Oleh: Septa Yunis
Pada pekan kedua Juni 2025, lebih dari 130 kabupaten/kota di Indonesia melaporkan kenaikan harga beras yang signifikan. Ironisnya, kondisi ini terjadi di tengah klaim pemerintah bahwa stok beras nasional melimpah, bahkan mencapai lebih dari 1,7 juta ton yang tersimpan di gudang Perum Bulog. Harga beras medium di pasaran melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET), yang secara resmi ditetapkan sebesar Rp10.900–Rp11.800 per kilogram, namun kini bisa mencapai Rp13.000–Rp14.500 per kilogram di beberapa daerah.
Seperti yang dilansir ekonomibisnis.com (16/06/2025), Data BPS menunjukkan beras terus mengalami kenaikan harga di 133 kabupaten/kota pada minggu kedua Juni 2025. Padahal, pada minggu pertama Juni 2025, terdapat 119 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras. Ini artinya, ada tambahan 14 kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harga beras dalam sepekan. “Beberapa komoditas jumlah kabupaten/kota yang mengalami kenaikan harganya meningkat dibandingkan dengan minggu sebelumnya, yaitu di antaranya adalah komoditas bawang merah, beras, kemudian juga cabai merah, cabai rawit, dan juga daging ayam ras,” kata Pudji dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025 di YouTube Kemendagri, Senin (16/6/2025).
Kondisi ini tentu sangat memberatkan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah yang menjadikan beras sebagai makanan pokok harian. Kenaikan harga pangan pokok bukan hanya berdampak pada daya beli, tetapi juga memperbesar potensi terjadinya krisis gizi dan kemiskinan ekstrem.
Salah satu penyebab utama lonjakan harga ini adalah kebijakan pemerintah yang mewajibkan Bulog untuk menyerap gabah petani dalam jumlah besar, khususnya saat panen raya. Tujuannya, untuk melindungi harga gabah di tingkat petani. Namun, kebijakan ini menimbulkan efek domino yang kurang diantisipasi.
Stok beras menumpuk di gudang-gudang Bulog, bahkan banyak yang belum tersalurkan ke pasar karena mekanisme distribusi yang tidak efisien dan minim intervensi langsung. Alhasil, suplai beras di pasar menipis, dan hukum pasar pun bekerja: saat permintaan tetap tinggi dan suplai terbatas, harga pun melonjak.
Inilah gambaran buruk pengelolaan pangan dalam sistem kapitalisme. Sebuah sistem yang menjadikan pangan sebagai komoditas dagang, bukan sebagai hak dasar rakyat yang wajib dipenuhi negara. Dalam sistem kapitalisme, negara berperan sebagai fasilitator pasar, bukan pelindung rakyat. Pangan diperlakukan seperti barang dagangan lainnya: siapa yang punya uang, dia yang bisa membeli. Negara hanya mengatur mekanisme regulasi teknis, sementara distribusi dan kontrol harga diserahkan pada mekanisme pasar.
Tak heran jika krisis pangan kerap terjadi, bukan karena kekurangan produksi, tetapi karena distribusi yang timpang, permainan harga oleh kartel, dan lemahnya proteksi terhadap rakyat kecil. Rakyat miskin menjadi korban fluktuasi harga, sementara segelintir elite pengusaha terus meraup untung dari jual-beli bahan pokok.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, dalam sistem Islam yang diterapkan oleh Khilafah, negara wajib menjamin kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, sandang, dan papan. Negara tidak boleh menyerahkan urusan pokok ini kepada swasta atau pasar bebas. Pemerintah dalam Khilafah akan mengelola langsung sektor pertanian dan distribusi pangan. Subsidi akan diberikan kepada petani berupa bibit, pupuk, alat pertanian, dan infrastruktur irigasi, semuanya secara cuma-cuma. Negara juga akan membeli hasil panen petani dengan harga yang adil, lalu mendistribusikan hasilnya ke masyarakat secara merata.
Penimbunan barang kebutuhan pokok akan dilarang keras, dan negara akan aktif memastikan stok pangan tersebar secara proporsional di setiap wilayah. Distribusi akan didesain tidak hanya berdasarkan keuntungan ekonomi, tapi berdasarkan prinsip keadilan dan keberlangsungan hidup masyarakat.
Islam tidak menetapkan harga barang secara administratif, karena itu termasuk bentuk intervensi yang dilarang syariat. Namun, negara wajib memastikan pasar berjalan jujur, bebas dari manipulasi, penipuan, dan penimbunan. Ketika terjadi kelangkaan, negara akan menggelontorkan cadangan untuk menyeimbangkan pasokan, bukan menetapkan harga secara paksa.
Dengan demikian, stabilitas harga akan terjadi secara alami, didukung oleh distribusi yang adil dan pengawasan ketat terhadap pelaku pasar. Kenaikan harga beras yang terus terjadi meski stok melimpah adalah gejala sistemik. Ini bukan semata soal kesalahan teknis atau lemahnya regulasi, tapi persoalan akar: paradigma kapitalisme yang menjadikan kebutuhan dasar sebagai komoditas dagang.
Solusi hakiki bukanlah menambah subsidi atau memperketat regulasi sementara, melainkan mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem alternatif yang terbukti adil dan menjamin hak dasar rakyat, yakni sistem Islam dalam naungan Khilafah.