Sistem Kapitalis Sekuler Membuka Peluang Korupsi
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan melakukan survei mengenai pengetahuan para PNS adanya kemungkinan korupsi di lembaganya. Riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) mendapati bahwa mayoritas Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak mengetahui terjadinya perilaku korupsi di instansinya bekerja. Riset mendapati kalau 39,2 persen PNS sama sekali tidak mengetahui dan 30,4 persen kurang tahu terjadinya korupsi di instansinya. "Artinya mayoritas 69,6 persen kurang tahu/sama sekali tidak tahu," kata Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam konferensi virtual di Jakarta, Ahad (18/4). Sedangkan terdapat 25,5 persen PNS yang sangat atau cukup tahu adanya kemungkinan korupsi di instansinya. Rinciannya, sebanyak 3,1 persen sangat tahu dan 22,4 persen cukup tahu. (www.republika.co.id)
Survei LSI juga mendapati bahwa kurangnya pengawasan membuat PNS terdorong untuk melakukan korupsi. Survei mendapati kalau 49 persen kegiatan korupsi terjadi karena kurangnya pengawasan. Sedangkan 34,8 persen responden menilai kalau keberadaan korupsi ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa juga menjadi faktor pendorong korupsi. Sementara 26,2 persen menilai perilaku koruptif akibat gaji yang rendah.
Sebesar 24,4 persen menilai korupsi merupakan bagian dari budaya atau kebiasaan di suatu instansi. Dan 24,2 persen berpendapat korupsi dilakukan guna mendapat uang tambahan di luar penghasilan rutin.
"Faktor-faktor lain yang dinilai lebih sedikit adalah karena tidak ada ketentuan yang jelas, jarang ada hukuman jika ketahuan, pelaku tidak paham, didukung atasan, persepsi hak PNS dan takut dikucilkan," katanya. Survei dilakukan terhadap seluruh PNS di lembaga-lembaga negara di tingkat pusat dan provinsi yang tersebar di 14 provinsi. Sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak dari populasi tersebut. Survei dilakukan pada 3 Januari hingga 31 Maret 2021. Para responden diwawancarai secara tatap muka, baik daring maupun luring, oleh pewawancara yang dilatih. (www.republika.co.id)
Sementara itu, hasil survei LSI menyebut ada lima tempat atau bagian paling korup di instansi pemerintah. Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menyampaikan bahwa kelima tempat tersebut adalah pengadaan barang, perizinan usaha, bagian keuangan, bagian pelayanan, serta bagian personalia.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Menpan RB) Tjahjo Kumolo tak menampik masih mendapati PNS atau ASN yang terjerat korupsi. Tjahjo menyebut setiap bulan Kemenpan RB memecat tidak hormat para PNS korup. "Jujur kami tiap bulan rata-rata hampir 20 hingga 30 persen PNS yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, harus kami ambil keputusan untuk diberhentikan dengan tidak hormat," (Merdeka.com).
Sanksi PNS Korupsi Tidak Membuat Jera
Koordinator Bidang Monitoring Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, menilai hukuman terhadap koruptor di Indonesia terlalu ringan. Seperti yang dilansir Kompas.com, Emerson menyebutkan, ada 10 hal yang membuat koruptor di Indonesia tidak merasakan efek jera.
Pertama, vonis bagi koruptor di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terlalu ringan.
Kedua, proses hukum hanya menjerat pelaku korupsi, bukan pada keluarga atau kerabat yang terkait dalam kasus pencucian uang.
Ketiga, hukuman hanya berupa pemenjaraan, tidak memiskinkan pelaku korupsi. Padahal, menurut Emerson, rata-rata koruptor itu lebih takut disita harta dan kekayaannya ketimbang dipenjara dalam waktu lama.
Keempat, menurut Emerson, dalam beberapa kasus, hakim menjatuhkan hukuman uang pengganti, tetapi hukuman itu bisa diganti dengan subsider pemenjaraan. Pada akhirnya koruptor memilih dipenjara. "Bayar uang pengganti adalah wajib, kalau tidak bayar, koruptor itu tidak boleh lolos dari penjara. Jangan berikan hak subsider dalam undang-undang," kata Emerson.
Kelima, pemerintah melalui petugas lapas dinilai masih memberikan kemewahan bagi para koruptor. Misalnya, lapas khusus yang menyediakan berbagai fasilitas bagi koruptor.
