Etik Pibriani
Negara saat ini rajin sekali mencari alternatif pemasukan. Rakyat dikenai beragam pajak, pajak digital, e-commerce, pajak warisan, penjualan, royalti, bahkan rekening bank ‘nganggur’ akan diblokir dan tanah milik rakyat disita karena dianggap tak produktif. Kebijakan ini dibungkus dengan ‘niat baik’ mencegah pencucian uang, meningkatkan kontribusi rakyat pada pembangunan, dan menyelamatkan fungsi tanah untuk kepentingan bangsa.
Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), rekening yang tidak ada aktivitas selama tiga bulan akan dibekukan sementara. PPATK menjamin uang nasabah tetap aman, meskipun tidak bisa melakukan transaksi lagi. Hal ini menimbulkan kegaduhan dan dinilai ‘merepotkan’ rakyat. Pemilik rekening yang pasif itu kebanyakan adalah masyarakat di pedesaan, ibu rumah tangga, para orang tua, tabungan sekolah anak-anak, para petani atau pekerja informal yang baru bisa menabung sesekali dalam satu tahun.
Kalau tujuannya menghilangkan sindikat pencucian uang, jual-beli rekening, kenapa yang disapu bersih justru semuanya?
Selanjutnya kebijakan tentang penyitaan lahan yang dinilai tidak produktif oleh negara. Hal ini didasarkan pada pasal 27 UU Pokok Agraria yang menyatakan bahwa hak atas tanah dapat dihapus jika tanah tersebut ditelantarkan. Juga pada PP Nomor 20 Tahun 2021yang menyebutkan secara lebih rinci tentang kriteria tanah terlantar, prosedur penertiban, dan pengelolaan tanah terlantar.
Lalu bagaimana jika seseorang memang belum mampu mengolah lahannya karena mahalnya saprodi, biaya pupuk mahal atau akses air terbatas?
Kebijakan mencekik yang lain adalah pemberlakuan pajak e-commerce yang tinggi. Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan menilai kebijakan baru terkait Pajak Penghasilan pedagang di platform marketplace berpotensi menambah beban bagi konsumen. “Pajak memang dibebankan kepada seller. Tapi, dalam praktiknya ada potensi beban tersebut diteruskan ke konsumen, tergantung strategi masing-masing penjual,” kata Budi kepada Media Indonesia, Selasa, 15 Juli 2025.
Ekonomi Lesu, Masyarakat Mulai Makan Utang.
Di balik jargon optimisme ekonomi dan program populis pemerintah, kondisi di masyarakat jauh dari menggembirakan. Tingginya biaya hidup, sulitnya lapangan pekerjaan yang layak, memperburuk situasi ekonomi. Naiknya tarif pajak, daya beli melemah, pendapatan stagnan, menjadikan masyarakat mempertahankan kebutuhan konsumsi lewat pinjaman. Masyarakat bukan lagi mengandalkan tabungan, tapi hidup dari utang.
Data survei Konsumen Bank Indonesia (BI) edisi Juni memperlihatkan serangkaian sinyal buruk diantaranya ;
- Indeks ketersediaan lapangan kerja anjlok ke zona pesimistis (94,1) — terendah sejak Maret 2022.
- Rasio tabungan rumah tangga turun ke 14,1%.
- Alokasi penghasilan untuk cicilan meningkat hingga mendekati 11%.
- Pinjaman daring (pinjol) naik 27,9% mencapai Rp82,59 triliun.
- Rasio kredit macet naik jadi 3%.
- Aktivitas di pegadaian melonjak 32%.
Disamping itu lebih dari 352 ribu pekerja kehilangan pekerjaan per September 2024. Sektor manufaktur melemah, indeks PMI (Purchasing Managers Index) tiga bulan berturut-turut di bawah angka 50 (kontraksi), menandakan aktivitas industri yang lesu. Tak ada lapangan kerja, tak ada penghasilan. Tapi kebutuhan tetap jalan. Yang terjadi adalah utang jadi penyambung hidup.
Tak hanya masyarakat, negara juga mempertahankan kelangsungan hidupnya melalui utang. Sri Mulyani menyampaikan di depan sidang DPR, jumlah hutang Indonesia + bunga yang jatuh tempo tahun ini mencapai lebih dari 10.000 T. Jumlah ini 3x lebih besar dari target pendapatan negara yang hanya 3.000 T di tahun 2025.
Benarlah jika dikatakan kesejahteraan hanyalah khayalan di sistem kapitalisme saat ini.
Pajak, Sumber Pendapatan Utama Negara Kapitalis.
