Oleh : Fauziyah Ali
Apa kabar saudara-saudara? Sehat semua? Semoga ya! Soalnya kalau zaman sekarang mah, kalau bisa jangan sakit. Susah nanti. Ribet pula. Trus mahal lagi. Kalau sakit sedikit ya disehat-sehatkan ya! Jangan lebaylah! Jangan dibuat berlebihan. Entar juga sembuh sendiri sakitnya.
Tapi kalau ternyata sudah pura-pura sehat tapi tetap aja kerasa sakit malah makin parah gimana dong? Ya, bolehlah ke dokter. Nanti soalnya kalau sakit tambah parah, tambah berabe aja. Ya akan tambah juga biayanya. Kalau bisa sekali periksa udah cukuplah. Insya Allah segera sehat. Jangan lama berurusan sama fasilitas kesehatan. Karena walau katanya fasilitas ketika kita mengaksesnya bukan hati malah tenang karena akan diobati tapi kepala malah tambah pusing dan mata berkunang-kunang. Begitulah.
====
So, sebagai solusi atas biaya kesehatan yang mahal ini lahirlah sistem jaminan kesehatan yang berganti-ganti namanya hingga sekarang namanya jadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial- Kesehatan (BPJS-Kesehatan). Badan yang menjadi penyelenggara (fasilitator/regulator ini dulu namanya ASKES atau asuransi kesehatan. ASKES tidak pernah malu-malu mengakui kalau badan itu memang formatnya asuransi. Beda dengan BPJS - Kesehatan yang tidak terbuka kalau formatnya murni asuransi.
Pada awal kemunculannya sekitar tahun 2011, nama yang dishare ke publik adalah JKN atau Jaminan Kesehatan Nasional. Terbaca ada jaminan atas kesehatan ya, Genks. Secara nasional. Jadi waktu itu sempat terjadi gagal paham (mungkin sekarang juga masih, sih.). Dianggapnya hanya dengan membayar iuran misal 25.000 per orang, maka warga negara yang jadi peserta berhak atas seluruh fasilitas kesehatan yang dikeluarkan negara.
Warga yang tidak sakit pun rela mendaftar agar mendapat jaminan. Kemudian menganggap iuran yang sudah dibayarkan sebagai sedekah saja. Daripada sakit hati, bayar iuran terus tapi tidak bisa diklaim. Karena klaim baru bisa keluar, ya jika sakit. Padahal akad perjanjian jaminan kesehatan pada saudara itu babnya tidak sama dengan sedekah. Apalagi bayar premi asuransi trus dianggap sedekah itu juga tidak nyambung sama sekali.
Waktu itu rakyat banyak yang tersihir dan menganggap merasa perlu ikut BPJS Kesehatan. Dengan menjadi seorang peserta ketika sakit, peserta hanya membayar iuran pribadi saja. Dan biasanya ketika sudah sehat sudah tak lagi membayar. Misal nih, ibu-ibu hamil yang proses kelahirannya menggunakan SC rata-rata memilih menjadi peserta BPJS-Kesehatan. Hanya dengan membayar iuran puluhan ribu perbulan, merasa terbebas dari tagihan SC yang jumlahnya di atas 5 jutaan. Terkesan menolong memang. Padahal keanggotan BPJS-Kesehatan adalah seumur hidup. Hanya kematian yang bisa memberhentikan keanggotaannya.
Lalu, karena biaya kesehatan di luar tanggungan mekanisme BPJS menjadi sangat tinggi. Rakyat mulai berbondong-bondong menjadi peserta BPJS Kesehatan. Hanya sudah tak bisa berlaku pendaftaran perorangan lagi tapi per KK. Alasannya kan biar seluruh keluarga terjamin. Ketika periksa ke fasilitas BPJS, selalu muncul pertanyaan siapa kepala keluarganya? Ada kesan ini jaminan kesehatan harus atas nama keluarga. Walah...iya, tapi bayar iuran yang perbulan juga jadi harus sekeluarga. Dan itu beban bagi banyak warga negara.
====
Karena merasa terbebani akhirnya rakyat yang menjadi peserta mandiri yang sudah mendaftar rata-rata memutuskan untuk tidak bayar iuran saja ketika sudah sehat dari sakit. Eh, ketika sakitnya kambuh dari sakit mau menggunakan BPJS kembali ternyata nggak bisa karena sistem dibuat tutup otomatis bagi penunggak iuran. Jadilah bisa berobat kalau tagihan iuran sebelumnya dibayarkan. Koq jadi uber-uberan pemalakan begini yo? Hadeeuh.
Lalu, jadilah banyak yang 'ogah' daftar BPJS daripada harus kena iuran seumur hidup. Tapi ketika sakit terpaksa daftar BPJS biar dapat pelayanan kesehatan yang dicover BPJS. Ternyata BPJS tidak bisa dipake ketika pendaftaran tidak dilakukan 2 minggu sebelumnya. It's mean gini, "Eh, Rakyat jangan enak-enakan pake fasilitas BPJS, padahal kamu belum pernah iuran sekalipun." Jadi pasien harus pake jalur umum yang mahal.
====
Kebaca banget ya kalau fungsi 'ngopeni' rakyat tidak ada. Rakyat sakit dianggap beban. Padahal kesehatan adalah kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh negara untuk rakyatnya. Konsep kesehatan seperti yang diterapkan oleh BPJS -kesehatan tentu batil dan menyesatkan. Negara hanya berfungsi sebagai regulator semata dan menjadikan kesehatan seperti barang dagangan. Pembiayaan kesehatan dikonsep seperti pajak dan iuran premi asuransi yang menggambarkan dengan jelas adanya liberalisasi, komesialisasi dalam bidang kesehatan di negeri ini.
Wallahu 'alam bisshowab[]