Oleh : Kikin Fitriani (Aktivis Muslimah)
Euforia kegembiraan para anggota legislatif berjoget ria setelah menerima sidang kenaikan gaji dan tunjangan yang mencapai lebih dari Rp. 100 juta perbulan, sungguh nilai yang fantastis dan sangat kontras dengan kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk hari ini.
Ironisnya polemik ini muncul dikala tengah kian memburuknya kondisi ekonomi masyarakat. Selain akibat pemerintah telah gagal dalam menjamin kesejahteraan seperti sulitnya mencari kerja, harga kebutuhan pokok tidak terkendali, layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan tidak murah juga pukulan terberat saat ini adalah banyaknya pungutan pajak yang dibebankan pada rakyat. Semua itu cerminan rusak dari sistem sekuler kapitalisme. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan inilah mengaruskan siapapun berlomba-lomba berburu kursi kekuasaan asal punya modal besar dan kuat, layaklah jika sistem ini disebut sistem politik berbiaya mahal.
Dalam sistem pemerintahan di bawah demokrasi, DPR adalah representasi partai, bukan perwakilan rakyat. Tidak ada satupun dari 580 anggota DPR yang menentang atau berpihak kepada rakyat. Wakil Rakyat era demokrasi adalah anti kritik, gaji dan tunjangan sangat tinggi tapi kiprahnya dalam mewakili rakyat nol besar, mestinya mereka malu kepada rakyat yang mereka wakili sebab apa yang mereka nikmati asli bersumber dari pajak rakyat. Wajar jika harga kemenangan dalam pemilihan umum membuat wakil rakyat ini berpikiran untuk mengembalikan modal plus keuntungan dengan menggunakan kekuasaan melalui UU yang mereka keluarkan. Kekuasaan menjadikan pintu bisnis demi meraup keuntungan semata, hukum dan kebijakan bisa ditarik ulur sesuai kepentingan pesanan partai. Akhirnya melahirkan para pejabat yang rakus, gemar flexing, gaya heddon , nirempati bahkan tega memposisikan rakyat hanya sebagai beban negara dan rakyat dijadikan bumper penyokong pajak negara.
Suara menggema pembubaran DPR seketika mengemuka dimana-mana dan apakah dengan cara pembubaran DPR semua permasalahkan produk negeri akan selesai ? Padahal sejatinya rakyat harus sadar dan paham betul bahwa DPR adalah produk perpanjangan dari sistem demokrasi, lahir dari benih demokrasi. Demokrasi rusak dan merusak berujung pada ketimpangan sosial, jurang status sosial menganga lebar antara pejabat dan rakyat.
Bukankah Allah sudah mengingatkan dalam TQS Al-Maidah : 50
" Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?"
Demokrasi menghipnotis rakyat dengan jargon manisnya yang berlindung atas nama rakyat. Demokrasi menyihir para pemujanya untuk tunduk dengan hukum jahiliyah yang dikemas modern. Jadi yang perlu diganti adalah sistem demokrasi nya bukan terjebak pada ilusi bubarkan DPR.
Sistem demokrasi meniscayakan penyimpangan terhadap hukum-hukum Allah SWT yang bersifat materialistik yang jelas-jelas memisahkan pemerintahan dan kepengurusan rakyat dari hukum syariah Islam. Penyimpangan ini memicu kemurkaan Allah, menjauhkan dari keberkahan dan ridho Allah SWT.
Seperti dalam TQS Thaha:124
"Siapa saja yang berpaling dari peringatan -Ku (Al-Qur'an), sesungguhnya bagi dia kehidupan yang sempit, dan kami akan menghimpun dirinya pada hari Kiamat dalam keadaan buta."
Wakil Rakyat dalam Sistem Islam
Jika hanya mengganti orang atau lembaga legislatif bukanlah solusi mendasar, bahkan masih memuluskan jalannya kerusakan. Satu-satunya jalan terbaik hanya kembali pada sistem shahih yakni Sistem Islam, ganti dan tinggalkan sistem jahiliyah untuk kembali pada sistem yang tegak diatas iman dengan menerapkan seluruh aturan hukum hukum Allah pada segala aspek kehidupan.
Dalam Sistem Islam, representasi rakyat yakni majelis umat sangat berbeda jauh dengan konsep wakil rakyat dalam sistem sekuler demokrasi kapitalisme.
Majelis Umat bukan lembaga pembuat UU atau kebijakan melainkan memiliki fungsi muhasabah yakni kontrol dan koreksi terhadap para penjabat (hukam). Meski majelis umat mewakili suara umat, tugasnya mengkoreksi atas kebijakan penguasa. Fungsi legislasi dalam sistem Islam adalah mengadopsi hukum yang bersumber pada Qur'an dan Sunnah, bukan membuat hukum baru yang berasal dari pemikiran manusia.
Majelis Umat dipilih oleh umat atas dasar kepercayaan untuk mewakili mereka dalam menyampaikan aspirasi pendapat atas beragam persoalan. Majelis umat ini benar-benar murni dari rakyat, presentasi pikiran dan perasaan umat yang bekerja karena dorongan iman dan kesadaran tanggung jawab melakukan amar ma'ruf nahi munkar, sehingga membuat mereka fokus akan beban tanggung jawab amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta'ala. Tak sedikitpun terbersit untuk memanfaatkan aji mumpung menikmati fasilitas negara apalagi menuntut privilege demi memperkaya diri. Semua dalam dimensi ruhiyah.
Dalam Sistem Islam, negara benar-benar memperhatikan kebutuhan rakyat, bukan malah melayani kepentingan pejabat atau penguasa. Kebijakan mensejahterakan dan memberikan keadilan bagi masyarakat adalah tanggung jawab negara. Islam memandang rakyat adalah pihak yang wajib untuk dilayani dan dipenuhi kebutuhannya sedangkan penguasa bertindak sebagai pelayan, pengelola, dan penjamin kebutuhan mendasar rakyat.
Sistem Islam menghilangkan kesenjangan, distribusi kekayaan yang adil merupakan kunci utama untuk mengatasi kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi juga agar harta tidak beredar dikalangan orang-orang kaya saja.
Momentum yang tepat untuk menyadarkan umat bahwa perubahan ke arah yang lebih baik bukan dengan jalan revolusi namun perubahan secara mendasar yakni kembali pada penerapan hukum syariah Islam kaffah yang mampu memenuhi keadilan dan itu hanya bersumber dari Allah SWT.
Wallahu 'alam bissawab.