UU Corona Jebakan untuk Indonesia?


Oleh: Rina Yulistina

Tak perlu menunggu lama Perppu nomer 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi covid-19 telah disahkan oleh DPR menjadi UU. Di dalamnya adanya penambahan anggaran hingga total Rp 405,1 triliun.

Pengesahan ini menuai kritik karena terdapat pasal yang bermasalah yaitu pasal 27 Perppu 1/2020, penegakan hak akan dilemahkan, ayat 2 dan 3 memberikan 'imunitas sempurna' untuk penjabat-penjabat yang oleh Perppu ini diberikan kewenangan melakukan tindakan atas keputusan. Sebenarnya jauh sebelum pengesahan pihak MAKI (Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia) telah menggunggat di MK ketika masih berbentuk Perppu, setelah berubah menjadi UU pihak MAKI tak gentar tetap kekeh melaju ke MK dengan permohonan pembatalan pasal 27.

Pasal 27 dinilai oleh para ahli sebagai pemberian legitimasi 'Imunitas absolut penguasa' dengan kata lain aparat pemerintah yang menggunakan uang negara terkaid covid-19 tidak bisa digugat secara pidana, perdata maupun di PTUN. Dana sebesar Rp 405.1 triliun yang berasal dari APBN bisa disalah gunakan oleh aparat pemerintah seperti diselewengkan, salah perencanaan, fiktif, dan semua itu tetap dianggab biaya dan kerugiannya tidak ditanggung oleh negara. Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat.

Namun penolakan pasal 27 oleh MAKI dibantah oleh staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo yang dilansir di laman antaranews.com, Ia mengatakan bahwa "Seluruh belanja dalam skema Perppu ini akan masuk dalam APBN. Jadi tidak boleh liar seperti dulu Bank Indonesia bisa menerbitkan BLBI sehingga tidak dipertanggungjawabkan dalam APBN." lanjutnya "Nah ini semua (pengeluaran) di APBN sehingga diaudit oleh BPK, dipertanggungjawabkan oleh DPR melalui LKPP dan menjadi objek pengawasan KPK atau alat penegak hukum lain."

Pada dasarnya rakyat tak mudah percaya begitu saja dengan lembaga negara, telah banyak bukti bahwa kasus korupsi begitu menggurita di Indonesia, contoh kecilnya kasus Harun Masiku yang tak tau ujung rimbanya dan apakah kedepannya pemerintah ingin mencetak kembaran Harun masiku?

Sedangkan Juru bicara KPK, Ali Fikri, memaknai pasal 27 tidak membuat penyelenggara negara menjadi kebal hukum. (antaranews.com). Pernyataan dari KPK ini membuka mata masyarakat bahwa lembaga sekelas KPK tak lagi kritis oleh setiap pasal di dalam UU Covid-19 ini, pelemahan KPK menjadi salah satu bukti mandulnya lembaga independent ini.  Dan pada akhirnya KPK se iya se kata dengan rezim. Seolah-olah lupa bagaimana kerasnya perjuangan para mahasiswa dan anak-anak STM menolak pelemahan KPK.

/Indonesia dalam Cengkraman Oligarki/

Bukan hanya KPK saja yang dipertanyakan rakyat, DPR tak luput dari keheranan rakyat. Begitu mudahnya DPR mengesahkan Perppu corona menjadi UU hanya pihak fraksi PKS saja yang menolak. Rakyat pun akhirnya bertanya kemana sikap kritis para wakil rakyat? Jika seandainya masyarakat diberi kesempatan untuk menanggapi isi Perppu nomer 1 tahun 2020 ini sudah barang tentu sangat banyak rakyat yang menolak untuk disahkannya UU, lantas para anggota DPR mewakili suara siapa?

Menurut Guru Besar Universitas Jenderal Soederman sekaligus pakar hukum tata negara Prof M Fauzan, seperti dilansir dilaman detik.com menyatakan bahwa sedikitnya ada 3 alasan mengapa DPR tidak melakukan perdebatan serius. Pertama, kuatnya solidaritas antara eksekutif dan kekuatan politik yang ada di DPR, tanpa reserve apapun kehendak presiden disetujui.

Kedua, materi muatan Perppu memang sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. "Namun yang menjadi pertanyaan apakah cukup waktu DPR untuk merekam dan mengetahui secara pasti denyut dan keinginan masyarakat dalam waktu yang relatif cepat?" papar Prof Fauzan. Dan yang ketiga, kemungkinan adanya sikap masa bodoh yang penting disetujui saja.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa fungsi DPR yang seharusnya sebagai kontrol dan pengawas telah ambyar. DPR menjadi alat legitimasi kalangan elit untuk mewujudkan keinginannya, jadi sangat wajar jika dimasa pandemi begitu banyak RUU yang disahkan menjadi UU dan ini dikatakan oleh Luhut sebagai reformasi di era wabah.

Para elit berperilaku seperti ini bukan tanpa landasan, karena setiap perilaku berasal dari sebuah pemikiran yang melandasinya. Ketika pemikiran para elit menganggab bahwa jabatan bukan sebuah amanah namun sebuah ajang untuk meningkatkan harta pribadi supaya balik modal ketika berkampanye yang menghabisakan triliunan rupiah. Menjadi sesuatu yang lazim disistem demokrasi terjadi perkawinan antaran para elit dengan para pemilik modal. Dan inilah yang terjadi di Indonesia, cengkraman oligarki mengakar.

/Indonesia Butuh Sistem Islam/

Rakyat telah jenuh dengan manuver politik yang ada saat ini, pemerintah sangat terlihat gagab dan buta menangani virus ini. Penambahan dana Rp 405,1 triliun untuk apa jika pelonggaran PSBB dilakukan? Sangat terlihat bahwa penambahan dana itu hanya untuk 'bancakan' para elit politik. Sedangkan rakyat dan para tenaga medis dibiarkan bertarung ditengah rimba melawan virus. Kurva landai covid merupakan omong kosong demi ambisi pemerintah lepas tanggungjawab, pemerintah dengan sangat rela mengorbankan nyawa rakyat supaya ekonomi berjalan.

Semakin Indonesia menerapkan sistem demokrasi kapitalis semakin rusak negeri ini. Indonesia butuh sistem yang membuat negeri ini dipenuhi keberkahan, sistem yang memanusiakan manusia bukan sistem yang membuat manusia menjadi buas. Sistem itu adalah sistem Islam, di dalam Islam hukum tertinggi bukan berasal dari manusia yang lemah terbatas namun dari Sang Pencipta yaitu Alqur'an dan As sunah sehingga seorang pemimpin yaitu khalifah terikat dengan hukum syara' dalam membuat perundang-undangan. UU yang dihasilkan bukan berasal dari hawa nafsu dan dari voting namun berasal dari hasil ijtihad.

Di dalam islam terdapat majelis umat yang fungsinya berbeda dengan DPR, majelis umat tidak memiliki wewenang hak untuk mengesahkan UU. Majelis umat berfungsi sebagai pengontrol kebijakan penguasa, dan menampung aspirasi masyarakat. Suara rakyat bukan suara Tuhan sehingga kedaulatan bukan ditangan rakyat namun kedaulatan ada ditangan syara'. Suara rakyat adalah suara yang harus didengarkan oleh majelis ummat dan khalifah.

Sistem Islam seperti ini hanya bisa diterapkan di sistem khilafah bukan di sistem lainnya.[]

*

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama