Oleh : Fauziyah Ali
Tanggal 17 Agustus setiap tahunnya diperingati sebagai hari kemerdekaan bangsa Indonesia. Tapi akhir-akhir ini banyak sekali mengemuka pertanyaan "Benarkah kita sudah merdeka?" Katanya merdeka tapi koq rasanya begini ya? Semua serba sulit. Bukan hanya tentang ekonomi saja. Pendidikan, kesehatan sulit sekali diakses. Jadi sebenarnya negara bekerja untuk siapa?
Ada sedikit masalah misal harga bawang putih naik, solusinya impor. Harga tiket pesawat rute domestik tinggi, solusinya impor maskapai. Perguruan tinggi tidak berada pada rangking memadai solusinya juga impor rektor. Terlebih dalam komoditas pertanian terutama yang termasuk kebutuhan pokok seperti beras, gula, jagung, garam yang sebenarnya bisa diproduksi di dalam negeri, impor yang dilakukan jauh lebih ugal-ugalan.
Kebijakan impor yang dilakukan pemerintah sangat bebas dan tidak mengindahkan kepentingan negara dan rakyat banyak. Seperti misal ketika impor beras dilakukan bersamaan dengan panen raya. Beras-beras yang disimpan itu sekarang rusak, padahal uang yang digunakan adalah uang rakyat. Belum lagi tentang gudang penyimpanan Bulog yang tidak cukup yang kemudian terpaksa sewa gudang lain milyaran rupiah. Lagi-lagi itu semua menggunakan uang rakyat. Impor semen tetap dilakukan, padahal ketersediaan semen dalam negeri surplus 35 juta ton.
Seringkali negara terjebak pada kebijakan impor ini selain memang untuk mencari solusi jangka pendek. Kebijakan impor juga disebabkan tekanan dari negara lain akibat perdagangan bebas. Banyak negara-negara asing yang 'ngotot' memasukkan barang-barangnya di Indonesia walaupun sebenarnya untuk komoditas itu bisa dipenuhi di dalam negeri. Misal soal kekalahan Indonesia atas Brazil soal impor ayam akan menambah daftar panjang item-item kebutuhan pokok yang diimpor ke Indonesia. Dan bagaimana dengan nasib peternak di dalam negeri? Bukankah ini berbahaya bagi kelangsungan produksi ayam potong di Indonesia? Ini disebabkan karena Indonesia adalah pasar yang menggiurkan untuk menjual barang-barang dari negara-negara tersebut.
Impor ugal-ugalan yang dilakukan mendag sebenarnya diketahui Jokowi. Tapi Jokowi diam saja. Jokowi juga sebenarnya tahu, akibat impor membuat neraca perdagangan Indonesia masih melebar di angka 1, 93 Milyar Dollar AS per Juli 2019. Kebijakan impor ini kontraproduktif dengan kemandirian ekonomi yang digadang-gadang pemerintah ini.
Impor ugal-ugalan ini juga menyebabkan pelaku usaha dalam negeri enggan menaikkan kapasitas produksinya karena khawatir persaingan dengan barang impor terlalu kuat sehingga barang-barang yang diproduksi kalah di pasaran. Alih-alih mendapat untung yang ada harus menanggung kerugian yang banyak. Daripada rugi terlalu banyak akhirnya, para pelaku usaha ini tidak berani produksi dalam jumlah banyak.
Kemandirian ekonomi kita akan semakin lemah karena akan ada ketergantungan terhadap impor. Apalagi jika yang diimpor adalah komoditas pertanian, atau barang-barang yang punya fungsi penting seperti pupuk, semen, baja dan lain-lain. Bukan impor tas bermerk yang harganya 'ngaco' ya yang dimaksud.
Ketergantungan impor terhadap produk-produk pertanian yang dimaksud akan menimbulkan bermasalahnya ketahanan pangan Indonesia. Ini tanda kita tidak merdeka. Jadi impor itu bukan hanya soal jual-beli produk atau hanya tentang 'fee' menggiurkan yang didapatkan importir. Tapi ini juga terkait tentang ketergantungan suatu negara pada negara lain. Hal ini berbahaya bagi stabilitas sebuah negara.
Lalu bagaimana seharusnya? Ya jika komoditas itu bisa diproduksi dalam negeri tentu tidak perlu impor. Kecuali memang untuk komoditas itu tidak bisa diproduksi di Indonesia, ya tidak apa-apa impor. Misal kurma bolehlah impor, tapi kalau beras ya jangan impor.
Sebagai negara yang kuat, ya seharusnya Indonesia mampu menolak jika ada negara-negara yang memaksa impor. Kita harus punya sikap tegas.
Kemudian adili, para pejabat yang tega-tega menjual negeri. []