Oleh: Nindira Aryudhani, S.Pi, M.Si
(Koordinator LENTERA)
Kementerian Agama menggantikan Majelis Ulama Indonesia atau MUI dalam menerbitkan label halal, mulai Kamis, 17 Oktober 2019. Kemenag lewat Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal atau BPJPH akan mengambil alih kewenangan yang sebelumnya dipegang oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan penerapan sertifikasi halal oleh Kemenag merupakan sejarah. Untuk pertama kalinya jaminan produk halal diselenggarakan oleh negara. Sebelumnya, jaminan produk halal dilaksanakan oleh MUI secara sukarela. Lahirnya UU No. 33 tahun 2014 mengubah sukarela menjadi mandatori yang pelaksanaannya oleh pemerintah.
Beleid tersebut memiliki visi yang baik yang bertujuan melindungi konsumen, mendorong produk domestik berdaya saing global, menciptakan nilai tambah ekonomi dan cita-cita Indonesia agar menjadi pusat halal dunia.
Namun demikian ada beberapa catatan yang perlu mendapatkan perhatian serius. Diantaranya, bahwa BPJH harus terus diperkuat dari sisi SDM dan infrastruktur. Baik dari kuantitas maupun profesionalismenya yang memiliki kemampuan teknis atas kompleksitas dan memahami teknologi pangan, kosmetik dan barang gunaan.
Belum lagi kementerian pengelolanya, yakni Kemenag, yang bahkan pembesarnya adalah calon tersangka korupsi. Juga rekam jejak pengelolaan dana haji yang beberapa waktu lalu ternyata sempat “diselewengkan” menjadi dana infrastruktur. Dari sini, sebenarnya wajar jika publik agak meragukan sisi keamanahan instansi yang bersangkutan, karena terkait dengan latar belakang kinerja lembaga yang kurang baik.
Namun mencermati sisi lain hal ini, memang tak dipungkiri bahwa pasar halal global bernilai USD 5,73 triliun (data tahun 2016). Jumlah ini diperkirakan akan terus tumbuh seiring meningkatnya populasi Muslim sehingga mengharuskan peningkatan ketersediaan produk dan layanan halal.
Sektor ekonomi umat Islam sendiri telah menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa selama beberapa tahun terakhir. Segmen ini cenderung tumbuh pada CAGR 10,5% dari 2017 hingga 2024. CAGR yaitu Compound Annual Growth Rate, atau laju pertumbuhan majemuk tahunan, adalah konsep pertumbuhan tahunan dari sebuah bisnis dalam beberapa periode.
Pertumbuhan ekonomi yang cepat di Timur Tengah dan Asia Tenggara diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan pasar karena adanya populasi Muslim yang besar. Segmen ekonomi kalangan ini adalah tujuan utama pasar produk makanan dan mode. Untuk Timur Tengah saja, diharapkan dapat menghasilkan pendapatan senilai USD 6,53 triliun pada tahun 2024.
Permintaan untuk produk halal yang berkualitas di antara pelanggan non-Muslim juga telah meningkat. Ini karena lebih banyak konsumen mencari produk dengan keunggulan tinggi, aman dan benar. Konsumen non-Muslim di Asia Pasifik kemungkinan juga akan memainkan peran penting dalam mendorong pasar regional menjadikannya pasar terbesar kedua setelah Timur Tengah, memberikan kontribusi 30,9% dari pendapatan global pada tahun 2024.
Melihat potensi ini, tentu industri halal dapat menjadi sumber dana segar bagi keuangan negara. Mengingat, posisi utang Pemerintah per akhir Agustus 2019 berada di angka Rp 4.680,19 triliun. Ini artinya, di balik langkah positif keseriusan pemerintah menangani sertifikasi halal secara resmi, bagaimana pun tetap saja mengandung motif kapitalistik.
Padahal, landasan penerbitan label/sertifikat halal semestinya semata-mata karena mengkonsumsi produk halal adalah bagian dari syariat Allah SWT. Halal adalah faktor mutlak dalam aktivitas konsumsi produk bagi umat Islam. Halal adalah bagian dari syariat Islam. Karenanya, penetapan halal-haram seharusnya menjadi bagian pengurusan hajat hidup masyarakat oleh pemerintah selaku penanggung jawab urusan rakyatnya.
Mengurusi urusan masyarakat adalah kewajiban pemerintah. Tidaklah patut jika tanggung jawab ini malah bermotif laba ekonomi, atau sebatas untung-rugi. Semoga ini menjadi alarm bersama, bahwa dalam sistem ekonomi kapitalisme-liberal, riba yang haram saja dihalalkan, maka bukan tidak mungkin jika produk-produk konsumsi yang sebenarnya haram juga kemudian bisa diberi label halal. Termasuk korupsi tadi, berhubung pejabatnya adalah ahlul korupsi, maka sangat berpeluang juga jika korupsi akan diberi sertifikasi halal. Na'udzubillahi min dzalik. Inilah yang akan terjadi akibat konsep halal tidak dibangun sebagai pertanggungjawaban dan konsekuensi iman.