Dalam sistem Kapitalisme, pos-pos APBN dirancang berdasarkan undang-undang yang disahkan oleh Parlemen. Salah satu pos pendapatan dalam APBN adalah pajak. Pajak dipungut dari orang kaya maupun miskin. Peningkatan besaran pajak dan penambahan jenis pungutan pajak ditetapkan oleh negara. Beban ini ditanggung oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator yang lebih memprioritaskan kepentingan para pemilik modal. Rakyat terabaikan, sementara beban pajak bersifat ‘wajib’ sebagai konsekuensi posisi mereka sebagai warga negara. Rakyat pada dasarnya membiayai sendiri berbagai layanan yang mereka butuhkan, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Seharusnya layanan itu menjadi tanggung jawab negara. Namun, negara tidak menjalankan perannya sebagai pengurus rakyat.
Kekayaan sumberdaya alam yang seharusnya menjadi milik rakyat justru diserahkan kepada pihak swasta. Negara hanya memperoleh pendapatan berupa pajak dan non pajak, yang jumlahnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan keuntungan besar yang dinikmati perusahaan swasta. Bahkan, Utang berbasis riba dijadikan alternatif dan sumber utama untuk menutupi defisit anggaran.
Sumber Pendapatan Daulah Khilafah
Dalam Islam, pos-pos APBN sepenuhnya bersumber dari dalil-dalil syariah, yaitu al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas Syar’i. Berbagai persoalan yang muncul dalam pengelolaan APBN seluruhnya harus diselesaikan sesuai dengan syariah Islam. Hal serupa dijelaskan dalam kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, karya Syaikh Abdul Qadim Zallum.
Sumber pemasukan Daulah Islam diantaranya :
(1). Anfâl , Ghanîmah , Fai dan Khumûs.
Anfâl dan ghanîmah adalah harta yang diperoleh kaum Muslim dari orang kafir melalui peperangan, yang meliputi uang, senjata, barang dagangan dan bahan pangan.
Fai adalah harta yang diperoleh tanpa peperangan, seperti yang terjadi pada Bani Nadhir ketika kaum Muslimin menguasai harta mereka setelah mereka meninggalkan kampung halaman.
Adapun khumûs adalah seperlima dari ghanîmah yang dibagi sesuai dengan perintah Allah dalam QS al-Anfal [8] ayat 41.
(2). Kharaj.
Kharâj adalah hak kaum Muslim atas tanah yang diperoleh dari orang kafir melalui peperangan atau perjanjian damai, yang terdiri dari kharaj ‘unwah (paksaan) seperti tanah Irak, Syam dan Mesir, dan kharaj sulhi (damai).
(3). Jizyah.
Jizyah adalah hak yang Allah berikan kepada kaum Muslim dari orang-orang kafir sebagai tanda bahwa mereka tunduk kepada Islam (ahludz-dzimmah). Besaran jizyah ditentukan berdasarkan ijtihad Khalifah, dengan nilai yang tidak memberatkan ahludz-dzimmah , namun tidak merugikan Baitul Mal.
(4). Harta Milik Umum.
Harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan oleh Asy-Syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu diperbolehkan untuk memanfaatkan harta tersebut, namun mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi.
(5). Harta Milik Negara.
Misalnya tanah tak bertuan, seperti padang pasir, gunung, bukit, lembah dan tanah mati yang tidak dimiliki individu. Lalu tanah pengendapan sungai, tanah mati. Ash-Shawâfi , yaitu tanah yang dikuasai negara setelah pembebasan wilayah, tanah bekas milik penguasa atau yang ditinggalkan karena perang. Ada juga bangunan dan balairung, seperti istana, sekolah, dan fasilitas umum, termasuk yang dihibahkan atau diwariskan.
(6). Maraafiq (Sarana Umum).
Sarana umum, adalah fasilitas yang disediakan negara untuk kepentingan umum, baik di pedesaan maupun perkotaan. Misalnya layanan komunikasi (pos, telepon, televisi, satelit), alat pembayaran bebas riba, serta sarana transportasi umum , dll.
(7). Harta ‘Usyur.
Harta ‘Usyur adalah pungutan yang dikenakan pada perdagangan yang melewati perbatasan Negara Khilafah, dengan besaran yang bergantung pada status pedagang. Pedagang Muslim dikenakan ¼ ‘usyur sebagai zakat yang disalurkan ke Baitul Mal untuk delapan golongan penerima zakat. Pedagang kafir dzimmi dikenakan ½ ‘usyur sesuai kesepakatan damai, yang dapat disesuaikan melalui perjanjian baru. Pedagang kafir harbi diterapkan 1 ‘usyur penuh, sebagai bentuk perlakuan seimbang dengan pajak yang mereka pungut dari pedagang Muslim, seperti yang dilakukan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra.
