Oleh: Ummu Aman (Komunitas Menulis Setajam Pena)
Reshuffle kabinet yang sering kali terjadi, diharapkan akan mampu meningkatkan kinerja pemerintah. Juga demi tersukseskannya program-program kerja yang ada. Namun sering kali jauh panggang dari api, karena reshuffle kabinet banyak diwarnai akomodasi politik semata.
Seperti yang dilansir dari Harian Aceh Indonesia (14/4/2021), Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ahmad Syaikhu merespons soal isu perombakan kabinet (reshuffle) Indonesia Maju Jilid II yang dikabarkan akan dilakukan dalam waktu dekat. Syaikhu berharap, reshuffle dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bukan untuk kepentingan akomodasi politik, melainkan untuk membantu kerja presiden dalam menjalankan roda pemerintahan kedepan. Yaitu bagaimana yang terpilih itu memang orang-orang yang mempunyai kredibilitas akseptabilitas yang betul-betul memadai bukan asal-asal akomodasi politik saja.
Syaikhu menuturkan, bahwa reshuffle merupakan hak prerogatif presiden. Namun dirinya mengingatkan Presiden Jokowi untuk tidak hanya terbatas memilih calon menteri dari kalangan profesional non partai. Menurutnya ada banyak kalangan profesional di dalam partai yang juga memiliki kemampuan baik.
Politik dan segala aktivitas politik dalam sistem kapitalisme sekuler pastilah tidak jauh dari asas ideologi yang diemban, yaitu kepentingan yang berujung pada kapital. Seperti halnya pergantian menteri dalam kabinet sekuler selalu memicu perdebatan soal akomodasi politik (balas budi) dan kepentingan partai penguasa, dibanding kebutuhan kemaslahatan publik.
Hal ini adalah sesuatu yang wajar dan pasti terjadi karena orientasi dari politik sekuler bukanlah rakyat dan bagaimana mensejahterakannya, tetapi politik adalah kendaraan untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan golongan. Semua elemen dan golongan yang berkontribusi dalam aktivitas politik mempunyai agenda masing masing. Seluruh pengorbanan yang dilakukan menuntut balas budi berupa kedudukan atau jabatan yang berujung pada kapital.
Penguasa mengakumudir semua golongan yang mendukungnya dengan membagi jabatan termasuk dikursi kabinet. Sehingga harapan peningkatan kinerja dalam reshuffle kabinet akan sulit terwujud. Sebab, membuka peluang menempatkan orang yang bukan ahlinya. Hal ini berpotensi besar menimbulkan masalah, alih-alih meningkatkan kinerja.
Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan mekanisme Islam dalam penggantian pejabat negara. Di dalam Islam yang bertanggung jawab atas urusan rakyat adalah Khalifah, yang menjalankan roda pemerintahan berlandaskan kepada hukum Syara'. Khalifah akan mengangkat para pejabat negara yang bertugas membantu dalam menjalankan tugasnya. Mereka yang dipilih sebagai pejabat negara merupakan orang yang punya kapasitas dengan syarat dan ketentuan yang berlaku sesuai hukum Syara', bukan berpijak pada kepentingan pribadi atau golongan.
Para pejabat yang diangkat oleh Khalifah akan menjalankan tugasnya dengan amanah, dibawah kontrol dan pengawasan Khalifah secara ketat. Ketika ada kekeliruan akan diluruskan oleh Khalifah. Pengangkatan dan pemecatan pejabat negara adalah hak Khalifah secara mutlak yang berlandaskan hukum Syara'.
Di dalam sistem Islam, jabatan dipandang sebagai amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah subhanahu wata'ala kelak di akhirat. Dari pemahaman ini tidak ada perebutan jabatan demi kepentingan pribadi atau golongan. Maka dalam sistem Islam, kondisi pemerintah akan stabil dan kuat, serta mampu mengakumudir kepentingan umat. Inilah esensi dari politik Islam, riayatul su'unil umah (mengurusi urusan rakyat).
Rosulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda "Jika amanah telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi." Ada seorang sahabat bertanya: 'Bagaimana maksud amanah disia-siakan?' Nabi menjawab: "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu." (HR Al-Bukhari)
Wallahua'lam bishowab.