Menteri Keuangan Mindset Recehan



Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice

Rakyat kini kembali mengelus dada. Pasalnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengusulkan kenaikan harga bea materai dari sebelumnya Rp3 ribu dan 6 ribu per lembar menjadi satu harga yakni Rp10 ribu per lembar.(https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20190703172007-532-408798/sri-mulyani-usul-bea-materai-naik-jadi-rp10-ribu?utm_source=twitter&utm_medium=oa&utm_content=cnnindonesia&utm_campaign=cmssocmed)

Ya, suatu dokumen memang harus dibubuhi materai, karena materai adalah bukti pembayaran pajak pada negara atas pembuatan dokumen sehingga dokumen tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti dimuka pengadilan.

Lagi, menaikkan pajak dijadikan jalan pragmatis atas usaha pemerintah mendulang pendapatan negara. Apalagi pajak yang dinaikkan adalah pajak recehan yang biasa dinikmati rakyat kecil. Alasan yang diungkap adalah untuk mendukung usaha mikro. Usaha mikro dibawah 5 juta tidak usah membayar pajak pada negara. Hanya saja tetaplah yang terjadi kenaikan pajak yang semula 3000-6000 menjadi 10000.

Tidak hanya pajak Bea Materai yang naik, tapi sebelumnya Sri Mulyani telah merestui naiknya BPJS, mengusulkan pajak untuk Cleaning service dan Youtuber, cukai Rp 200 per lembar kantong plastik berbasis petroleum, dan lain-lain. Tapi hal tersebut bertolak belakang dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), pajak telah diturunkan atas dalih mendorong pertumbuhan sektor properti. Padahal semua tahu, penikmat pajak ini adalah para konglomerat yang biasa membeli barang-barang mewah.

Setidaknya dari paparan fakta di atas, dapat ditarik tiga garis besar: Pertama, inilah ciri khas sistem ekonomi Kapitalisme, dimana menjadikan pajak sebagai sumber utama pendapatan negara. Oleh sebab itu, lumrah yang dinaikkan adalah recehan yang dirogoh dari saku rakyat, sekalipun itu harus mencekik rakyatnya sendiri.

Kedua, ini adalah kebijakan yang mendzolimi rakyat. Karena pemerintah abai dengan sumber dana yang menggiyurkan dari aset-aset strategis dan sumber daya alam yang dimiliki negara. Pemerintah malah mengkapitalisasi aset strategis dan SDA, sehingga kekayaan alam yang melimpah, malah dikuasai oleh para kapitalis asing. Padahal seharusnya, hal itu diurusi pemerintah untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Wajar jika kondisi rakyat yang hidup di zamrud khatulistiwa bagaikan ayam yang mati di lumbung padi.

Inilah kebobrokan sistem Kapitalisme, bagaikan drakula yang selalu menghisap darah rakyat melalui banyaknya pajak yang bisa dinaikkan sesuka hati mereka. Sampai-sampai sektor receh pun tak luput dari pemalakan tersistem.

Ketiga, tak ada solusi lain yang tuntas dan mensejahterakan rakyat kecuali kembali kepada Syariat Islam secara total. Karena hanya dengan menerapkan Islam, keadilan dapat dirasakan oleh semua pihak, baik Muslim maupun non Muslim. Dalam Islam pajak adalah alternatif terakhir jika khas negara kosong. Itu pun akan ditarik tanpa memaksa dan membebani rakyat yang masih kekurangan. Selain itu di tangan Islam, segala kekayaan negara termasuk sumber daya alam akan diurusi untuk kemakmuran rakyatnya, dan tidak akan dikapitalisasi seperti di negeri pengekor Kapitalisme liberal.

Sudah saatnya umat menjadikan sistem kehidupan Islam yang diajarkan Nabi Saw sebagai solusi tuntas dalam setiap permasalahan. Dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama