Gaza, Genosida Kelaparan, dan Pengkhianatan Pemimpin Muslim: Umat Harus Bangkit!




Oleh: Septa Yunis

Dunia kembali menyaksikan babak baru kebiadaban Zionis Yahudi. Di Gaza, bukan hanya bom yang membunuh. Kini, kelaparan menjadi senjata pemusnah massal yang paling sunyi, paling keji, dan paling kejam. 

Dilansir dari CNBC Indonesia (23/07/2025), Dalam tiga hari terakhir melansir dari The Japan Times, 21 anak meninggal di rumah sakit Al-Shifa, Al-Aqsa Martyrs, hanya dalam waktu 72 jam karena malnutrisi. Artinya, tujuh anak tewas setiap hari karena kurang gizi.

"Setiap saat, kasus kelaparan baru tiba di rumah sakit kami," kata Mohammed Abu Salmiya, Direktur Al-Shifa, kepada para wartawan. Dia tak lagi bicara soal gelombang pasien, tapi tsunami kematian yang datang dalam hitungan menit. Sementara itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan bahwa "tali-tali kehidupan terakhir yang menjaga orang-orang tetap hidup sedang runtuh."

Sejak gencatan senjata enam pekan kandas dan blokade penuh diberlakukan pada 2 Maret 2025, dua juta jiwa di Gaza dipaksa bertahan dalam neraka dunia. Truk bantuan yang masuk hanya sebatas angka simbolik, cukup untuk memoles citra internasional, tapi tak cukup untuk menunda maut yang menjemput anak-anak dan perempuan tak berdosa. Inilah wajah asli Zionis: haus darah, berhati batu, dan tak mengenal kata manusiawi.

PBB? Mandul. AS? Pembela setia penjagal rakyat Palestina. Negara-negara Barat? Para penyokong penjajah yang menutupi kebiadaban dengan slogan HAM busuk mereka. Seluruh resolusi, rapat darurat, dan “seruan internasional” tak lebih dari panggung sandiwara untuk menenangkan opini publik dunia. Pada akhirnya, mesin pembunuh Zionis terus berjalan, dan dunia hanya menonton, membiarkan genosida ini berlangsung.

Namun, pengkhianatan terbesar datang dari dalam rumah umat sendiri. Para pemimpin negeri Muslim duduk manis di singgasana, sibuk menghitung untung dagang dengan penjajah, sementara darah saudara mereka mengalir di Gaza. Mereka seolah tak lagi memiliki hati. Seruan Allah dan Rasul-Nya ditutup rapat-rapat, diganti dengan kalimat-kalimat basi seperti “kami prihatin”, “kami menyerukan gencatan senjata”, dan “kami mendukung solusi dua negara”. Solusi dua negara? Itu hanyalah mimpi yang dijual kepada umat untuk menutupi kenyataan bahwa mereka pengecut dan tunduk pada tuannya di Barat.

Umat ini telah lama dipaksa percaya bahwa mereka lemah, bahwa mereka tak berdaya, bahwa melawan penjajah mustahil tanpa restu PBB dan senjata Barat. Padahal, sejarah membuktikan sebaliknya! Ketika akidah ini dipegang teguh, ketika umat memiliki pemimpin yang memimpin dengan syariat, Khilafah berdiri tegak dan menjadi adidaya yang disegani, bukan pengemis kemanusiaan yang dihina di meja diplomasi.

Mari kita berhenti membohongi diri sendiri. Gaza tidak akan bebas dengan doa tanpa jihad. Tidak akan selamat dengan pertemuan meja bundar dan foto-foto pemimpin yang pura-pura peduli. Hanya dengan kekuatan umat yang disatukan di bawah panji Khilafah, dengan jihad sebagai jalannya, bumi Palestina akan dibersihkan dari penjajah, dan kehormatan umat kembali tegak.

Ini saatnya para pengemban dakwah menggetarkan hati umat, menggugah mereka dari tidur panjang yang dipaksakan penguasa pengkhianat. Ini saatnya mengembalikan keyakinan bahwa kemenangan hanya milik Allah dan orang-orang yang berjuang di jalan-Nya. Ini saatnya membangun kekuatan, menyatukan barisan, dan menyiapkan diri untuk menyambut pertolongan Allah dengan langkah nyata, bukan sekadar kata-kata.
Karena genosida Gaza adalah bukti telanjang bahwa dunia tanpa Khilafah adalah dunia tanpa pelindung bagi kaum Muslimin. Dan setiap detik yang kita habiskan tanpa perjuangan menuju Khilafah adalah detik yang memperpanjang penderitaan saudara-saudara kita di bumi yang terjajah.



*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama