Oleh: Anna Liesa
Di tengah wabah Covid-19, pemerintah mengucurkan berbagai stimulus untuk mengatasi dampak ekonomi yang ditimbulkannya. Salah satu stimulus itu adalah bantuan langsung tunai atau BLT.
Presiden Joko Widodo telah menyetujui penyaluran BLT Corona sebesar Rp 600 ribu per keluarga dan akan diberikan selama tiga bulan. Pemerintah mengalokasikan BLT ini bagi warga yang berada di luar Jabodetabek.
Setiap keluarga akan memperoleh bantuan sosial tunai sebesar Rp 600.000 per bulan selama tiga bulan atau total Rp 1,8 juta. Total anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk bantuan ini adalah sebesar Rp 16,2 triliun.
Jokowi menyebut bahwa bantuan sosial tunai ini akan diberikan kepada keluarga yang tidak mampu dan belum terdaftar sebagai penerima bantuan sosial lainnya seperti Program Keluarga Harapan maupun Kartu Sembako. Selain itu, pemerintah juga akan mengalihkan penggunaan dana desa sekitar Rp 21 triliun hingga Rp 24 triliun untuk bantuan sosial dana desa. Mengutip Kompas.com (8/4/2020), bantuan sosial tersebut akan disalurkan melalui skema bantuan langsung tunai atau BLT kepada masyarakat desa.
BLT, Bantuan Mengundang Polemik
Media ramai-ramai memberitakan proses distribusi BLT dilapangan yang memicu kericuhan. Protes berbagai pihak terhadap rumitnya masyarakat mengakses bantuan pemerintah dalam penanganan wabah bermunculan. Mulai dari data ganda, salah sasaran, banyak yang tidak valid identitas diri, tidak punya rekening bank padahal dana disalurkan nontunai adalah sebagai persoalan yang ditemui. Belum lagi bantuan tersebut dijadikan sarana kampanye untuk sebagian kepala daerah yang maju Pilkada 2020.
Protes dari pihak RT/RW hingga kepala desa juga terungkap di mana-mana. Dikutip dari tirto.id, sejumlah pemerintah desa menyampaikan keberatan ke Pemkab Sleman DIY terkait kesulitan menentukan kriteria penerima bantuan langsung tunai (BLT) Dana Desa untuk warga terdampak COVID-19. "Ada sejumlah desa yang merasa kesulitan menentukan warga penerima BLT dana desa jika mengacu 14 kriteria yang ditetapkan Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT)," kata Juru Bicara Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Kabupaten Sleman, Shavitri Nurmaladewi di Sleman. Betapa tidak, rakyat harus menempuh mekanisme berbelit yang diciptakan oleh sistem hari ini untuk mendapatkan haknya.
Bantuan semacam ini sungguh tidaklah adil dan manusiawi. Sebab bukan hanya rakyat miskin saja yang terdampak covid 19, hampir semua rakyat disegala lini merasakan dampaknya. Penerima bantuan dengan kategori teramat miskin jelas tidak manusiawi. Pemilihan calon penerima bantuan pun berpotensi tidak tepat sasaran sebab rawan manipulasi data. Sehingga ketidak merataan bantuan tersebut akan menimbulkan kecemburuan sosial diantara rakyat.
Dari sisi besaran dananya jelas tidak mampu memenuhi kebutuhan yang harus ditanggung masyarakat selama masa pembatasan fisik. Apalagi jumlah dan luasan penerima manfaat juga tidak menjangkau semua masyarakat miskin. Belum terhitung masyarakat kelas menengah yang usaha dan pekerjaannya terdampak langsung pandemic dan ‘turun kelas’ menjadi miskin.
Wajah asli kapitalisme
Carut marutnya penyaluran bantuan seperti ini adalah hal wajar dalam rezim kapitalis. Persoalan penyaluran mulai dari hal teknis, data dan mekanisme berbelit sudah menjadi rahasia umum dalam rezim kapitalis. Bahkan dilihat dari segi jumlah dan besaran dana yang ditetapkan seringkali mengusik rasa keadilan rakyat.
Inilah wajah asli rezim kapitalisme. Dalam kapitalisme masalah bansos dan kesejahteraan rakyat bukanlah menjadi prioritas utama pemerintah. Pemerintah lebih mementingkan sektor perbankan, pajak dan pariwisata sehingga besaran anggaran jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran bansos dan lainnya. Sebab dalam sistem kapitalisme ukuran kekuatan ekonomi negara ada pada ketiga hal tersebut.
Bantuan Langsung Tunai Dalam Islam
Islam menggariskan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah kewajiban pemerintah untuk menjaminnya. Dalam soal pangan, Jaminan Negara berupa pemastian bahwa setiap individu rakyat mampu memenuhi kebutuhan pangan tersebut secara layak.
