Maraknya Kriminalitas, Efek Simalakama Pembebasan Narapidana



Oleh:Tri S, S.Si

Masalah demi masalah terus terjadi di tengah pandemi, sejumlah kejahatan menonjol terjadi saat pandemi covid-19. Kebutuhan tinggi jelang Ramadan ditengarai turut mempengaruhi. Belum lagi pembebasan ribuan narapidana dengan dalih mengurangi risiko penyebaran di dalam sel bui (CNN Indonesia, 25/04/2020).
Sejumlah kasus perampokan jadi yang paling menyita perhatian. Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusri Yunus mengatakan pelaku menargetkan minimarket atau toko yang menjual kebutuhan sehari-hari. Sementara itu Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Asep Adi Saputra mengatakan peningkatan angka kejahatan selama masa pandemi corona sekitar 11,8 persen. Peningkatan terbanyak saat ini adalah pencurian dengan pemberatan (curat).

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Reza Indragiri mengatakan keterbatasan gerak selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat masyarakat banyak yang tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Rasa frustasi itulah yang menurut Reza bisa memicu seseorang untuk melakukan tindak kekerasan dan kejahatan.

"Teori klasik, Teori Frustrasi Agresi. Orang yang frustrasi bisa melakukan kompensasi dengan jalan agresi, kekerasan, dan kejahatan," katanya lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Kamis (ApalagiApalagi masa pandemi dan PSBB diterapkan jelang Ramadan di mana kebutuhan masyarakat makin meningkat.
Reza mengatakan di sejumlah negara barat, hasil riset menunjukkan bahwa tingkat kejahatan selalu naik setiap hari Natal, utamanya kejahatan properti. Kejahatan properti adalah kejahatan yang termasuk di dalamnya pencurian, perampokan, pencurian kendaraan bermotor, kejahatan dengan pembakaran atau pencurian barang di toko swalayan.

Reza juga menyoroti pembebasan napi lewat program asimilasi dan integrasi untuk mencegah penyebaran Covid-19. Menurutnya pembebasan napi boleh jadi tepat sebab penerapan protokol pencegahan corona di lapas, seperti phisycal distancing susah untuk diterapkan. Namun demikian, Reza mengatakan pembebasan para napi justru bisa meningkatkan risiko lain di masyarakat yakni kejahatan. Para napi itu berpotensi untuk mengulangi perbuatan kriminal.
Pemerintah juga yang akan dirugikan karena sudah mengeluarkan biaya untuk membina para napi tersebut, namun ternyata terkesan sia-sia. Reza mengkritik sejumlah pihak yang menyatakan angka residivisme relatif rendah dibanding jumlah keseluruhan napi yang dibebaskan.

Ia mengutip hasil riset Department of Justice Amerika Serikat yang dirilis pada 2018. Hasilnya, 412.731 napi yang bebas di 30 negara bagian pada tahun 2005, hampir 45 persen di antaranya kembali diamankan pihak penegak hukum dalam kurun 1 tahun sejak keluar dari gerbang lapas.
Sementara itu pengamat sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan corona memang berimbas pada semua aspek kehidupan masyarakat. Dari mulai pengangguran, peningkatan angka kemiskinan, hingga kejahatan.

Ubedilah juga menyoroti pembebasan napi saat pandemi corona. Menurutnya, sekitar 15 atau 20 persen napi yang dibebaskan memiliki kecenderungan untuk kembali berbuat jahat. Ubedilah mengatakan, imbas pandemi corona bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di sejumlah negara lain seperti Filipina, India, bahkan di Amerika. Bukan cuma kejahatan, corona juga bisa berpotensi menimbulkan kerusuhan.

Karena itu ia mengingatkan pemerintah agar tak hanya bekerja keras, namun juga harus cerdas mengatasi hal ini. Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk meredam imbas sosial ekonomi wabah corona. Pembagian paket bahan kebutuhan pokok adalah salah satunya. Bantuan paket sembako bukan hanya datang dari pemerintah daerah juga dari pemerintah pusat. Bantuan ini dikhususkan bagi warga miskin yang terdampak corona.

