Nurul Fadhilah
Tragedi ambruknya gedung Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, yang menimpa santri yang sedang melaksanakan sholat Ashar, adalah sebuah musibah yang menyentuh lubuk hati terdalam. Peristiwa ini bukan sekadar insiden konstruksi biasa, melainkan sebuah ironi yang pahit dan tamparan keras bagi kita semua.
Bayangkan situasinya: puluhan santri sedang dalam keadaan khusyuk, bersujud menghadap Sang Pencipta, di tempat yang seharusnya menjadi zona paling aman dan penuh berkah. Namun, dalam sekejap, tempat mereka mencari ketenangan jiwa justru berubah menjadi kuburan beton. Ibadah yang seharusnya melindungi mereka secara spiritual, ternyata tidak diimbangi dengan perlindungan secara fisik dari bangunan tempat mereka beribadah. Ironi inilah yang paling menyayat.
Fakta ini harusnya menjadi peringatan keras (wake-up call) tentang dua hal mendasar:
Pertama, soal komitmen terhadap keselamatan dan standar infrastruktur publik, khususnya di lembaga pendidikan. Pondok pesantren adalah rumah kedua bagi para santri. Ia tidak hanya berfungsi sebagai tempat menimba ilmu, tetapi juga tempat tinggal. Tragedi ini mempertanyakan secara serius: Seberapa sering audit bangunan dilakukan di pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah di seluruh Indonesia? Apakah ada standar bangunan yang ketat dan dipatuhi? Ataukah kita selama ini terlalu fokus pada pembangunan secara kuantitas, tanpa memedulikan kualitas dan keamanannya? Kelalaian dalam hal ini, baik dalam perencanaan, konstruksi, atau perawatan, bukan lagi sekadar pelanggaran administratif, melainkan sebuah dosa sosial yang berbuah nyawa.
Kedua, tentang prioritas kita sebagai masyarakat. Kita seringkali tergugah untuk berdonasi membangun masjid atau pesantren baru, yang secara fisik terlihat megah. Namun, seberapa besar perhatian kita untuk memastikan bahwa bangunan-bangunan yang sudah berdiri puluhan tahun itu masih layak dan aman? Perawatan (maintenance) seringkali menjadi anak tiri dalam pembangunan. Tragedi Al Khoziny menunjukkan bahwa sebuah bangunan tua yang tak terawat adalah bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Di balik semua analisis teknis, ada duka yang tak terperi. Para santri itu adalah generasi penerus bangsa, penjaga tradisi keilmuan agama, dan harapan orang tua mereka. Mereka datang untuk mencari ilmu dan mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan untuk menemui ajal dalam keadaan seperti itu.
Oleh karena itu, Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus mengambil langkah luar biasa. Tidak cukup hanya dengan investigasi terhadap satu kasus ini. Harus ada audit infrastruktur massal dan menyeluruh terhadap semua pondok pesantren, sekolah, dan fasilitas publik lainnya di Indonesia. Audit ini harus transparan dan diikuti dengan tindakan nyata, baik perbaikan, renovasi, bahkan pembongkaran jika bangunan dinilai tidak lagi aman.
Selain itu, perlu ada penguatan regulasi dan pengawasan yang ketat terhadap standar bangunan, serta alokasi anggaran khusus untuk pemeliharaan infrastruktur pendidikan, khususnya pesantren yang sering mengandalkan swadaya masyarakat.
Kita tidak boleh lagi menunggu nyawa melayang untuk baru bertindak. Setiap dinding yang retak, setiap besi yang keropos, adalah jeritan bisu yang meminta perhatian kita. Mari jadikan tragedi pilu di Ponpes Al Khoziny sebagai momentum bersejarah untuk membangun Indonesia yang tidak hanya kuat imannya, tetapi juga aman tempat ibadah dan belajarnya. Mengutamakan keselamatan nyawa manusia adalah bagian dari ibadah itu sendiri.
Dalam negara Islam, Islam mewajibkan negara menyediakan fasilitas pendidikan dengan standar keamanan, kenyamanan, dan kualitas yang baik melalui sistem Baitul Mal bukan sekadar wacana, melainkan prinsip fundamental yang menempatkan pendidikan sebagai hak publik yang wajib dijamin oleh negara. Dalam kerangka maqashid syariah, kewajiban ini merupakan turunan dari prinsip menjaga jiwa dan akal (hifzh an-nafs wa al-'aql), di mana mustahil proses menuntut ilmu dapat berlangsung optimal jika para santri justru terancam keselamatan jiwanya di bawah atap yang rapuh.
Konsep Baitul Mal di sini menjadi kunci, karena seharusnya institusi inilah yang menjamin alokasi dana yang memadai dan berkelanjutan untuk pembangunan serta pemeliharaan infrastruktur pendidikan, tanpa bergantung pada ketidakpastian sumbangan masyarakat. Tragedi ambruknya Ponpes Al Khoziny, dalam perspektif ini, bukan hanya mencerminkan kelalaian teknis semata, tetapi lebih dalam lagi merupakan kegagalan negara dalam meneladani sistem ekonomi Islam yang diamanahkan untuk memprioritaskan kemaslahatan dasar umat. Oleh karena itu, menuntut negara untuk bertanggung jawab penuh atas keamanan dan kualitas sekolah serta pesantren bukan hanya tuntutan konstitusional, melainkan implementasi nyata dari ajaran Islam yang sering kita dengungkan namun kerap luput dari praktik bernegara.[]