Islam memandang bahwa Khalifah sebagai pemimpin kaum Muslim memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah Saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Makna raa‘in (penggembala/pemimpin) adalah “penjaga” dan “yang diberi amanah” atas bawahannya. Di saat krisis, ia yang pertama kali merasakan derita dibanding rakyatnya. Layaknya Umar yang memilih untuk tidak bergaya hidup mewah. Makanan ia seadanya. Bahkan kadarnya sama dengan rakyat yang paling miskin atau bahkan lebih rendah lagi.
Pada masa krisis ekonomi itu, Khalifah Umar ikut menderita hingga diceritakan warna kulitnya berubah. Diriwayatkan dari Iyadh bin Khalifah, ia berkata, “Saya melihat Umar pada tahun kelabu berkulit kelam. Ia tadinya adalah orang Arab yang selalu makan mentega dan susu. Saat rakyatnya tertimpa paceklik, Khalifah Umar mengharamkan keduanya. Ia pun makan dengan minyak hingga warna kulitnya berubah, lapar dan haus.” (Ath-Thabaqat, 3/314).
Pasukan militernya pun melaksanakan tugas dan menjaga keamanan atas dorongan iman. Memantau posko-posko dan mengantarkan makanan di saat krisis hingga sampai di tangan rakyat. Apabila terdapat kelalaian, maka ada peran qadhi yang bertugas untuk memberikan sanksi kepada mereka. Semua itu harus berjalan sesuai syariah Islam dan atas dorongan iman.
Mekanisme langsung juga diberikan melalui pemberian bantuan kepada kelompok masyarakat yang faktanya kesulitan mendapat bahan pangan karena tidak ada penghasilan atau tidak cukup dana (fakir miskin) atau juga harga sedang tidak stabilnya harga akibat pasokan kurang.
Dalam kondisi wabah di masa Khalifah Umar radhiyallahu anhu terdata 70.000 orang membutuhkan makanan dan 30 ribu warga sakit. Semua diperlakukan sebagai warga Negara yang berhak mendapatkan haknya dari Negara, tanpa direndahkan dan disengsarakan dengan mekanisme berbelit.
Khalifah terus mencari tahu apakah masih ada orang yang berhak yang tidak terdata atau bahkan mereka tidak mau menunjukkan kekurangannya. Karena, membiarkan ada yang miskin dan tidak mendapat bantuan karena mereka tidak mengajukan diri adalah juga bagian dari kelalaian pemerintah. Allah ta’ala berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
‘Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta-minta) karena ia memelihara dirinya dari perbuatan itu.’ (QS Adz Dzariyat:19)
Khalifah juga akan meminta bantuan kepada daerah yang tidak terkena wabah untuk mengirimkan bantuan ke daerah yang terkena wabah. Sebagaimana yang pernah dilakukan khalifah Umar bin Khathab yang meminta kepada Amru bin Ash Gubernur Mesir untuk mengirimkan bantuan makanan dimasa krisis saat itu.
Selain pemimpin sebagai penjaga, sistem pendidikan dan ekonomi Islam yang diterapkan akan melahirkan individu-individu yang bertakwa kepada Allah swt. Juga menciptakan suasana saling tolong menolong (ta’awun). Karena Islam tidak memandang untung dan rugi, melainkan halal dan haram. Para aghniya (kaum berkecukupan/kaya) dengan ringan hati membantu sesama. Mereka tidak takut akan kekurangan rezeki.
Inilah bantuan langsung tunai yang sesungguhnya, bantuan yang tidak memandang kaya miskin, bantuan yang merata sehingga semua rakyat mampu merasakannya. Semua itu bisa terwujud manakala Islam diterapkan secara kaffah sebagaimana pada masa Khalifah Umar bin Khathab. Hanya sistem Islamlah yang mampu melahirkan seorang pemimpin yang cerdas, tangkas, cepat dan tepat dalam mengambil kebijakan.
Kesempurnaan aturan Islam yang bersumber dari Alquran dan Sunah dalam mengatur politik dan ekonomi negara, membuat Khalifah tidak gamang dalam mengambil keputusan. Keunggulan sistem keuangan negara baitulmal tidak diragukan lagi dalam menyediakan pembiayaan negara. Begitu pula keunggulan sistem politik Khilafah. Dengan kewenangan penuh Khalifah kala mengambil keputusan, terbukti efektif dan efisien menyelesaikan persoalan di masyarakat. Terutama dalam situasi extraordinary (kejadian luar biasa).
Sangat jauh berbeda dengan sistem kapitalisme yang selalu saja berat sebelah dalam mengambil kebijakan dan selalu memihak kepada kepentingan-kepentingan para kapitalis seperti saat ini. Wallahu'alam bish shawwab. []