(8). Harta Ghulul.
Harta ghulûl adalah harta yang diperoleh oleh penguasa, pejabat atau pegawai negara secara tidak sah atau haram.
(9). Khumus Rikaz dan Barang Tambang.
Rikâz adalah harta terpendam di dalam bumi, seperti emas, perak, permata, dan perhiasan, termasuk barang dari peninggalan zaman jahiliyah atau Islam, yang ditemukan di kuburan, terowongan, atau kota yang hancur. Harta ini juga mencakup barang tambang dengan deposit kecil, seperti emas dan perak dalam bentuk batangan yang ditemukan di tanah mati (bukan milik seseorang). Semua harta terpendam tersebut menjadi milik penemunya, yang seperlimanya diserahkan ke Baitul Mal.
(10). Harta Waris yang Tidak Ada Ahli Warisnya.
Harta yang pemiliknya telah meninggal dunia dan tidak memiliki ahli waris berdasarkan hukum farâ’idh, akan dimasukkan ke dalam Baitul Mal.
(11). Harta Orang-orang Murtad.
Orang yang murtad kehilangan hak atas hartanya dan hartanya dimasukkan Baitul Mal. Jika orang murtad kembali ke Islam, hartanya dikembalikan, kecuali jika ia kembali setelah pembagian warisan yang telah dilakukan.
(12). Pajak (Dharîbah).
Pajak adalah harta yang diambil dari kaum Muslimin untuk membiayai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang harus dipenuhi, ketika Baitul Mal kekurangan dana. Pada prinsipnya, Baitul Mal memiliki pendapatan rutin melalui sumber-sumber yang tersebut diatas, yang cukup untuk menutupi kewajiban pembiayaan. Namun, dalam kondisi yang lebih berat, dan Baitul Mal tidak mampu mencukupi pembiayaan kewajiban, maka kewajiban tersebut dialihkan kepada kaum Muslim. Mereka dikenakan pajak hanya untuk menutupi kekurangan tersebut, dan bersifat temporal, sesuai yang diatur oleh hukum Syara’ (urgensitas), dengan batasan yang wajar, dan hanya diterapkan atas mereka yang memiliki kelebihan kekayaan setelah kebutuhan mendasar mereka terpenuhi.
(13). Zakat.
Zakat adalah kewajiban yang harus dikeluarkan seorang muslim dari hartanya yang telah mencapai nishab dan haul (setahun). Zakat adalah hak delapan golongan yang telah ditentukan dalam Al Qur’an.
Menyongsong Era Baru Ekonomi Global di Bawah Naungan Khilafah
Umat Islam telah diberkahi kemuliaan oleh Allah Taala salah satunya dengan sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Nabi Muhammad saw., yaitu Khilafah Islam. Khilafah akan siap menjadi negara superpower yang akan mewujudkan kemuliaan Islam dan umat Islam. Dari aspek ekonomi, Khilafah memiliki banyak keunggulan yang tidak dimiliki oleh sistem ekonomi kapitalisme.
Pertama, aturan berbasis akidah Islam, tidak dikendalikan oleh kepentingan pemodal. Falsafah ekonomi di dalam Islam mengatur kegiatan ekonomi agar sejalan dengan perintah dan larangan Allah SWT. Hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan ekonomi dibangun atas tiga prinsip, yaitu kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di antara masyarakat. Dengan demikian, persoalan ekonomi yang baru sekalipun hukumnya dapat digali melalui proses ijtihad berdasarkan kaidah tertentu dari dalil yang terperinci.
Kedua, sistem yang mendukung perwujudan SDM yang berkualitas. Pertumbuhan penduduk di dalam Khilafah diharapkan tetap positif. Hal ini diharapkan dapat menjaga ketersediaan SDM produktif yang menjadi pilar utama dalam mendukung kemajuan ekonomi dan keunggulan militer.
Sebaliknya, negara-negara Barat akan melanjutkan tren perlambatan pertumbuhan penduduk. Pada 2022, beberapa negara maju telah mengalami pertumbuhan penduduk negatif, seperti Jepang (-0,4%), Italia (-0,3%), Inggris (-0,1%), Korea Selatan (-0,2%), dan Cina (-0,0%).
Sebagai informasi, salah satu strategi AS untuk mendapatkan sumber daya yang berkualitas adalah mendorong warga negara lain untuk meraih mimpi mereka di AS. Menurut National Foundation for American Policy (NFAP), sejak 2000, sebanyak 40% pemenang Nobel dalam bidang kimia, kedokteran dan fisika adalah imigran.
