Negara Pajak, Menindas Rakyat



Oleh: Hamsia

Gemah ripah loh jenawi toto tentrem kertoraharjo. Kalimat ini selalu mengiang di telinga rakyat Indonesia. Jika melihat sumber daya alam Indonesia yang melimpah, maka tidak ada yang salah dengan kalimat tersebut. Bahkan merupakan faktor yang harus disyukuri sebagai rahmat dan karunia Sang Khalik.

Kekayaan alam yang berada di Indonesia sangat besar salah satunya minyak mentah, gas alam, timah, tembaga dan emas. Indonesia merupakan pengekspor gas alam terbesar kedua di dunia. Indonesia memiliki 60 ladang minyak, 38 diantaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya baru sekitar 0,48 miliar barel minyak dan 2,26 triliun TCF.

Indonesia juga memiliki wilayah alam yang mendukung dengan tingkat keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Dari sabang sampai marauke, Indonesia mempunyai keberagaman, berbagai suku, bahasa dan agama yang berbeda hidup dalam satu negara. Karena itu mucul semboyan nasional Indonesia, Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu).

Utang dan Pajak ‘Pendapatan’ Utama

Hingga kini kebijakan pemerintah tidak berubah. Semua kebijakan tetap kental dengan liberalisme. Salah satu contoh adalah Peraturan Presiden No. 111/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan persyaratan di Bidang Pemodalan.

Dalam Perpres tersebut, beberapa bidang usaha yang terkait dengan hajat hidup orang banyak seperti pertambangan, kesehatan dan tanaman pangan, sahamnya boleh dimiliki asing hingga di atas 65%. Artinya, investor asing bisa mengelola sumberdaya alam yang harusnya di kelola oleh pemerintah.

Selain mengundang investor asing, pemerintah terpaksa harus berutang. Parahnya lagi, penganut paham ekonomi neoliberalisme terus mendorong kebijakan tersebut. Mereka terus mendengungkan bahwa tanpa utang tidak ada pembangunan.Selain dari utang, bangsa Indonesia kini juga hidup dengan mengandalkan pasokan dari pajak. Menurut Menteri Keungan Sri Mulyani, jumlah pendapatan itu berasal dari penerimaan perpajakan sebanyak Rp 742,7 triliun.

Menteri Keungan Sri Mulyani Indrawati memperingatkan wajib pajak bahwa mereka tak bisa lagi menghindarkan diri dari kewajibannya. Ditjen Pajak kini bisa mengedus harta sekalipun disembunyikan.

Sri Mulyani mengatakan bahwa Indonesia saat ini sudah ikut dalam pertukaran data perpajakan secara otomatis atau perpajakan secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoL). Dari situ negara-negara yang tergabung didalamnya akan mendapatkan data informasi perpajakan secara otomatis. Ujarnya dalam acara Kadin Talks, di Menara Kadin, Jakarta, Jumat (2/8/2019).

Menindas Rakyat

Konsekuensi dari target APBN yang mengandalkan pajak membuat semua aktivitas akan terkena pajak. Dampaknya adalah ekonomi biaya tinggi, kalangan pengusaha yang produknya terkena pajak pasti akan membebankan tambahan biaya tersebut kedalam harga produk yang dijualnya. Pada akhirnya, pajak kini menjadi komponen harga dalam sebuah produk dan jasa. Akibatnya semua beban pajak akan ditanggung rakyat.

Sayangnya, penerimaan pajak yang sangat besar itu tidak jelas arahnya. Padahal, pemerintah harusnya bisa memanfaatkan penerimaan pajak yang sangat besar itu untuk menggerakan perekonomian rakyat. Namun, yang terjadi justru penerimaan pajak sangat besar itu diberikan bagi pengusaha besar. Kasus yang paling hangat adalah bagaimana Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memberikan batuan likuiditas sebesar Rp 6,7 triliun untuk Bank Century. Pengucuran dana itu setelah mendapat rekomendasi dari pemerintah dan Bank Indonesia.

Kasus seperti ini kerap terulang, bahkan pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman. Masih ingat ketika era pemerintahan Soeharto yang juga mengucurkan dana triliunan rupiah melalui BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Ketika bantuan itu cair, teryata banyak pengusaha yang akhirnya mengemplang dana tersebut.

Rasa ketidakadilan makin nyata, di satu sisi pemerintah terus menggenjot penerimaan pajak, tetapi penggunaan penerimaan negara itu justru untuk menstimulus pengusaha besar. Sejatinya, dengan hanya mengendalikan penerimaan negara dari pajak sudah pasti semua beban akan ditimpakan kepada rakyat. Pada akhirnya, rakyat makin tertindas. Belum lagi utang yang sangat besar justru makin menyeret bangsa Indonesia kedalam jurang kemiskinan.

Seyonginya kebijakan ini menciderai rakyat kecil. Rakyat selama ini di uber-uber untuk taat membayar pajak, bahkan mereka pun dikenakan denda bila tidak membayar pajak. Rakyat kecil akhirnya mendapat kezaliman tiga kali. Pertama,  ketika mereka dipaksa membayar pajak; Kedua, ketika penguasa berpihak kepada kepada para pengusaha yang jelas-jelas sebelumnya tidak ikut andil membiayai pembangunan; Ketiga, rakyat dipaksa menyubsidi para kolongmerat melalui kebijakan negara yang pro kepada para pengusaha.

Inilah dampak penerapan sistem kapitalisme. Kekayaan negara diserahkan kepada asing, sementara negara tak memiliki sumber pendapatan. Akhirnya rakyat sebagai andalan, jadilah negara memeras rakyat melalui pajak dan pajak menjadi pilar utama pendapatan negara.

Islam Memandang Pajak

Kondisi ini tidak terjadi dalam sistem Islam. Sebab, pajak atau dharibah adalah bukan pendapatan tetap negara. Pajak hanya dipungut pada waktu tertentu ketika kas negara kosong, itu pun tidak dibebankan kepada seluruh rakyat seperti sekarang, pajak hanya khusus bagi orang-orang kaya saja.

Pemenuhan kebutuhan pokok individu (sandang, pangan dan papan) negara memberikan jaminan dengan mekanisme tidak lansung dan dalam kondisi tertentu menggunakan mekanisme langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Setiap individu diwajibkan bekerja, maka negara wajib menciptskan lapangan pekerjaan maupun memberikan santunan sampai yang bersangkutan mendapatkan pekerjaan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara.

Rasulullah saw bersabda “ Imam (kepala negara) adalah pemelihara/ pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya"(HR al-Bukhari dan Muslim).

Sementara negara mengandalkan pendapatan dari sumber-sumber lain yang ditetapkan oleh syara, rakyat mana yang tidak senang hidup tanpa harus membayar pajak rutin dan dipaksa?  Walhasil, sistem Islamlah harapan umat kedepan. Wallahu a’lam bisshowab.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم