Oleh: Desi Wulan Sari
(Member of Revowriter)
Kekecewaan yang dirasakan para calon jamaah haji Indonesia yang rencananya akan memberangkatkan mereka di tahun 2020, harapannya harus pupus di tahun ini. Padahal mereka sudah bersusah payah melunasi biaya haji mereka saat itu.
Dilansir oleh media internasional bahwasanya pemerintah Arab Saudi mulai melakukan persiapan untuk penyelenggaraan ibadah haji 2020. Persiapan sudah terpantau sejak Sabtu (17/5) lalu. Fachrul mengatakan, dari pantauan pihaknya terlihat sudah ada pendirian tenda-tenda untuk jemaah haji di Arafah. Saudi sendiri telah membuka sejumlah masjid untuk pelaksanaan ibadah. Protokol ketat diterapkan untuk mencegah penularan Corona yang berawal dari kegiatan ibadah bersama di dalam masjid (cnnindonesia, 2/6/2020).
Justru Indonesia sudah mengeluarkan pernyataan resmi melalui kemenag, memutuskan tidak akan memberangkatkan jamaah haji untuk tahun 2020. Alasannya, otoritas Arab Saudi hingga saat ini tak kunjung membuka ibadah haji dari negara manapun akibat pandemi COVID-19. Kemenag pun tak punya waktu lagi untuk mempersiapkan penyelenggaraan haji. Dan terkait biaya haji yang telah disetorkan jamaah akan disimpan.
Akan tetapi jika tahun depan ada kenaikan biaya haji, maka jamaah yang gagal berangkat harus membayar selisihnya. Sebaliknya, jika ada penurunan maka jamaah akan mendapatkan pengembalian sebesar selisihnya (Tirto.id, 2/6/2020).
Mungkin bisa dipahami jika penundaan ini berkaitan dengan kondisi wabah Corona yang tengah melanda dunia, hanya saja masyarakat mengharapkan dana yang sudah masuk dapat tersimpan dengan aman dan terjamin oleh pemerintah. Alangkah disayangkan jika dana haji yang telah tersedia sekitar USD 600 juta akan digunakan pemerintah justru untuk memperkuat rupiah (vivanews.com, 2/6/2020). Dalam arti pemanfaatan lebih kepada penguatan sektor ekonomi. Tidakkah cukup dari dana -dana yang sudah ada bagi kepentingan penguatan rupiah. Dimana masalah ini semestinya menjadi tanggung jawab negara dalam pengelolaan secara bijak. Janganlah lagi dana haji yang sudah ada harus juga ditambahkan ke sektor tersebut.
Ditambah lagi tak adanya jamninan dari pemerintah atas penundaan keberangkatan haji tersebut mengharuskan jamaah membayar kembali selisih kekurangannya jika ada kenaikan biaya haji di tahun berikutnya.
Alangkah bijaknya jika dana yang diamanahkan rakyat kepada pemerintah, diberikan jaminan keamanan dan kenyamanan atas dana haji yang disetorkan para calon jamaah. Tidak ada lagi kekhawatiran untuk mencari biaya tambahan atau biaya apapun yang dibebankan oleh calon jamaah karena penundaan ini. Semestinya alokasi dana haji didistribusikan sesuai dengan yang diprioritaskan.
Itulah fakta yang dihadapi negeri ini, sistem demokrasi telah memperlihatkan boroknya sendiri. Kapitalisme telah meracuni pemikiran manusia dengan lebih mengagungkan materi sebagai tujuan hidup seseorang dalam pencapaian keberhasilan. Buktinya dana haji pun telah ikut menjadi korban keserakahan kapitalis yang senantiasa berhitung jumlah untung dan rugi di setiap kesempatan.
Melihat situasi tersebut, banyak pertanyaan dari masyarakat, DPR, tokoh, dan ormas yang bermunculan. Mengapa harus terburu-buru dengan pembatalan haji? Apakah akan berdampak pada daftar tunggu antrian yang semakin panjang? Bagaimana dengam perubahan kuota nanti? Rasa penasaran terhadap arah pemerintah terkait kebijakan ini menjadi tanda tanya besar bagi rakyat. Mungkinkah karena pemerintah tidak mau repot-repot dengan konsekuensi menyelenggarakan atau melayani jamaah di era pandemi? Bisa jadi dengan protokol yang lebih berat atau justru ingin mengambil kesempatan dari dana masyarakat yang tertahan karena tidak jadi diberangkatkan? Justru disinilah kredibilitas seorang pemimpin dipertanyakan rakyatnya dalam mengambil solusi bagi permasalahan krusial yang berkaitan dengan orang banyak.
Pandangam Islam menghadapi masalah penundaan keberangkatan haji yang pernah terjadi pada masa Daulah Islam, menjadi catatan penting. Sepanjang 14 abad sejarah peradaban Islam, sudah 40 kali haji ditunda karena alasan wabah, pemberontakan, perang, hingga konflik politik.
Namun, dengan virus korona tipe baru saat ini, penyelenggaraan ibadah haji dalam situasi normal melibatkan kumpulan massa dalam jumlah sangat besar dari berbagai penjuru dunia menjadi sulit untuk dilaksanakan.
Catatan ini diuraikan oleh Yayasan Raja Abdulaziz untuk Riset dan Arsip (King Abdulaziz Foundation for Research and Archives). Para ahli sejarah Islam yang dikutip lembaga tersebut menyebutkan bahwa alasan penundaan pelaksanaan ibadah haji bermacam-macam, di antaranya, yaitu mulai dari karena penyebaran penyakit dan wabah, krisis politik dan tiadanya jaminan keamanan, hingga krisis ekonomi.
Dalam kitab Al-Bidayah wan-Nihayah karangan Ibnu Katsir yang dikutip dalam laporan Darah, gangguan dalam penyelenggaraan ibadah haji kembali terjadi pada 968 M. Disebutkan, penundaan itu terjadi akibat penyebaran wabah di Mekkah. Banyak anggota jamaah haji meninggal terkena wabah.
Maka melihat kondisi diatas, inilah dua hal yang menjadi benang merah permasalahan yang harus dijadikan point penting, yang semestinya menjadi tanggung jawab penuh negara kepada rakyatnya, yaitu:
Pertama, adanya uzur syar'i yang mengharuskan ditunda atau ditiadakannya keberlangsungan ibadah haji karena alasan-alasan yang diterima oleh syariat, sehingga bisa diterima oleh umat.
Kedua, Adanya keresahan dari para calon jamaah haji ketika terjadi penundaan keberangkatan. Tidak adanya jaminan keamanan uang yang telah disetorkan untuk berangkat haji. Dan perkiraan tambaham biaya keberangkatan jika terjadi kenaikan.
Sejatinya Islam tidak pernah menyulitkan umatnya, selalu ada aturan dalam syariat yang menjadi problem solving permasalahan yang dihadapi, begitupun dengan masalah penundaan haji di masa pandemi.
Semoga kehadiran penguasa yang mampu menjalankan amanah dengan syariat Islam, akan memberikan solusi menyeluruh setiap problematika umat hingga negara. Itulah sistem Islam yang membawa keberkahan bagi semesta alam. Wallahu a'lam bishawab.[]