Ketiga, pengelolaan SDA yang melimpah oleh negara. Berdasarkan data SESRIC (OKI) dan EIA, potensi cadangan minyak mentah dan gas alam di negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) per 2020 masing-masing sebesar 65% dan 57% dari total cadangan dunia.
Pengelolaan SDA secara mandiri akan menghasilkan pendapatan yang bisa mensejahterakan rakyat. Apalagi dengan penyatuan negeri-negeri muslim dalam satu institusi global, yakni Khilafah Islam, pasokan global pun dapat dikontrol oleh kaum muslim.
Keempat, sistem yang menjamin pemenuhan kebutuhan dasar dan dorongan pengembangan kekayaan. Khilafah memiliki metode distribusi yang mampu menjamin setiap individu terpenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu pangan, sandang, dan perumahan, serta penyediaan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan.
Islam mewajibkan laki-laki yang balig untuk bekerja mencari nafkah. Negara akan membantu dalam bentuk modal kerja dan pelatihan. Negara juga akan membantu memenuhi kebutuhan dasar setiap individu yang tidak mampu ditanggung oleh keluarganya.
Kelima, sistem yang mendukung pertumbuhan bisnis dan investasi. Khilafah Islam akan selalu menciptakan iklim investasi yang sehat yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalisme. Misalnya, menghapus pajak yang bersifat anti bisnis. Dengan begitu, pengusaha lebih aktif dalam berbelanja dan berinvestasi untuk meningkatkan bisnis mereka dan penciptaan lapangan kerja.
Khilafah juga akan mendorong agar kekayaan—termasuk uang—diinvestasikan ke bisnis riil dan melarang uang disimpan/ditimbun, di sektor perbankan dan investasi portofolio yang bertujuan untuk mendapatkan bunga semata.
Keenam, sistem yang mampu mewujudkan stabilitas sistem moneter dan keuangan. Penerapan standar moneter emas dan perak akan mendorong kemajuan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan negara-negara kapitalis. Selain menjadi perintah syariat, standar ini memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan standar mata uang kertas. Meskipun demikian, individu di dalam masyarakat tidak dilarang dalam menggunakan berbagai alat transaksi selain kedua komoditas itu.
Ketujuh, APBN yang mengoptimalkan pelayanan rakyat dan kekuatan negara.Dengan kekayaan SDA yang melimpah, Khilafah akan memiliki aset besar, dalam bentuk aset umum maupun dalam aset negara, yang akan menjadi sumber daya yang sangat besar untuk mendanai kebutuhan negara.
Model pengeluaran dalam Khilafah akan dioptimalkan untuk mendukung penyediaan layanan publik dan dakwah jihad fi sabilillah. Salah satu aspeknya adalah pengembangan industri yang berbasis militer.
Kedelapan, revolusi industri untuk melepaskan ketergantungan pada Dunia Barat. Khilafah bertekad untuk menjadi negara industri yang mampu memproduksi barang-barang berteknologi tinggi termasuk peralatan militer yang mutakhir.
Ketergantungan pada produk-produk Barat, seperti industri militer, menjadikan negara-negara muslim hanya sebagai pasar. Sebagai contoh, pada periode 2018—2022, sebanyak 31% total persenjataan yang diproduksi di seluruh dunia, didominasi oleh AS dan Rusia dengan masing-masing pangsa pasar penjualan sebesar 40% dan 16%, diarahkan ke Timur Tengah. Arab Saudi, dengan pangsa pasar 9,6%, menjadi pembeli senjata terbesar kedua di dunia setelah India, diikuti oleh Qatar (6,4%). Setelah Cina, Mesir (4,5%) dan Pakistan (3,7%) berada pada peringkat kelima dan ketujuh di tingkat global.
Khatimah
Saat ini terjadi kemerosotan dan guncangan ekonomi, sosial, dan politik di negara-negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Disaat yang demikian itu, sudah seharusnya umat Islam menyadari kewajibannya sekaligus kebutuhannya untuk kembali pada sistem Islam. Sumber kekuatan kaum muslimin terletak pada asas dasar yang digunakan dalam kehidupannya. Yakni mabda Islam, ideologi Islam. Mengembalikan sistem Islam dengan berjuang—sembari mengharap pertolongan Allah Swt.—untuk menegakkan kembali Khilafah Islam, institusi pelaksana dan pelindung ideologi Islam.
Hal-hal di atas hanya beberapa aspek dari sekian banyak keunggulan ideologi Islam dan potensi umat Islam yang dapat dicapai dengan tegaknya kembali Khilafah. Khilafah akan menjadi negara yang tangguh dalam ekonomi, militer, politik, menerapkan dan menyebarluaskan ideologi Islam melalui dakwah dan jihad fi sabilillah. Wallahualam bissawab.[]