Diskon Pajak Kaum Borjuis



Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice


"Nanti, kentut pun akan dikenakan pajak. Sungguh tidak masuk akal. Mengenakan pajak terhadap hal yang remeh temeh, itu menunjukkan kas negara sedang kondisi siaga satu!", Cuit balasan Anna Suezann pada akun Twitter @4NN4_5U3Z4NN. Begitulah curahan hati warganet merasakan himpitan pajak yang saat ini hampir menyasar ke semua lini kehidupan. Bahkan tidak sedikit yang saking geramnya menggunakan diksi "palak" yang hanya beda tipis satu huruf saja.

Pajak bagi negara kapitalis menjadi instrumen utama sebagai sumber pemasukan negara. Di USA, pajak korporasi dan individu menyumbang hampir 40% sumber pemasukan negara. Sementara di indonesia, hampir 72% sumber pemasukan negara berasal dari pajak. Pada tahun 2019 yang sedang berjalan ini, pemasukan negara dari sektor pajak mencapai Rp 1.786,4 Trilyun dari Rp 2.461,1 Trilyun jumlah keseluruhan pemasukan APBN. Dengan postur tersebut dapat dikatakan hidup matinya negara sangat bergantung pada pajak.

Tidak mengherankan jika pemerintah berupaya dengan sekuat tenaga, peras keringat dan putar otak untuk terus menghidupi negara dengan suntikan darah segar dari pajak. Beberapa periode terakhir ini banyak sekali manuver-manuver taktis dari pemerintah untuk menggenjot penerimaan pajak dari para wajib pajak. Masih segar di ingatan kita adanya tax amnesty beberapa tahun silam. Upaya penghapusan denda pajak bagi wajib pajak dengan cukup membayar pokoknya saja, dengan kata lain adalah upaya pancingan agar wajib pajak mau melunasi kewajiban pajaknya.

Setelah tax amnesty, sekarang Presiden Joko Widodo, memberikan diskon pajak besar-besaran yang disebut super deduction tax. Deduction dalam arti bebasnya bermakna potongan. Jadi super deduction tax makna bebasnya adalah potongan pajak yang super atau besar.(https://m.detik.com/finance/berita-ekonomi-bisnis/d-4617713/jokowi-beri-diskon-pajak-gede-gedean-buat-pengusaha)

Tidak jauh beda dengan tax amnesty, super deduction tax adalah upaya merayu para kapitalis wajib pajak untuk membayar tanggungan pajaknya. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa banyak para korporat-korporat yang memiliki tunggakan pajak. PT inalum yang digembar- gemborkan telah membeli saham freeport senilai Rp 54 triyun sehingga menjadikan kepemilikan saham indonesia atas PT FI menjadi 51% juga tidak luput dari tunggakan pajak. Berdasarkan laman berita medan.tribunnews.com, PT inalum (persero) menunggak pajak air kepada pemprov sumut senilai Rp 23 Trilyun. Nilai fantastis yang hampir separo dari jumlah nominal yang dibayarkan untuk membeli saham PT FI yang sumir berbau pencitraan.

Apa yang dialami PT inalum pastilah tidak sendirian. Adanya super deduction tax atau tax amnesty pada periode sebelumnya mengindikasikan bahwa ada masalah besar dalam pembayaran pajak oleh para wajib pajak. Makna lain dari kondisi ini adalah ada masalah besar bagi kelangsungan bangsa dan negara ini yang sudah terlanjur menjadikan pajak dalam proporsi 72% sumber penerimaan APBN.

Tax amnesty dan super deduction tax adalah sinyal tanda bahaya bagi negeri ini. Negara pajak untuk menghidupi keseharian negerinya pasti akan berubah menjadi negara palak. Indikasi-indikasi menuju ke arah tersebut sudah ada. Setiap tahun pajak kendaraan bermotor di berbagai daerah naik. Begitu juga isu naiknya harga meterei yang tinggal tunggu waktu saja.

Tata kelola keuangan negara perlu kiranya direview kembali demi kemashlahatan umat. Tidak lain tidak bukan saatnya para penguasa dan umat menilik kembali sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam yang pastinya diterapkan bersama seluruh syariah Islam secara totalitas dalam naungan Khilafah.

Dalam tata kelola keuangan dalam Islam, sumber pendapatan negara yang menjadi hak kaum Muslim dan masuk ke Baitul Mal klasifikasinya yaitu: (1) Anfal, Ghanimah, Fa’i, dan Khumus; (2) Al Kharaj; (3) Al Jizyah; (4) Macam-macam harta milik umum; (5) Pemilikan Negara berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pemasukannya; (6) Al Usyur; (7) Harta tidak sah para penguasa dan pegawai, harta yang didapat secara tidak sah dan harta denda; (8) Khumus rikaz (barang temuan) dan tambang; (9) Harta yang tidak ada pewarisnya; (10) Harta orang yang murtad; (11) Zakat; (12) Pajak.

Pajak di dalam Islam adalah instrumen terakhir yang akan dipungut negara jika kas negara kosong. Maksudnya, jika kas dari poin pertama sampai ke sebelas kosong, dan negara membutuhkan dana darurat, pajak baru dijadikan alternatif terakhir. Itu pun tidak boleh sampai mendzolimi rakyat dalam penarikannya.

Perlu dicermati pula jika sektor sumber daya alam yang menjadi harta milik umum, dikelola oleh negara dan tidak diserahkan pada kapitalis asing maka negeri tercinta ini bisa bebas dari hutang dan tidak perlu lagi menarik pajak. Sedihnya dalam sistem kapitalisme sumber daya alam telah dikuasai kapitalis asing, untuk membayar pajak saja mereka menunggak, dan yang terus dikejar menaiki pajak dan menarik pajak sektor-sektor remeh temeh. Saatnya kembali pada aturan Ilahi yaitu Syariat Islam secara keseluruhan, insya Allah rahmat dan keberkahan akan turun.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم