Presiden Dalam Demokrasi = Pseudo Kepemimpinan


Oleh: Retno Kurniawati
(Analis Muslimah Voice)

Pemilu telah Selesai, bahkan sudah diumumkan pemenangnya tinggal pelantikan saja. Dan rupanya sang rival pun juga telah melakukan rekonsiliasi (perbuatan melakukan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula). Benarkah benar-benar rekonsiliasi? Atau saatnya ikut rebutan kue kekuasaan belaka? Misalnya saja yang lagi ramai di beritakan yaitu tentang formasi jatah menteri seperti yang di lansir oleh berbagai media online. Mulai PKB, Nasdem, Golkar bahkan PDI karena semua merasa paling berjasa atas keunggulan kembali suara yang di dapat oleh Jokowi. Seperti sindonews.com menulis judulnya Cak Imin Berharap PKB Minimal Dapat 10 Kursi Menteri.

Pada media yang lain juga, "Kalau sampai 20 juga tidak apa-apa. Namanya juga usulan yang tentunya semuanya akan kembali kepada hak prerogatif presiden," kata Maman kepada kumparan, Rabu (3/7). Juga yang di lansir pada jawapos.com. “Karena suara Nasdem lebih besar daripada PKB di DPR. Jadi, berdasarkan kursi, maka sepantasnya Nasdem mengusulkan sebelas,” ujar Taufiqulhadi di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (3/7). Dan ini menandakan semua berharap kue menteri lebih.

Ketika rival berkonsiliasi, juga ada indikasi bahwa sudah ada deal-deal politik. Kesepakatan ini tentu mengundang kekecewaan sebagian pendukungnya tapi mau bagaimana lagi, semua demi kepentingan politik dan kekecewaan pendukung hanya sebagai buih di lautan yang lantas menghilang di sapu ombak karena pemegang keputusan bukan pada orang-orang bawah, banyak namum hanya buih.

Begitulah potret hitam putih demokrasi. Semua berbasis kepentingan dan mirisnya lagi adalah kepentingan segelintir orang atau hanya kelompok tertentu saja, bukan atas kepentingan umat keseluruhan. Begitulah kebobrokan sistem demokrasi sebagai sistem transaksional. Yang menjadikan kekuasaan sebagai ajang bancakan.

Inilah yang di namakan presiden pemegang kepemimpinan pseudo. Pseudo artinya sesuatu yang bukan sesungguhnya. Semu belaka. Pseudo kepemimpinan adalah pemimpin yang tidak sesungguhnya.
Pemimpin semu. Terlihat seperti pemimpin tetapi sejatinya bukan. Ini adalah fenomena yang  harus dihindari dalam pengelolaan negara karena merugikan negara itu sendiri. Hanya sebagai pemimpin pseudo karena kebijakan-kebijakan nantinya sangat di pengaruhi oleh pemegang jatah-jatah kue yang di dapatkan oleh partai-partai pengusungnya. Dan presiden hanya sebagai petugas partai saja. Sungguh semu!
Banyak dampak buruk sistem seperti ini terhadap pengurusan urusan umat. Kebijakan dibuat justru untuk meraih kepentingan partai, kelompok, dan sponsor. Lagi-lagi yang di rugikan rakyat. Padahal rakyat seharusnya di perhatikan, di lindungi dan diayomi bukan malah sebagai objek yang di rugikan terus-menerus.
Dalam islam, pemimpin umat itu mestinya lahir dari proses tastqif (pembinaan keislaman) sehingga sikap dan pemikirannya dapat menyatu dengan umat.

Pemimpin seperti itulah yang seharusnya dan akan teguh bersama umat dalam memperjuangkan Islam. Tanpa tastqif maka sangat mungkin pemimpin tersebut nantinya akan meninggalkan umat. Seperti saat ini, yang berkedok rekonsiliasi.
"Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap kepada manusia." - Ali bin Abi Thalib -. Ujung-ujung nya adalah kekecewaan.

Dan satu-satunya kepemimpinan yang nyata, tidak semu adalah kepemimpinan berdasarkan islam. Jika carut marut akibat demokrasi terus terusan berlanjut, buat apa di lanjutkan lagi sudah saatnya di tinggalkan dan memenuhi kebutuhan umat akan sistem islam yg menjadikan kekuasan murni sebagai  alat untuk mengurus urusan umat melalui penegakkan syariat Islam kaffah.

Masih percaya dengan demokrasi? Lihat pencakar langit demokrasi tersebut. Puncak tertingginya pada kepentingan, tidak ada kawan dan lawan abadi. sudah saatnya bergabung dan berjuang bersama para pengemban dakwah Islam yg ikhlas untuk tegaknya Syariah Islam.

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم