By Ummu Ibrahim
Penerimaan Peserta didik Baru (PPDB) DKI Jakarta tahun ini mengalami polemik. Hal ini dikarenakan usia menjadi syarat utama masuk di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri. Tepatnya pada jalur afirmasi dan zonasi yang dianggap memprioritaskan anak berusia tua.
Hal tersebut berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Nomor 501 Tahun 2020 tentang Penetapan Zonasi Sekolah untuk Penerimaan Peserta Didik Baru Tahun Pelajaran 2020/2021 yang menyebutkan bahwa jika jumlah pendaftar melebihi daya tampung maka dilakukan seleksi berdasarkan usia, urutan pilihan sekolah, dan waktu mendaftar.
Ratusan orang tua atau wali murid pun menggelar aksi demo. Mereka yang tergabung dalam Forum Relawan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta 2020 menolak implementasi sistem zonasi dalam PPDB DKI Jakarta 2020. Rudi S. Sebagai Koordinator Lapangan aksi demo menilai PPDB DKI Jakarta, terutama sistem zonasi diskriminatif terhadap siswa yang berumur muda. “Kalau ternyata usia menjadi parameter penerimaan siswa-siswi di DKI Jakarta buat apa kita belajar giat,” kata dia dalam orasinya di hadapan peserta aksi yang didominasi ibu-ibu tersebut, (cnnIndonesia, 03/7/2020).
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait meminta Mendikbud Nadiem Makarim meninjau kembali pelaksanaan PPDB DKI 2020. Ia juga meminta PPDB ini untuk dibatalkan, ditinjau kembali dan diulang kembali, karena ini hak anak atas pendidikan (detiknews, 29/06/2020).
Kisruhnya PPDB DKI Jakarta tahun ini merupakan potret nyata gagalnya negara dalam menjamin pendidikan. Adanya diskrimasi terhadap calon peserta didik memperlihatkan negara pilah pilih dalam memenuhi pendidikan rakyat sebagai hak mereka. Padahal jelas di dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dikatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
Hal tersebut disebabkan basic pendidikan yang digunakan masih berpondasi pada aturan sekuler yang berdampak pada standart penerimaan siswa baru. Pendidikan diorientasikan pada kebutuhan pasar, maka hasilnyapun tidak mencerdaskan tapi justru mengekploitasi intelektual.
Sistem pendidikan sekuler juga menjadikan peran negara menjadi parsial. Kekurangan pelayanan pedidikan akan dambil alih oleh swasta. Sehingga tak heran untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas, masyarakat harus menghabiskan biaya yang mahal.
Berbeda halnya dengan Pendidikan dalam sistem Islam. Dalam sistem Islam yang dikenal dengan khilafah, negara menjamin penuh pendidikan bagi warga negaranya. Bahkan pendidikan bisa diberikan secara gratis. Semua warga negara diberikan kemudahan dan hak yang sama dalam memperoleh pendidikan di sekitar lingkungannya.
Berdasarkan Sirah Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam dan tarikh Daulah Khilafah Islam (Al-Baghdadi, 1996), negara memberikan jaminan pendidikan secara gratis dan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk melanjutkan pendidikan ke tahapan yang lebih tinggi dengan fasilitas (sarana dan prasarana) yang disediakan negara. Kesejahteraan dan gaji para pendidik juga sangat diperhatikan dan merupakan beban negara yang diambil dari kas baitul mal.
Islam melahirlah para saintis, ulama, filosof dan sastrawan yang terkenal, seperti al-Khawarizm ahli astronomi, matematika, penemu aljabar), Ibnu Sina yang di barat dikenal dengan nama Avicenna (filosof dan ahli kedokteran), dialah orang bukunya al-Qanun fi-th-Thibbi (buku pedoman kedokteran) merupakan buku yang terluas dipergunakan oleh kalangan kedokteran baik di daerah Islam, maupun di Eropa dan masih banyak ilmuwan lainnya.
Maka, dengan begitu gemilangnya peradaban Islam menorehkan kualtias pendidikan. Masalah pendaftaran hanyalah secuil dari polemik yang dipastikan tidak akan menggelisahkan hati rakyat. Karena mereka telah hidup di dalam sebuah sistem yang menjamin kehidupan dunia dan akhiratnya. Sehingga sudah saatnya negara beralih pada sistem pendidikan Islam.[]