Oleh: Septa Yunis
Kasus keracunan makanan bergizi (MBG) kembali mencuat di berbagai daerah. Sebanyak 135 siswa di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Berbah, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalami gejala keracunan usai mengkonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG). Orang tua siswa berharap, program MBG dievaluasi. (tirto.id, 27/08/2025)
Sebelumnya, kejadian serupa juga menimpa siswa di Sragen. Hasil uji laboratorium di Sragen bahkan menegaskan bahwa persoalan utama terletak pada buruknya sanitasi lingkungan. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) pun mengungkapkan keprihatinannya, hingga menginstruksikan penghentian sementara operasional satuan pemenuhan pelayanan gizi (SPPG). Namun, apakah sekadar menghentikan sementara cukup menjawab persoalan serius ini?
Program MBG sejatinya lahir dari janji kampanye presiden untuk menekan angka malnutrisi dan stunting pada anak-anak serta ibu hamil. Targetnya mulia: meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, faktanya justru menunjukkan sebaliknya. Keracunan yang berulang di banyak daerah mencerminkan lemahnya persiapan, minimnya pengawasan, dan absennya standar operasional prosedur (SOP) yang matang. Alih-alih membawa manfaat, nyawa anak-anak malah terancam.
Bagaimana mungkin sebuah program yang mengatasnamakan gizi justru menjadi sumber penyakit dan ketakutan bagi para orang tua?
Lebih dari itu, MBG bukanlah solusi fundamental untuk mengatasi stunting. Masalah gizi tidak bisa dijawab hanya dengan distribusi makanan instan berbasis proyek populis. Ada faktor lain yang jauh lebih mendasar: akses pangan sehat, kesejahteraan keluarga, pendidikan gizi, dan lingkungan hidup yang layak.
Kasus keracunan MBG membuka mata kita bahwa negara tampak abai dalam menjalankan tanggung jawabnya. Jika negara benar-benar serius, seharusnya sistem distribusi, sanitasi, hingga kualitas bahan pangan dipastikan aman dan terjaga. Faktanya, pengawasan yang longgar justru melahirkan tragedi demi tragedi.
Pertanyaannya, sampai kapan rakyat terutama anak-anak dijadikan “kelinci percobaan” dari kebijakan yang serba instan?
Islam menegaskan bahwa negara wajib berfungsi sebagai pengurus urusan rakyat. Artinya, pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk pangan sehat dan bergizi, adalah tanggung jawab negara, bukan proyek politik sesaat.
Dalam sistem khilafah, kesejahteraan rakyat dijamin melalui dua jalur:
Langsung, negara memastikan distribusi kebutuhan pokok secara adil bagi seluruh rakyat.
Tidak langsung, melalui penciptaan lapangan kerja, sistem upah yang adil, dan harga pangan yang stabil.
Selain itu, khilafah memiliki sumber pemasukan besar yang dikelola sesuai syariat, seperti kepemilikan umum (hasil tambang, energi, hutan), zakat, fai, kharaj, dan jizyah, sehingga tidak perlu mengandalkan utang atau program populis yang membahayakan rakyat. Dengan sistem ini, masalah gizi dan stunting bisa dicegah sejak akar, karena setiap keluarga dijamin kesejahteraannya. Edukasi gizi juga diberikan secara komprehensif agar masyarakat memahami pola makan sehat, bukan hanya menerima paket makanan tanpa kontrol kualitas.
Keracunan MBG yang berulang adalah alarm keras bahwa program populis tanpa basis sistem yang kuat justru membahayakan rakyat. Negara semestinya tidak bermain-main dengan nyawa generasi penerus bangsa. Sudah saatnya kita menyadari bahwa solusi parsial tidak akan pernah menyelesaikan persoalan fundamental. Islam melalui sistem khilafah telah menawarkan mekanisme yang jelas dan teruji untuk menjamin kesejahteraan dan kesehatan rakyat.
Karena sejatinya, nyawa anak-anak kita terlalu berharga untuk sekadar dijadikan korban janji politik.