah islamiyah, tapi aktivis HTI dilarang keras meraihnya dengan cara-cara kekerasan dan pemaksaan. Dakwahnya mesti dengan 3S: Smooth, Smart dan Sweet.
Berupaya mengikuti metode dakwah Rasulullah Saw, HTI menempuh tiga tahapan perjuangan: pembinaan, interaksi dengan umat dan penerimaan kekuasaan. Semua dibingkai dalam karakter: fikriyah, laa madiyah dan siyasiyah. Dakwahnya bersifat: mengubah pemikiran, tanpa kekerasan dan politis (hingga sampai tataran perubahan sistem kenegaraan).
Jadi jika ada seseorang yang digambarkan sebagai orang HTI tapi hobi memprovokasi agar terjadi kudeta, maka dipastikan jika dia adalah aktivis HTI abal-abal alias palsu.
***
Mudah-mudahan tanggapan pendek ini mampu membuka mata hati pembaca bahwa aktivis HTI bukanlah sebagaimana yang dituduhkan oleh seorang analis politik di atas. Sungguh sayang, jika sebuah analisis politik tidak ditegakkan atas fakta jujur dan terkesan tendensius. Justru akan menjadi opini sesat dan menyesatkan publik. Bukankah kita tak ingin menuai dosa jariyah akibat beropini salah?[]