Oleh: Hida Muliyana, S.K.M (Pemerhati Kesehatan Masyarakat)
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya (zina) itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk" terjemah Quran Surah Al Isro ayat 32. Sebuah potongan ayat yang sudah tidak asing lagi di telinga ummat muslim. Khususnya bagi warga Banua yang terkenal agamis.
Dilansir dari media TVRI News, Jumat 19/09/2025 bahwasanya Kota Banjarbaru menempati peringkat kedua kasus HIV di Kalimantan Selatan, dengan puluhan kasus baru terdeteksi pada tahun 2025. Lonjakan kasus menunjukkan adanya problem kesehatan publik yang serius, ditambah akses pengobatan (ARV) belum maksimal.
Sungguh amat menyedihkan, Kalsel yang dikenal sebagai masyarakat yang agamis, banyaknya majelis ta'lim dan masyarakat yang gemar bershalawat ternyata masih banyak pelaku maksiat. Tingginya angka kasus HIV ini menjadi bukti bahwa dampak dari kemaksiatan itu nyata adanya.
Tentu kita tidak bisa menutup mata bahwa sebab munculnya penyakit HIV ini didominasi karena pergaulan bebas hingga penyimpangan seksual seperti LGBT. Kebebasan dalam bergaul adalah cerminan dari sistem sekuler yang menyingkirkan agama dalam aturan hidup, agama hanya dilakukan pada ibadah ritual. Sementara kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan hukum tidak diatur oleh syariat.
Akibatnya, aturan yang seharusnya menutup pintu maksiat seperti zina, homoseksual, prostitusi hingga narkoba tidak bisa diterapkan. Masyarakat dibiarkan hidup dengan standar kebebasan individu. Sekuler melahirkan nilai kebebasan absolut: bebas berpendapat, bebas berperilaku, bebas berhubungan seksual selama “suka sama suka.”
Selain itu kemiskinan, kesenjangan sosial, dan gaya hidup konsumtif kapitalis mendorong sebagian masyarakat terjun ke prostitusi atau narkoba sebagai cara bertahan hidup. Agama tidak lagi menjadi tolak ukur dalam berbuat. Akibatnya, tidak ada lagi kejelasan hukum, mana yang halal mana yang haram. Semua perbuatan haram seolah menjadi mubah dilakukan.
Pendekatan kesehatan publik dalam sistem sekuler lebih menekankan pada mengurangi bahaya, bukan menutup akar masalah. Islam memandang penyakit semacam HIV bukan semata problem medis, tapi buah dari sistem hidup yang membebaskan zina, homoseksual, prostitusi, dan narkoba. Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan melahirkan gaya hidup permisif. Inilah yang menjadi akar persoalan, bukan sekadar kurangnya fasilitas kesehatan.
Dalam Islam, ketika syariat Islam diterapkan dalam suatu Negara yang disebut khilafah. Maka negara tersebut akan menutup pintu-pintu perzinaan. Islam tidak mendorong diskriminasi terhadap penderita. Mereka tetap manusia yang berhak atas pelayanan kesehatan. Namun, jika penularan berasal dari aktivitas haram, maka negara tetap menegakkan hukum pada perilaku penyebabnya.
HIV di Banjarbaru bukan sekadar soal kesehatan, tapi buah dari sistem sekuler yang gagal mencegah perilaku maksiat. Islam melalui Khilafah memberi solusi komprehensif, yaitu pertama menutup akar masalah. Akar masalah dari HIV didominasi dari penularan penyakit seksual. Diawali dengan seks bebas, gonta ganti pasangan yang tidak halal, dan pelaku LGBT. Allah sudah memperingatkan manusia melalui firmanNya agar jangan mendekati zina. Negara dan masyarakat akan ikut berperan dalam mencegah kemaksiatan ini terjadi melalui aktivitas 'amar ma'ruf nahi munkar dan polisi akan melakukan patroli.
Kedua, memberi layanan medis gratis. Kesehatan adalah bagian dari kebutuhan pokok yang menjadi tanggungjawab negara untuk memenuhinya. Rakyat tak perlu membayar premi atau iuran agar mendapat layanan dan pengobatan gratis.
Ketiga, khilafah akan mendidik masyarakat dengan syariah. Pendidikan juga bagian dari kebutuhan pokok yang wajib bagi negara untuk memenuhinya. Maka negaralah yang akan mengatur kurikulum pendidikan agar membentuk rakyatnya beriman dan bertakwa kepada Allah. Dengan begitu akan terbentuk masyarakat yang menjaga akhlak baik, takut berbuat maksiat.
Keempat, khilafah akan menegakkan hukum sesuai dengan syariat Islam, hukum yang datang langsung dari Allah. Hukum ini bisa berusaha 'uqubat bagi pelaku zina baik itu yang sudah menikah ataupun belum menikah. Sanksi ini dibuat langsung dari Allah dengan dalil qath'i yang tak ada satu orangpun bisa membantahnya. Sanksi ini dibuat agar membuat efek jera sehingga orang lain takut untuk melakukannya dan dapat menghapus dosa bagi pelakunya.
Dengan cara inilah HIV dapat ditekan secara tuntas, bukan sekadar ditambal melalui pendekatan medis semata. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati. Islam sudah memiliki mekanisme yang sempurna dalam upaya pencegahan tersebut. Wallahua'lam bishawab.[]