Husnul Aini
Ada sesuatu yang cukup menarik dari pidato Presiden beberapa waktu yang lalu, sebagai yang diungkapkan oleh media tempo.com. Begini kutipannya : "Jika Allah benar-benar menghendaki dan jika kita bisa menerimanya dengan ikhlas dan dalam takwa dan tawakal, sesungguhnya hal tersebut akan membuat berkah, membuahkan hikmah, membuahkan rezeki, dan juga hidayah," kata Jokowi.
Jokowi juga berharap hari kemenangan bagi umat muslim ini bisa dijadikan momentum bagi bersatunya bangsa.
"Semoga Allah SWT meridai ikhtiar kita bersama, untuk mencegah penyebaran pandemi Covid-19 dan memberi kekuatan pada kita untuk menjadi pemenangnya. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 syawal 1441 hijriyah, mohon maaf lahir dan batin," ujar dia. (https://nasional.tempo.co/read/1345713/jokowi-semoga-allah-meridai-ikhtiar-pencegahan-covid-19)
"Kalau beriman dan bertakwa pasti Allah turunkan kesuburan, kemakmuran, keamanan, keselamatan dan dihilangkan berbagai kesulitan. Itu adalah janji Allah di dalam Al-Quran," kata Ma'ruf. (https://nasional.tempo.co/read/1345723/maruf-amin-mari-bersabar-di-tengah-pandemi-covid-19/full?view=ok)
Dua ungkapan diatas adalah pesan kesabaran dan ketakwaan yang disampaikan orang paling penting di negeri ini. Suatu ungkapan yang memang seharusnya diungkapkan sebagai penenang hati agar rakyat selalu bersabar dan ikhlas dengan qadla berupa wabah yang Allah timpakan tidak hanya bagi rakyat Indonesia tapi juga bagi rakyat di dunia ini.
Takwa pun menjadi keharusan bagi setiap muslim tak kenal masa, apakah sedang Allah uji dengan wabah ataukah tidak.
Ada sedikit yang menggelitik dalam relung hati, saat ajakan takwa dilontarkan, maka mari kita mengaca sejauh ini ketaataan kita sudah totalitas ataukah masih memilah-milah, sesuai dengan yang diinginkan oleh diri, yang ringan jalankan, yang berat nanti saja.
Masih jelas dalam ingatan kita ketika diawal pandemi menimpa negeri ini, berganti-ganti kebijakan disuarakan penguasa negeri, mulai dari karantina wilayah, lockdown, darurat sipil, dan PSBB, istilah yang berganti-ganti membuat rakyat bingung hingga akhirnya tak menghiraukan setiap kebijkan yang dikeluarkan.
Ditambah dengan tidak berbanding lurusnya kebijakan dengan jaminan yang diberikan pun membuat rakyat merasa dibiarkan mengatur hidupnya sendiri, jika kalian kuat kalian akan selamat, jika kalian lemah tunggulah ajal itu, seolah-seolah demikian yang diinginkan jika melihat tidak merata dan tidak adilnya bantuan bagi rakyat terdampak covid-19.
Pembatasan Sosial Beskala Besar yang diberlakukan pemerintah dengan membatasi orang luar masuk ke wilayah zona merah termasuk juga membatasi masyarakat zona merah keluar dari wilayahnya, merupakan solusi yang diambil oleh pemerintah untuk menekan angka penyebaran virus, sayang seakan-akan kebijakan ini tak ada gunanya. Saat jelang idul Fitri, tidak sedikit masyarakat yang bejubel memenuhi tempat-tempat perbelanjaan tanpa memperhatikan protokol kesehatan menggunakan masker dan menjaga jarak minimal 1 meter. Akhirnya lonjakan angka positif hingga sembilan ratusan kasus terjadi dalam sehari.
Penutupan penerbangan nasional pun tak didukung dengan inkonsistennya pemerintah dengan membuka jalur penerbangan internasional khususnya dari negara asal virus tersebut. Para TKA China pun berdatangan ke Indonesia di tengah pandemi dan dibiarkan saja bahkan dipersilahkan dengan alasan untuk mendongkrak perekonomian Indonesia.
Sungguh jauh, berbanding terbalik dengan apa yang dicontohkan Rasulullah dan pemimpin setelahnya dalam menghadapi wabah.
Dalam sejarah, wabah penyakit menular pernah terjadi di masa Rasulullah, wabah kusta yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Maka yang dilakukan Rasulullah adalah mengarantina para penderita, meminta kepada yang lain untuk tidak mendekati para penderita kusta.
Metode karantina ini sudah diterapkan sejak masa Rasulullah untuk mencegah wabah penyakit menular ke wilayah yang lainnya. Bahkan Rasul sampai membangun tembok di sekitar daerah yang terkena wabah.
Pemenuhan kebutuhan rakyat pun dilakukan oleh Khalifah Umar pada saat terjadinya wabah dengan meminta bantuan wilayah lain yang dipandang memiliki sumber pendapatan melimpah. Saat pandemi seharusnya pemerintah bukan memikirkan bagaimana mendapatkan keuntungan, namun bagaimana agar nyawa rakyatnya bisa diselamatkan.
Takwa adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Maka sudah seharusnya kita sebagai hamba-Nya senantiasa menjadi hamba yang taat sebagai bentuk syukur kita atas berbagai nikmat yang Allah beri. Taat tidak hanya oleh individu-individu saja namun ketaatan pun harus dilakukan oleh masyarakat maupun negara.
Maka jika kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh para pembuat kebijakan hanya memihak kepada sebagian kelompok tertentu dan dzolim pada yang lain, apakah ini dikatakan menjalankan ketaatan?. Karena sejatinya pemimpin itu adalah pengurus rakyatnya yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah kelak. Sungguh amanah yang berat yang sulit dilaksanakan dengan ketaatan dalam sistem kapitalis sekuler yang selalu berpihak pada pemilik modal dan menafikan peran Sang Maha Pengatur dalam urusan-urusan duniawi.
Karena itu tidak ada cara lain untuk terbebas dari wabah ini selain dengan taubat Nasional atas berbagai kemaksyiatan yang kita lakukan dan bersegera kembali melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Dan tentunya ketaatan totalitas hanya bisa diterapkan dalam wadah sebuah sistem, sistem Islam yang berasal dari pencipta manusia dan alam semesta ini, Allah SWT.[]