Oleh Nurul Fadilah
Kompas.com News Nasional KPAI Sebut 295 Anak Jadi Tersangka Kerusuhan Agustus Tidak Penuhi Standar UU Peradilan Anak Kompas.com, 26 September 2025, 17:10 WIB Baca di App Firda Janati, Dani Prabowo Tim Redaksi 1 Lihat Foto JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner KPAI Aris Adi Leksono menyebut bahwa penetapan 295 tersangka berusia anak dalam kerusuhan pada akhir Agustus 2025 tidak memenuhi standar perlakuan terhadap anak sesuai UU Peradilan Anak. "Masih banyak yang kemudian tidak memenuhi standar perlakuan terhadap anak, ada anak yang diperlakukan tidak manusiawi, bahkan ada yang kemudian diancam, dikeluarkan dari sekolahnya," ucap Aris saat ditemui di Kantor Kemenag, Jakarta Pusat, Jumat (26/9/2025).
Adanya 295 anak yang menjadi tersangka dalam kerusuhan Agustus 2025, dengan berbagai pelanggaran prosedur peradilan anak, seharusnya menjadi ujian kesadaran politik pertama bagi Generasi Z. Fakta ini bukan sekadar berita hukum, melainkan cermin dari bagaimana negara memperlakukan masa depan mereka. Sebagai generasi yang tumbuh dengan akses informasi tak terbatas dan nilai-nilai keadilan yang mengglobal, Gen Z ditantang untuk membaca peristiwa ini bukan sebagai konsumen pasif, tetapi sebagai pemegang kepentingan yang masa depannya dipertaruhkan. Kesadaran politik mereka diuji: apakah akan diam melihat teman sebaya diperlakukan secara tidak manusiawi dan dijauhkan dari pendidikan, atau justru menggunakan seluruh platform digital dan kekuatan jejaringnya untuk mendesak reformasi sistem peradilan anak yang lebih protektif.
Jika Gen Z mampu mentransformasi keprihatinan menjadi aksi kolektif—mulai dari tekanan di media sosial, penggalangan dana hukum, hingga advokasi kebijakan—maka peristiwa menyedihkan ini bisa menjadi titik balik bangkitnya kekuatan politik baru yang tidak hanya vokal di dunia maya, tetapi juga berdampak nyata dalam memperjuangkan keadilan bagi generasinya sendiri.
Dalam konteks penetapan 295 anak sebagai tersangka kerusuhan yang dinilai melanggar UU Peradilan Anak, peran negara justru terlihat paradoks. Alih-alih menjadi pelindung utama, negara melalui aparat penegak hukumnya malah menjadi pelaku pelanggaran dengan melakukan kriminalisasi massal, perlakuan tidak manusiawi, dan membiarkan akses pendidikan anak-anak tersebut terputus. Negara seharusnya hadir sebagai penjamin hak-hak konstitusional anak dengan menerapkan pendekatan keadilan restoratif yang memulihkan, bukan sekadar menghukum.
Kegagalan negara dalam mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dalam kasus ini bukan hanya mengorbankan masa depan 295 anak tersebut, tetapi juga memperlihatkan wajah sistem peradilan yang masih represif dan abai terhadap perlindungan kelompok paling rentan. Oleh karena itu, negara harus segera mere-evaluasi penanganan kasus ini, memulihkan hak-hak anak yang terdampak, dan memastikan komitmen perlindungan anak tidak lagi hanya menjadi retorika di atas kertas.
Pemuda adalah tonggak negara, namun bagaimana mungkin tonggak itu kokoh jika justru diremukkan oleh sistem yang seharusnya melindunginya? Kasus 295 anak yang dikriminalisasi dalam kerusuhan ini menjadi bukti nyata kegagalan sistem sekuler dalam membina generasi muda. Islam mewajibkan amar makruf nahi mungkar, tetapi dalam sistem saat ini, justru suara kritis dibungkam dan anak-anak yang seharusnya mendapat bimbingan malah dijadikan tersangka. Kontras dengan ini, Khilafah membentuk pemuda melalui pendidikan berbasis aqidah Islam yang menanamkan tanggung jawab bukan melalui kekerasan, melainkan melalui penanaman iman dan akhlak mulia.
Dalam Islam, negara tidak akan pernah membiarkan anak-anak diperlakukan tidak manusiawi, karena Rasulullah SAW bersabda bahwa bukan dari umatnya orang yang tidak menyayangi anak kecil. Inilah yang ditawarkan oleh Khilafah - sistem yang memandang pemuda sebagai aset berharga yang harus dibina, bukan sebagai ancaman yang harus dihancurkan. Ketika sistem sekuler gagal melindungi generasi muda, sudah saatnya kita menyadari bahwa hanya dengan penerapan Islam secara kaffah dalam naungan Khilafahlah pemuda akan menjadi tonggak peradaban yang hakiki.[]