Oleh : Septa Yunis
(Analis Muslimah Voice)
Presiden Jokowi baru saja mengangkat staf khusus berjumlah tujuh orang dari kalangan millennial yang akan membantu kinerja presiden. Dilansir dari kompas.com (25/11/2019) Adapun ketujuh staf khusus baru itu adalah Angkie Yudistia (pendiri Thisable Enterprise), Gracia Billy Yosaphat Membrasar (CEO Kitong Bisa, peraih beasiswa kuliah di Oxford), dan Aminuddin Ma'ruf (manta Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Selain itu, Putri Indahsari Tanjung (CEO dan Founder Creativepreneur), Adamas Belva Syah Devara (Pendiri Ruang Guru), Ayu Kartika Dewi (Perumus Gerakan Sabang Merauke), dan Andi Taufan Garuda Putra (pendiri Lembaga Keuangan Amartha).
Dengan diangkatnya staf khusus presiden tersebut akan membantu kinerja presiden dengan gagasan-gagasan segar dan inofatif. Namun demikian, para stafsus ini diberi kebebasan untuk tidak berkantor di istana presiden setiap harinya. Dengan dalih sebagian dari mereka merupakan pengusaha muda yang memimpin perusahaan masing-masing. Ada pula yang kini berniat melanjutkan kuliah ke jenjang yang lebih tinggi.
Dan yang lebih mencengangkan dan membuat mata sedikit membelalak adalah gajinya yang bisa dibilang fantastis dengan jam kerjanya yang tidak full. Staf khusus presiden mendapat gaji sebesar 51 juta per bulan. Hal ini sesuai dengan Perpres No. 144 Tahun 2015. Meskipun demikian besaran gaji tersebut tetap dinilai berlebihan. Selain gaji yang fantastis mereka juga diperbolehkan memiliki paling banyak lima asisten pribadi.
Dengan diangkatnya stafsus presiden membuktikan jika Jokowi inkonsisten. Pasalnya pada pelantikan Oktober 2019, Jokowi sesumbar akan memangkas pejabat. Namun faktanya, Jokowi mengangkat stafsus, selain itu dibidang kementerian mengangkat wakil menteri.
Hal ini menunjukkan jika pemerintah sangat tidak adil kepada rakyat. bagaimana tidak, untuk menggaji para pejabatnya pemerintah sangat loyal, sedangkan untuk kepentingan rakyat pemerintah selalu mengatakan deficit.
Pemerintah seharusnya lebih cermat dan cerdas mengalokasikan dana untuk yang jelas urgensitasnya, yaitu kepada rakyat miskin yang lebih membutuhkan ketimbang menetapkan gaji para pejabat yang hidupnya sudah sejahtera. Karena dana itu adalah dari rakyat yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat. Sungguh sangat ironis, ternyata motto Demokrasi dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat hanyalah slogan manis belaka, faktanya yang terjadi adalah dari rakyat oleh rakyat untuk pejabat.[]