Oleh: Puji Ariyanti
(Ibu dan pemerhati generasi)
Radikalisme menjadi momok yang menakutkan bagi pemerintah, kemudian dijadikan narasi manis yang diperebutkan di lingkungan masyarakat yang kurang memahami agamanya secara mendalam.
Pemerintah melalui menteri agama yang baru dilantik Jenderal Fachrul Razi, bersama Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kummolo sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan. Merekalah kelima punggawa yang sinyalnya berfokus pada persoalan melawan radikalisme di Indonesia lima tahun kedepan.
Presiden Joko Widodo menunjuk mantan wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi masuk kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024. Jokowi meminta lulusan akademi militer 1970 tersebut mengurus pencegahan radikalisme dalam jabatan barunya.
Fachrul Razi, usai pelantikan kabinet Indonesia Maju mengatakan bahwa ia sedang menyusun upaya-upaya menangkal radikalisme di Indonesia. Ia mengakui Presiden memilihnya karena dianggap mempunyai terobosan menghadapi radikalisme. (tirto.id 25/10/2019)
Pemerintah dengan proyek deradikalisasinya berupaya mencabut pemahaman Islam untuk digiring dalam pemikiran yang lebih moderat. Ini adalah sebuah upaya deislamisasi. Jika benar tujuan pemerintah akan menyuburkan Islam yang moderat, justru akan menghilangkan pemahaman Islam secara mengakar. Tentu saja akan membahayakan pemerintahan itu sendiri. Karena di satu sisi Indonesia adalah penduduk muslim terbesar, tapi di satu sisi pemikiran mereka tergiring menjadi manusia-manusia yang kerdil iman dan takwa.
Salah satu amanat yang disampaikan Pak Presiden itu terkait dengan penanganan masalah radikalisme. "Saya kira ini sangat penting, karena apa? Kita ingin bahwa bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang rukun yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban, kesusilaan,” terang Zainut. (JawaPos.com 25/10/2019).
Tidak tepat jika memerangi radikalisme agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban manusia. Jika yang dimaksud memerangi radikalisme dengan mencabut nilai-nilai Islam, yang terjadi justru semakin menyuburkan liberalisme.
Ketika liberalisme semakin mengakar di Indonesia, akan merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena liberalisme jelas menolak aturan Allah swt. Liberalisme merupakan sebuah dimensi hilangnya kerukunan antar umat beragama, rusaknya paradaban manusia, hancurnya kesusilaan dan sebagainya.
Menebar narasi deradikalisasi bukan hanya membungkam sikap kritis, tapi juga menyerang ajaran Islam tentang wajibnya muhasabah/menasihati pemimpin. Muhasabah wajib dilakukan oleh rakyat jika penguasa melakukan kemungkaran.
Islam memerintahkan agar menasihati pemimpin yang berbuat zalim. Mengkritisi dan menyelisihi setiap kebijakan yang keliru adalah bentuk amar makruf nahi munkar yang diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menerima kritik dan nasihat secara terbuka dari rakyatnya, adalah sikap seorang pemimpin yang adil.
Sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab yang sangat terbuka menerima kritik dari siapapun:
Waktu itu seorang wanita dengan penuh keberanian melontarkan kritik kepada Khalifah Umar yang baru selesai berkhutbah. Wanita itu menanggapi pernyataan Umar yang melarang memahalkan mahar.
Khalifah Umar memberikan tanggapan yang hangat dan bersedia mengubah pendapatnya. Khalifah Umar menyadari kekhilafannya, kemudian dengan tanpa merasa malu, ia membenarkan ucapan wanita itu dan mengakui kesalahannya. “Wanita ini benar dan Umar salah,” ucapnya di depan banyak orang.
Sejatinya agama itu nasihat untuk memenuhi hak orang-orang muslim, dengan mengarahkannya kepada apa yang bermanfaat bagi dunia maupun akhirat, menghilangkan bahaya dari orang lain, serta menyerukan amar makruf nahi munkar.
Salah satu hadis yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadis dari Tamim al-Dari r.a bahwa Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Agama itu adalah nasihat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi saw bersabda: “Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin pada umumnya” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim).
Sungguh betapa indahnya sabda Nabi saw. tersebut, yang mengingatkan bahwa agama Islam yang kita anut merupakan nasihat terbesar bagi kita untuk senantiasa memenuhi hak-hak Allah, RasulNya, kitab-Nya, para pemimpin, dan sesama muslim lainnya.
Dengan demikian maka: jika kita telah memenuhi hak-hak tersebut dengan sebenar-benarnya, insyaa Allah akan tercipta masyarakat dan generasi yang baik dan shalih.
Wallahu A’lam bis Shawab[]