Begitu juga yang terjadi di Blitar, Kapolres Blitar Kota mengatakan angka kasus kriminalitas di wilayah hukum Polres Blitar Kota meningkat di tengah-tengah pandemi virus Corona atau Covid-19. Dalam 3 minggu ini, sudah ada 19 kasus kriminalitas yang ditangani Polres Blitar Kota. Padahal dalam sebulan, jumlah kasus yang ditangani Polres Blitar Kota tidak sampai 20 kasus (Mayangkaranews.com, 25/04/2020).
Dengan banyaknya kasus kriminalitas yang terjadi ini, polisi juga mengantisipasi dampak adanya pembebasan narapidana atau napi secara bersyarat akibat pandemi Covid-19 ini. Menurutnya, ada kemungkinkan para napi yang dibebaskan secara bersyarat mengulangi perbuatannya lagi. Ia juga menekankan ke masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 tidak berpikiran yang justru melanggar hukum. Misal melakukan pencurian atau penipuan.

Kebutuhan bertahan hidup mendesak sebagian orang untuk nekat berbuat apa saja demi menyambung nafas. Ini dikarenakan minimnya kendali keimanan serta kepedulian terhadap kondisi riil masyarakat yang benar-benar membutuhkan, kriminalitas naik juga bisa dikarenakan efek simalakama pembebasan bersyarat narapidana.

Salah kaprah pemerintah dalam mengambil kebijakan bebaskan para napi, karena bukan mencegah penyebaran Covid-19 di dalam lapas tapi justru yang mengancam keamanan di tengah masyarakat.

Apakah ini yang disebut kebijakan yang manusiawi? Tidakkah keamanan masyarakat menjadi bagian yang dipertimbangkan oleh pemerintah? Sebenarnya dari mana ide membebaskan para napi ini muncul?

Lagi-lagi, setiap kebijakan di negeri ini memang tak bisa lepas dari pesanan sang ‘tuan’. Yasonna mengakui bahwa munculnya ide pembebasan napi didapatkan dari pesan Komisi Tinggi untuk HAM PBB, Michelle Bachelett, Sub Komite Pencegahan Penyiksaan PBB yang merekomendasikan agar Indonesia membebaskan sejumlah napi yang tinggal di lapas dengan kapasitas terlalu banyak.
Hal ini yang dikhawatirkan, karena kondisi ekonomi yang sulit di tengah wabah corona, membuat sejumlah napi kembali nekat berulah. Kemudian masyarakat yang menjadi korban.

Ini menjadi bukti kegagalan Kemenkumham, khususnya Ditjen PAS serta lapas dalam mengawasi para napi yang dibebaskan. Ditambah lagi gagalnya sistem pemidanaan Indonesia, padahal pemidanaan dalam rangka membuat efek jera, ada sesuatu yang perlu dievaluasi.
Hal yang tidak mungkin dengan kondisi 30 ribu lebih napi yang dibebaskan lapas mampu diawasi, sudah terbukti sekali lagi ini kegagalan pemerintah. Kemenkumham harus bertanggung jawab. Tanggung jawab itu bisa dilakukan dengan menghentikan sementara program pembebasan napi, serta mengevaluasi sistem kontrol para napi yang seharusnya menjalani asimilasi di rumah.

Bahkan sebelum pandemi corona terjadi di negeri ini. Kondisi lapas sering terjadi kerusuhan karena bentrok antar para napi. Hal itu disebabkan tingkat kesenjangan sosial begitu tinggi. Jurang sosial antara yang kaya dengan yang miskin makin melebar dari hari ke hari. Kecemburaan sosial menjadi ancaman serius bagi keamanan di lapas.

Lantas, bagaimana mungkin pemerintah bisa memberikan rasa aman di tengah rakyat? Rasa aman di dalam lapas bagi para napi saja tidak terjamin. Bahkan pengamat masalah ketatanegaraan, Irman Putra Sidin berpendapat semakin negara membangun banyak lapas, membuktikan negara gagal melakukan pembinaan terhadap masyarakat. Semakin banyak orang yang dijebloskan ke penjara, secara perlahan membuat seseorang membenci negara.
Wajarlah, jika para napi yang bebas karena program asimilasi tak menghiraukan ancaman yang diberikan pada mereka jika berbuat kejahatan lagi. Karena dalam lapas mereka tidak mendapatkan pembinaan yang manusiawi yang seharusnya didapatkan. Air, listrik, bahkan kamar yang mereka tempati disesuaikan dengan uang yang mereka keluarkan selama masa tahanan.

