Oleh: Puji Ariyanti
(Ibu dan Pemerhati Generasi)
Rencana pemerintahan Jokowi - KH Maruf Amin menerbitkan Sertifikat Nikah bagi mereka yang berniat melangkah ke jenjang pernikahan menuai pro dan kontra. Yang kontra menilai pemerintah terlalu jauh mencampuri urusan pernikahan. Yang setuju menyebut kebijakan ini akan mencegah pernikahan dini dan meningkatkan kualitas pernikahan. (TRIBUN-TIMUR.COM 19/12/'19)
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia Prof. Dr. Muhajir Effendy, M.A.P. mencanangkan program sertifikasi perkawinan. Pasangan yang akan menikah harus mengikuti pelatihan tentang keluarga samara, ekonomi keluarga hingga kesehatan reproduksi. Pelatihan pranikah diharapkan berdampak menekan angka perceraian, mengatasi angka stunting dan meningkatkan kesehatan keluarga. Sertifikat siap kawin ini menjadi syarat nikah.
"Jadi sebetulnya setiap siapapun yang memasuki perkawinan mestinya mendapatkan semacam upgrading tentang bagaimana menjadi pasangan berkeluarga," kata Muhadjir Effendy (13/11/2019), dikutip dari Kompas.com.
Sekilas, kebijakan baru tersebut menampakkan kepedulian penguasa terhadap rakyatnya. Ketika para remaja yang hendak menikah telah siap lahir batin, masing-masing pasangan telah memilki kemampuan dan kesiapan dalam berumah tangga. Namun, benarkah pembekalan pasangan yang dilakukan hanya beberapa hari mampu memberikan edukasi dalam menyelesaikan konflik rumah tangga?
Bila menilik nasib pernikahan masa kini, begitu mudahnya pasangan bercerai. Tidak keliru jika rencana pemerintah memberikan edukasi kepada calon pengantin. Akan tetapi perlu dipahami: jika landasan edukasi berakar pada sistem kapitalis sekuler, pasti tidak akan mencapai pada apa yang diharapkan.
Kapitalis-sekuler bersumber dari hasil pemikiran manusia yang lemah serta terbatas. Bisa dipastikan aturannya tergantung kepentingan individu atau kelompok, bukan bersumber dari ketaatan kepada Allah SWT. Apalagi pegiat gender mendukung program ini, selama perspektif kesetaraan dan keadilan dalam perkawinan tetap dipakai sebagai landasan pelatihan.
Sejatinya di era kapitalistik saat ini, ketahanan keluarga tidak cukup hanya mempersiapkan individu dengan memberikan pengetahuan dan ketrampilan kerumahtanggaan. Tapi membutuhkan daya dukung negara dan sistemnya yang terintegrasi guna menanamkan takwa kolektif. Di mana negara sebagai fasilitator dipastikan mampu menampilkan peran media yang steril dari nilai liberal. Iklim ekonomi yang kondusif bagi laki-laki yang berfungsi sebagai "qowam" dan pencari nafkah keluarga, jaminan kesehatan berkualitas dan gratis.
Angka perceraian yang tinggi, gangguan pertumbuhan pada bayi (stunting) serta kesehatan bagi keluarga: berkorelasi pada tingkat ekonomi masyarakat yang kurang merata.
Tingginya angka perceraian karena sulitnya lapangan pekerjaan bagi suami, harga kebutuhan pokok melonjak tinggi sehingga para istri dipaksa keluar rumah membantu suami mencari nafkah. Beban perempuan semakin berat, dia juga mencari nafkah sekaligus mengurus rumah tangganya. Jika sudah demikian, kelelahan semakin memicu pertengkaran.
Mayoritas penduduk negeri ini masih berada di bawah garis kemiskinan. Tidak bisa dipungkiri jika bayi-bayi mengalami gizi buruk sehingga pertumbuhannya tidak sempurna.
Bagi keluarga muslim, membangun keluarga yang sehat dan sejahtera membutuhkan keimanan yang kokoh lagi lurus. Dan haruslah berproses sedari kecil sebab, kekuatan keimanan tidak bisa dibentuk secara instan. Butuh adanya pembentukan proses berfikir yang berlangsung terus menerus dan bersumber dari Alquran.
Memudahkan jalan menuju pernikahan adalah sebuah langkah yang sangat tepat untuk menjaga kemashlahatan masyarakat. Pelatihan pranikah dan menerbitkan sertifikat siap kawin menjadi syarat pernikahan adalah suatu kebijakan keliru. Karena di dalamnya masih banyak ketimpangan baik secara teknis, maupun esensi.
[]Wallahu'alam bissawab[]