Keenam, mantan terpidana koruptor masih bisa mengikuti pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah. Hal ini sebagai dampak tidak dicabutnya hak politik bagi terpidana kasus korupsi.
Ketujuh, para koruptor dalam status tersangka dan terdakwa masih dapat menjadi pejabat publik dan masih mendapat pensiun.
Kedelapan, walaupun ditetapkan sebagai terdakwa, seorang koruptor tidak dilakukan penahanan dan pencekalan.
Kesembilan, hukuman tidak membuat jera, misalnya, ada terdakwa kasus korupsi, yakni Nazaruddin dan Artalita Suryani, yang masih bisa menjalankan bisnis.
Kesepuluh, walaupun berstatus tersangka atau terdakwa, seorang koruptor masih bisa menduduki jabatan publik. "Di Riau, kepala dinas Kehutanan adalah mantan terpidana kasus korupsi. Di Kepulauan Riau, gubernur sempat ingin mengangkat kepala dinas Kelautan yang dari terpidana," kata Emerson. (Kompas.com).
Itulah sepuluh penyebab koruptor yang dipenjara tidak menjadi jera. Korupsi adalah permasalahan sistemis akan tetapi dipecahkan secara parsial. Walhasil, dari tahun ke tahun semakin bertambah banyak koruptor-koruptor yang melenggang di negeri ini.
Islam Menjaga Harta, Korupsi Dosa Besar
Dalam surat al-Baqarah ayat 188. Allah berkalam yang artinya: Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain dengan (jalan) berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.
Pelaku pencuri wajib dijatuhi hukuman had oleh pihak yang berwenang (pemerintah yang sah), baik pelakunya laki-laki maupun perempuan, yaitu hukuman potong tangan. Sebagaimana Kalam Allah ta’ala,: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah: 38).
Mencuri termasuk dosa besar, Allah subhaanahu wata’ala melaknat pelakunya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Allah melaknat pencuri yang mencuri sebuah telur, maka dia dipotong tangannya, dan pencuri yang mencuri sebuah tali, maka dia dipotong tangannya (pula).” (HR. Bukhari no. 2574).
Bisa dibayangkan, terkait para pencuri, akan teridentifikasi kejahatan yang pernah mereka lakukan sepanjang hidup mereka. Ini akan mencegah mereka mencuri ulang. Masyarakat pun akan mendapatkan pelajaran dari pelaku yang sudah dipotong tangannya untuk senantiasa menguatkan ketakwaan tidak menuruti hawa nafsu dengan mencuri.
Sebuah riwayat yang diungkapkan Imam Malik dalam menerangkan korupsi (dalam artian suap), dimana saat Abdullah bin Rawahah tengah menjalankan tugas dari Nabi untuk membagi dua hasil bumi Khaybar, separo untuk kaum Muslimin dan sisanya untuk Yahudi. Selanjutnya datang orang Yahudi untuk memberi suap berupa perhiasan agar ia mau memberikan lebih dari separo untuk Yahudi. Namun tawaran tersebut ditolak oleh Rawahah dengan mengatakan suap yang kalian tawarkan adalah haram, dan kaum muslimin tidak memakannya.
Diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah berkata, laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap. Demikian juga menyangkut hadiah yang juga disebut gratifikasi kepada aparat pemerintah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasul berkata, hadiah yang diberikan kepada pennguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.
Adapun perampok, pelaku ghashab dan korupsi, akan dikenai sanksi ta’zîr. Hukumannya diserahkan kepada hakim. Hakim pun bisa menjatuhkan hukuman yang maksimal seperti hukuman mati. Dengan begitu harta akan terjaga dan tak ada seorang pun yang berani mengambil harta orang lain yang bukan haknya.
Semua ini membuktikan dengan jelas, bahwa Islam telah menjaga agama, akal, jiwa dan harta benda manusia dengan sangat sempurna. Dengan itu kehidupan masyarakat pun menjadi tenang, tenteram dan bahagia serta dijauhkan sejauh-jauhnya dari hal-hal yang bisa merusak ketenteraman dan kebahagiannya.
Itulah kerahmatan Islam bagi masyarakat, dari urusan agama hingga harta benda. Hal ini hanya akan terwujud dengan diterapkannya syariat Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Islam. Wallahu’alam.
Penulis: Setya Soetrisno