Oleh: Rina Yulustina
Kontributor Muslimah Voice
Defisit BPJS bukan hanya terjadi pada tahun ini saja. Menkeu Sri Mulyani menjelaskan bahwa sejak berdiri di tahun 2014 BPJS telah defisit sebesar 1,9 triliun. Di tahun 2015 defisit 9,4 triliun, di tahun 2016 defisit 6,7 triliun, 2017 defisit 13,8 triliun, 2018 defisit 19,4 triliun dan hingga akhir tahun 2019 diperkirakan defisit mencapai Rp 28 triliun. (liputan6.com)
Defisit ini pada akhirnya berefek pada pelayanan RS terhadap pasien BPJS, bukan lagi menjadi rahasia umum jika pelayanan pihak RS serampangan bahkan tak menggubris. Pada dasarnya bukan kesalahan RS jika berbuat demikian. Tunggakan BPJS terhadap RS mencapai triliunan rupiah. Bahkan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi) pun mengajukan agar pemerintah menyiapkan dana talangan. Besaran yang disarankan Persi disiapkan oleh pemerintah setiap bulan sebesar Rp 2 triliun. (tribunnews.com)
Pemerintah putar otak untuk mengatasi defisit. Segala jurus telah dilakukan mulai dari membatasi penyakit yang ditanggung BPJS, memberikan denda, menaikan biaya BPJS hingga menggunakan debt colector untuk menagih. Namun dari semua jurus yang dikeluarkan mustahil jika defisit BPJS kesehatan akan terselesaikan. Alih-alih terselesaikan pembekaan karena defisit tak mungkin bisa dihindari.
BPJS yang dulunya digadang-gadang sebagai solusi mengatasi masalah kesehatan yang menggunakan prinsip gotong royong nyatanya bukannya memberikan solusi malah menambah permasalahan, terutama menjadi masalah bagi rakyat. Rakyat setiap bulan membayar namun belum tentu sakit, sakit pun lebih memilih pelayanan tanpa BPJS. Lalu kemana uang rakyat?
Jika kalau rakyat dimintai tolong untuk saling peduli dengan sesama, untuk menciptakan rasa gotong royong seperti yang tercantum dalam butir pancasila. Maka tidak seharusnya pemerintah memberikan denda atau bahkan menggunakan jasa deb colector. Apalagi Mantan Presiden Jusuf Kalla yang dilansir pada laman kompas.com mengeluarkan statement yang membandingkan kenaikan iuran BPJS dengan pengeluaran pulsa dan rokok yang nilainya tiga kali lipat.
Rakyat diperas untuk menjadi bamper permasalahan keuangan kesehatan. Padahal selain iuran kesehatan, rakyat harus menanggung kebutuhan hidup lainnya. Sudahlah jatuh tertimpa tangga pula. Lalu menjadi pertanyaannya dimana peran negara? Bukankah ini fakta nyata bahwa BPJS merupakan upaya pelepasan tanggungjawab negara terhadap rakyat? Inilah bukti bahwa negara kita tercinta menerapkan sistem ekonomi kapitalis. Negara haram meri'ayah urusan rakyat, rakyat dibiarkan jungkir balik untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Selama negara ini menganut sistem kapitalis maka penderitaan rakyat akan terus bertambah. Tidak akan pernah ada keberkahan karena sejatinya sistem kapitalis terlahir dari sekulerisme yang menafikan peran Sang Pencipta dalam mengatur urusan kehidupan manusia. Aturan Allah hanya diletakan pada bilik bilik masjid, sedangkan manusia dibebaskan untuk mengatur kehidupannya sendiri.
Ketika aturan Allah dicampakan maka segala permasalahan akan ada dan tak akan tersesolusi selain dengan sistem islam saja. Islam mengatur seperangkat aturan yang lengkap termasuk dalam masalah kesehatan. Di dalam islam, negara memiliki tanggungjawab yang besar terhadap kebutuhan masyarakat termasuk kesehatan. Kesehatan merupakan hak bagi setiap individu entah dia kaya maupun miskin semua biaya kesehatan ditanggung oleh negara. Pemberian kesehatan gratis pun tak sembarangan, diberikan pelayanan kesehatan yang prima, alat-alat kesehatan lengkap dan canggih. Sehingga konsep BPJS sangat bertolak belakang dengan islam. Islam tak mengenal istilah iuran dan tak mengenal istilah komersialisasi. Rasulullah saw telah menegaskan bahwa "Imam (khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanha dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya." (HR. Bukhari)
Lalu dari mana biaya kesehatan jika semua ditanggung oleh negara? Allah Maha Adil diberikan tanah yang subur, laut yang luas dengan kandungan yang luar biasa banyak, isi perut bumi yang kaya dengan barang tambang. Kekayaan itulah yang menjadi modal negara untuk mengurusi urusan masyarakat. Karena SDA sejatinya milik umum haram hukumnya dimiliki oleh segelintir orang. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistem kapitalis demokrasi, di dalam demokrasi kebebadan berpemilikan sangat diagung-agungkan. Sehingga jangan heran jika kekayaan negeri ini dijarah oleh asing maupun aseng dengan dalih investasi sedangkan rakyat dipalak sana sini.
Prinsip kesehatan dalam sistem islam ini telah diterapkan oleh khilafah. Seperti yang dipaparkan oleh Will Durant dalam bukunya berjudul The Age of Faith. "pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka, dan sejumlah uang diberikan pada tiap pasien yang sudah bisa pulang, agar tidak perlu segera bekerja." Keberhasilan penerapan sistem islam tak lepas dari politik dan ekonomi islam, karena kedua hal ini tak bisa dilepaskan. Oleh karenanya mengenyahkan demokrasi menjadi suatu keharusan karena sistem ekonomi islam tak bisa hidup di sistem demokrasi hanya bisa hidup di sistem pemerintahan khilafah.[]