Oleh: Rina Yulistina
(Analis Muslimah Voice)
Data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah angkatan kerja pada Februari 2020 sebanyak 137,91 juta orang, naik 1,73 juta orang dibanding Februari 2019. Sedangkan tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) turun sebesar 0,15 persen poin. Dalam setahun terakhir, pengangguran bertambah 60 ribu orang. Hal ini pula menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk melakukan terobosan di dunia pendidikan. Ya, menteri pendidikan Nadiem Makarim berambisi untuk mengkawinkan masal SMK dan Vokasi dengan industri.
Terobosan ini ketika kita lihat sekilas bagaikan angin segar semilir yang mengobati kebuntuan untuk mendapatkan pekerjaan. Bayangan orang tua wali adalah ketika anak-anak mereka lulus maka mereka bisa langsung bekerja. Maka terobosan ini adalah jalan emas. Namun jika kita berfikir lagi benarkah ini jalan emas? Ketika kita membedah makna perkawinan antara pendidikan dengan industri itu artinya industri ada diatas pendidikan, maka dunia pendidikan hanya dijadikan alat kepentingan industri. Fakta membuktikan banyak sekali sekolah vokasi dan program studi hingga kurikulum Perguruan Tinggi yang dibuat demi memenuhi agenda industri. Sedangkan SMK dijadikan SDM yang siap terjun kelapangan.
Dengan kata lain pendidikan diminta oleh industri untuk menghasilkan output yang sesuai standar industri yang telah siap terjun ke dunia kerja sehingga pihak industri tak perlu susah-susah untuk mengeluarkan banyak uang untuk program pelatihan pengembangan pegawai. Selain itu gaji yang dikeluarkan oleh perusahaan pun relatif kecil dengan beban kerja yang tinggi. Sehingga cost perusahaan bisa ditekan sedemikian rupa. Hal ini merupakan salah satu trik untuk meraup keuntungan para pemilik modal.
Kebijakan perkawinan pendidikan dengan industri pun juga erat hubungannya dengan RUU Omnibus Law yang terus diupayakan sekuat tenaga untuk disahkan oleh pemerintah ditengah pandemi. Dengan adanya Omnibus Law maka pihak pemilik modal dengan mudahnya mengambil tenaga kerja terampil dengan gaji sangat murah yang telah disediakan oleh pendidikan.
Kelicikan Omnibus Law telah tercium oleh masyarakat terutama pihak serikat buruh, sangat banyak pasal-pasal yang bermasalah seperti yang terjadi pada klaster cipta lapangan kerja. Pemerintah sudah menyiapkan RUU Omnibus Law yang akan merevisi 51 pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Di antaranya soal pemutusan hubungan kerja, pengurangan pesangon, pekerja kontrak untuk semua jenis pekerjaan, jam kerja, rekrutmen tenaga asing, pasal pidana sengketa ketenagakerjaan, hingga sistem pengupahan dengan menghapus Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan upah sektoral (UMSK). Upah didasarkan pada jam kerja.
Bisa kita renungkan bersama, apakah perkawinan pendidikan dengan industri adalah jalan emas? Bukankan perkawinan ini menjadikan anak bangsa sebagai santapan empuk omnibus law? Digaji murah disesuaikan dengan jam kerja bukan ladi upah minimum kab/kota, bisa dipecat sewaktu-waktu tanpa pesangon. Sungguh malang nian nasib anak bangsa, harapan untuk membantu perekonomian keluarga mengentaskan kemiskinan hanya angan kosong yang ada anak bangsa hanya diperalat untuk memenuhi kerakusan para pemilik modal sebagai penggerak roda ekonomi kapitalis.
Dari sini kita faham bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sama sekali bukan untuk kepentingan rakyat namun untuk kepentingan para pemilik modal. Kegetolan pemerintah untuk menjalankan program liberalisasi ekonomi sangat terang benderang. Indonesia terseret arus kapitalisasi dan sulit untuk keluar selama penguasa negeri ini kekeh dengan penerapan sistem kapitalisme sekuler, karena sistem inilah penguasa negeri ini mendapatkan keuntungan untuk terus memperkokohan sistem oligarki.
Indonesia butuh solusi yang bukan alakadarnya dan parsial namun solusi yang menyeluruh. Butuh visi yang jelas dalam membangun negeri ini dan visi tersebut harus dikembalikan oleh Sang Pencipta yang tahu betul manusia. Islam meletakan pendidikan sebagai ilmu yang agung bukan sekedar mencari materi belaka. Maka solusi dari pendidikan bukan mengkawinkan dengan industri, namun pendidikan di dalam Islam adalah hak seluruh masyarakat tanpa memandang kaya maupun miskin. Seluruh lapisan masyarakat berhak mendapatkan pendidikan dari SD hingga PT dengan gratis, memberikan fasilitas pendidikan yang berkualitas dan lengkap, memberikan gaji guru yang tinggi sehingga baik murid maupun guru fokus untuk menyerap ilmu, mengembangkan ilmu sehingga lahir inovasi-inovasi baru yang bermanfaat bagi masyarakat.
Selain itu di dalam Islam negara wajib memberikan peluang kerja maupun modal berbisnis sehingga jelas TKA tak bisa dengan mudahnya masuk dan mengambil hak anak bangsa, selain itu negara wajib memberikan pasar untuk memasarkan produk inovasi sehingga negara tidak seenaknya melakukan impor inovasi terutama yang berhubungan dengan inovasi persenjataan. Sehingga bukan hanya khayalan Indonesia akan melahirkan seorang ilmuan seperti Ibnu Sina, Al khawarizmi, Ibnu Khaldum dan sederet ilmuan muslim lainnya.
Dengan pengaturan tersebut Indonesia akan menjadi negara yang mandiri, inovasi dan kuat. Namun harus diingat bahwa penerapan Islam di dunia pendidikan harus diback up dengan penerapan aturan Islam lainnya seperti penerapan ekonomi Islam sehingga kekayaan di dalam negeri tidak masuk ke kantong-kantong kapital namun kekayaan negara ini untuk memenuhi seluruh kebutuhan dalam negeri salah satunya pendidikan, selain itu penerapan politik Islam juga sangat penting supaya tak mudah tergiur oleh perjanjian Internasional yang menyerat kelubang kapitalisme sekuler sehingga tidak akan tercipta RUU Omnibus Law dan sejenisnya. Hal tersebut bisa diterapkan ketika Indonesia menerapkan syariat Islam sebagai aturan hidup bukan sekedar di dalam masjid.[]