Polemik Dunia Pendidikan, Mau Sampai Kapan?



Oleh: Hafsa


Tahun ajaran 2025/2026 ini, penerimaan peserta didik baru (PPDB) resmi beralih menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) . Berdasarkan permendinasmen 3/2025, Sebagai wujud evaluasi dan penyempurnaan dari kebijakan sebelumnya, Diberlakukannya SPMB ini diharapkan bisa meminimalkan kekisruhan tahunan seputar penerimaan murid baru.


Namun pada faktanya, kisruh penerimaan murid baru masih terjadi. misalnya sulitnya mengakses situs SPMB dikarenakan sistem pendaftaran melalui online, juga proses pendaftaran yang serba daring. juga masih banyaknya praktik jual beli kursi yang pasti akan selalu ada. dan belum lagi masih banyaknya biaya-biaya tambahan yang harus dibebankan pada wali murid, sebagai contoh: 

Ombudsman RI perwakilan Aceh yang menerima laporan pengaduan masyarakat terkait SPMB 2025/2026.


Pendidikan adalah hak setiap warga masyarakat yang seharusnya negara bertanggung jawab atasnya. Problem sulitnya mencari sekolah berkualitas dan terjangkau yang kemudian memunculkan banyaknya praktik jual beli kursi, tentu tidak serta merta selesai hanya dengan merubah teknis penerimaan murid baru. Abainya peran negara dalam memenuhi kebutuhan pendidikan tiap warga negara tentunya menjadi hal mendasar, atas terjadinya banyaknya polemik di bidang pendidikan saat ini. Bisa kita lihat misal pada fasilitas pendidikan pada sekolah-sekolah negeri yang gratis yang jumlahnya belum memadai, sehingga masih banyak anak-anak usia sekolah yang tidak tertampung. Belum lagi masalah domisili yang ternyata tidak sedikit yang tidak sesuai target, disebabkan ada sejumlah kawasan yang tidak masuk dalam jangkauan sekolah manapun.


Ditambah lagi adanya oknum tidak bertanggung jawab yang menambah beban administrasi bagi wali murid. Nyatanya, sistem  kapitalis telah membuat mereka menjadi orang-orang yang rakus dan serakah, memanfaatkan celah demi kepentingan pribadi. Disamping itu, anggapan masyarakat pun jadi biasa terkait hal itu. Karena masyarakat jadi berpandangan kalo tidak beli kursi maka tidak bisa sekolah, kalau tidak lewat pintu belakang, maka pendidikan anak pun akan terhambat. Kemudian menganggap biasa adanya pungli dan semacamnya. Dan masyarakat akhirnya terdidik dengan hal itu.


Maka yang terpenting adalah pemerintah menyediakan sarana sekolah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Disamping pemerataan fasilitas pendidikan, yang setara kualitasnya di seluruh wilayah. Dengan begitu, kasus jual-beli kursi atau lewat pintu belakang tidak akan terjadi. 


Namun, wacana pendidikan gratis, tanpa adanya topangan sistem ekonomi yang mensejahterakan tidak akan membuat keadaan lebih baik. Bagaimanapun anak-anak sekolah pasti membutuhkan asupan gizi yang baik untuk mendukung tumbuh kembangnya. Pendidikan gratis, tapi lapangan pekerjaan sulit, kebutuhan pokok dan biaya berobat mahal. Belum lagi kebutuhan-kebutuhan lainnya yang harus dipenuhi. 


Peran negara, seharusnya hadir secara menyeluruh dalam tiap aspek yang menjadi kewajibannya. Pendidikan gratis bukan berarti seadanya saja, kesejahteraan tenaga pendidik seikhlasnya. Bila faktanya demikian, maka problematika ini sifatnya sistemik dan terstruktur. Dan asas dari lahirnya polemik-polemik ini tidak lain adalah karena sistem yang dipakai adalah sistem kapitalis. Yang mengandalkan banyaknya materi untuk terus berjaya. Sudah saatnya sistem ini diganti dengan sistem Islam yang terbukti secara nyata mampu menjadikan generasinya menjadi generasi yang gemilang. Yang kesejahteraannya mampu dirasakan oleh seluruh warga negaranya.


Karena pendidikan adalah sektor yang strategis yang menentukan masa depan bangsa dan peradaban manusia. Maka Islam menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan pokok yang negara wajib memenuhi. Sistem Islam telah nyata mampu melahirkan banyak tokoh-tokoh di bidang sains dan teknologi yang mendasari teknologi modern saat ini. Banyaknya ilmuwan pada masa kejayaan Islam tidak lain karena hadirnya negara dalam memfasilitasi pendidikan secara keseluruhan.[]

*

إرسال تعليق (0)
أحدث أقدم