Publik semakin jelas melihat bobroknya sistem kapitalis yang dianut negeri ini. Yaitu ketidakmampuan negara mengurusi rakyat serta menjamin rasa aman dalam setiap kondisi. Apalagi dalam kondisi di tengah wabah. Setelah rakyat diminta jaga diri sendiri dari penyebaran virus, kini juga menjaga diri sendiri dari tindakan kriminal ulah napi yang dibebaskan.

Realitas merajalelanya kriminalitas menunjukkan bahwa eksistensi hukum barat telah gagal memberikan kepastian hukum dan keadilan dalam masyarakat, dan telah gagal pula memanusiakan manusia. Aparat penegak hukum pun tidak sungguh-sungguh dan maksimal memberantas segala bentuk kejahatan. Walhasil, masyarakat bersikap apatis dengan pelaksanaan hukum di negeri ini.
Masyarakat menilai hukum yang ada tidak mampu menjadi terminal akhir untuk memperoleh keadilan dan rasa aman. Para napi pidana dibebaskan sementara para aktivis kritis kepada pemerintah ditangkap dan langsung dijadikan tersangka tanpa ada proses yang sesuai aturan. Bukankah hal itu membuat kita sangat prihatin?

Hal ini kontras tatkala hukum dipandu dengan syariat Islam. Dengan panduan syariat Islam, para pejabat pada masa Khilafah mempunyai sifat dan karakter baik. Di antaranya memberikan rasa aman kepada masyarakat. Ini merupakan salah satu tugas gubernur atau pejabat yang utama. Dalam merealisasikan hal ini, mereka harus melakukan beberapa hal. Salah satunya menerapkan hukum had atas orang-orang yang fasik dan berbuat zalim. Jika perbuatan mereka dibiarkan, maka akan membahayakan kehidupan manusia dan harta miliknya.

Dalam buku Sistem Sanksi dalam Islam dijelaskan bahwa penjara ialah tempat untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melakukan kejahatan. Penjara adalah tempat di mana orang menjalani hukuman yang dengan pemenjaraan itu seorang penjahat menjadi jera dan bisa mencegah orang lain melakukan kejahatan serupa.
Di dalamnya harus ada pembinaan kepada para napi agar mampu meningkatkan rasa takut kepada Allah dan memperkuat ketakwaan. Diberikan hak hidup sesuai syariat misalnya makanan yang layak, tempat tidur yang terpisah, serta kamar mandi yang tetap melindungi aurat dan menjaga pergaulan antarnapi.

Bahkan di masa Khalifah Harun al-Rasyid, para napi dibuatkan pakaian secara khusus. Jika musim panas tiba, dipakaikan pakaian yang terbuat dari katun, sedangkan pada musim dingin dibuatkan pakaian dari wol. Dan secara berkala, kesehatan para napi diperiksa. Hal-hal semacam ini diperbolehkan.

Jika kondisinya seperti di atas, barulah dapat disebut sebagai kebijakan yang manusiawi. Membina napi dengan sepenuh hati, setelah bebas dari penjara, ia kembali menjadi masyarakat yang dapat bermanfaat untuk agamanya dan sesama manusia. Takkan ada kejahatan yang terulang lagi.

Sementara negara – lewat pemimpinnya saat ini tak benar-benar memikirkan apa yang terbaik bagi rakyatnya. Mereka mengkhianavti amanah rakyat. Kekuasaan yang diberikan pada mereka bukan perkara main-main. Seharusnya mereka mengingat sabda Rasulullah saw,
“Bagi setiap pengkhianat ada bendera di hari kiamat, ia akan diangkat sesuai kadar pengkhianatannya. Ketahuilah tidak ada pengkhianat yang lebih besar pengkhianatannya dari pemimpin masyarakat umum.” (HR Muslim)
Jangan korbankan keamanan rakyat demi kepentingan tertentu. Rakyat terus menerus hidup dalam kesulitan, sudah hidup tak tenang karena penyebaran virus jangan ditambah lagi dengan kejahatan ulah napi yang dibebaskan.








*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم