Oleh: Farzana (Aktivis Dakwah)
Polemik empat Pulau Aceh yang terdiri dari Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Lipan dan Pulau Mangkir Kretek. Yang sebelumnya dikelola oleh Aceh Singkil namun dinilai secara tiba-tiba beralih tangan secara sepihak menjadi kepemilikan Sumatera Utara lewat keputusan Menteri Dalam Negeri (kepmendagri) pada 25 April 2025. (kompas.com).
Pengalihan empat pulau dari Propinsi Aceh ke Propinsi Sumut mengundang perdebatan. Apalagi adanya dugaan potensi migas di wilayah tersebut. Sebagaimana yang disampaikan oleh anggota DPR asal Aceh Muslim Ayub yang meyakini bahwa polemik 4 pulau tersebut berkaitan dengan potensi migas diwilayah tersebut. (cnnIndonesia.com, 15/07/2025)
Meskipun persoalan ini sudah ditengahi oleh Presiden Prabowo Subianto dalam rapat tertutup di Istana pada tanggal 17 Juni 2025. Keputusan akhirnya diambil setelah dilakukan pertemuan dengan sejumlah pejabat negara termasuk Mendagri dan Gubernur Aceh, dengan keputusan keempat wilayah tersebut secara administratif tetap menjadi wilayah Aceh Singkil.
Namun tidak menutup kemungkinan persoalan seperti ini akan terulang kembali sehingga masyarakat tetap perlu untuk mengkritisi. Hal tersebut bukan persoalan baru bahkan pernah terjadi pada beberapa kasus sebelumnya. Salah satunya kasus Provinsi Kepulauan Riau dengan Jambi terkait pulau Berhala.
Apalagi adanya dugaan sengketa ke empat Pulau Aceh tadi disebabkan adanya SDA berupa potensi migas di wilayah tersebut. Ditambah penerapan sistem Kapitalisme saat ini yang semakin menyuburkan sistem oligarki, bahkan tidak sedikit kasus pulau-pulau yang tiba-tiba terjual kepada swasta asing atau pun domestik.
Perebutan pulau seperti ini merupakan salah satu persoalan yang muncul ketika pengelolaan pemerintahan daerah menggunakan konsep otonomi daerah (Otda). Yaitu dengan memberikan hak istimewa kepada daerah tertentu untuk mengatur urusan pemerintahannya.
Otonomi Daerah (Otda) adalah sistem yang lahir dalam kerangka demokrasi sekuler-kapitalis, terutama dari pemikiran negara-negara Barat pasca-revolusi industri dan modernisasi pemerintahan. Hal tersebut salah satunya dilakukan untuk memudahkan pengerukan SDA di wilayah jajahan, tanpa perlu persetujuan dari pemerintah pusat.
Kapitalisme juga menyebabkan daerah-daerah lain berlomba-lomba untuk memperoleh hak otonomi, dengan alasan untuk mendapatkan hak istimewa. Termasuk untuk mengembangkan SDA mereka baik di bidang pariwisata atau kerja sama dalam pengelolaan migas dan lainnya yang biasanya bukan murni untuk kepentingan rakyat melainkan untuk memudahkan kepentingan para kapitalis.
Dengan konsep Otonomi Daerah, membuat masing-masing daerah diberi kewenangan penuh dalam mengatur urusan pemerintahan, termasuk dalam mengatur pendapatan daerah. Otonomi daerah akan memicu adanya perbedaan taraf hidup rakyat di masing-masing daerah. Oleh karena itu wajar jika adanya dugaan kandungan migas atau kekayaan alam lainnya memicu rebutan wilayah. Karena SDA merupakan potensi besar bagi sumber pendapatan anggaran masing-masing daerah (PAD).
Otonomi daerah juga dapat memicu adanya kecemburuan sosial suatu daerah yang memiliki Pendapatan Anggaran Daerah (PAD). Dengan konsep penganggaran seperti ini, bisa menyebabkan tidak meratanya kesejahteraan di suatu negara. Sebab terdapat wilayah lain yang minim SDA dalam artian minim PAD sehingga berdampak pada faktor kesejahteraan tadi. Dan yang paling fatal perbedaan tingkat kesejahteraan dapat memicu adanya disintegrasi.
Hal ini berbeda dalam sistem sentralisasi, yaitu menetapkan pendapatan anggaran dan pendistribusian anggaran secara terpusat. Hal semacam ini dapat dilihat dalam sistem pemerintahan Islam. Di dalam Islam menetapkan adanya pengelolaan wilayah oleh negara secara sentralistik.
Negara bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan secara merata pada seluruh wilayah, tidak tergantung pada pendapatan masing-masing wilayah. Pada faktanya terdapat wilayah yang tidak memiliki potensi SDA atau sedikit menyumbang anggaran pendapatan negara. Sehingga wilayah tersebut juga harus diperhatikan bukan malah diabaikan. Karena seorang pemimpin di dalam Islam bertanggung jawab penuh untuk kesejahteraan setiap individu rakyatnya.
Semua harus dikelola oleh negara untuk kepentingan semua rakyat seluruh wilayah. Negara akan berlaku adil dalam mengurus rakyat karena Islam menetapkan penguasa sebagai raa'in (pengurus) dan junnah (perisai/pelindung) bagi rakyat dan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah SWT.
Rasulullah Saw bersabda:
الأمام راء وهو مسؤول عن رءياته
"Imam (pemimpin) adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya (rakyatnya)" .
(HR. Bukhari).
Dengan sistem sentralisasi seperti ini menutup adanya ketimpangan dalam hal kesejahteraan, juga menutup potensi kecemburuan yang menyebabkan disintegrasi. Tentunya di dalam Islam mengharamkan adanya kapitalisasi SDA yaitu pengelolaan sumber daya alam oleh swasta asing dan domestik seperti saat sekarang. Pendapatan daerah menjadi wewenang pusat, yang akan didistribusikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah.
Di dalam Islam, terkait pengelolaan kepemilikan umum seperti SDA yang tidak bisa dimanfaatkan secara langsung oleh rakyat diserahkan kepada negara secara penuh. Hasilnya akan diserahkan ke Baitul Mal yang nantinya akan didistribusikan kepada seluruh wilayah daulah dalam berbagai bentuk kebijakan, seperti: anggaran pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lain-lain. Jika dalam bentuk migas nantinya setelah dikelola oleh negara akan didistribusikan kepada rakyat secara gratis, atau negara bisa membuat kebijakan menjual dengan harga murah kepada rakyat. Hasilnya akan disetorkan ke Baitul Mal.
Wallahu a'lam.[]